Jakarta -
Di era keterbukaan informasi yang sedemikian masif, setiap ujaran pejabat publik tak lagi dinilai semata dari substansi, tetapi juga dari sensitivitas sosial yang menyertainya. Komunikasi pemerintah kini bukan hanya soal menyampaikan program dan kebijakan, melainkan telah menjadi simbol relasi antara negara dan warganya. Ketika komunikasi itu tergelincir, dampaknya bukan sekadar kebisingan opini di media sosial, melainkan juga turut menggerus kepercayaan publik yang sejak lama telah rapuh oleh dinamika persoalan sosial dan ekonomi.
Pernyataan Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, yang menyarankan agar kepala babi yang dikirim ke kantor redaksi Tempo "dimakan saja", bukan hanya gagal memahami makna simbolik dari aksi teror tersebut, tetapi juga memperlihatkan krisis empati dalam komunikasi krisis. Dalam konteks komunikasi politik, simbol seperti kepala babi bukan sekadar bangkai hewan, melainkan pesan intimidatif yang mengarah pada pembungkaman suara kritis. Ketika pemerintah meresponsnya dengan canda, maka negara tampak tak mampu membaca semiotika ketakutan yang sedang dirasakan oleh para insan pers.
Kekeliruan nada komunikasi juga terlihat dalam pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Rachmat Pambudy, yang menyebut program makan bergizi gratis (MBG) lebih mendesak ketimbang membuka lapangan pekerjaan. Di tengah gelombang PHK dan meningkatnya angka pengangguran, pernyataan ini terdengar disonansi terhadap realitas hidup masyarakat. Komentar tersebut seolah menegasikan kebutuhan dasar manusia akan keberlanjutan hidup melalui pekerjaan yang layak dan bermartabat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lain halnya dengan pernyataan Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi'i, yang menyebut permintaan THR oleh ormas sebagai bagian dari budaya Indonesia. Dalam iklim sosial yang sedang berupaya menertibkan praktik pungutan liar berkedok budaya, komentar ini tidak hanya mengaburkan batas antara tradisi dan pemalakan, tetapi juga bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Himpunan Kawasan Industri (HKI) justru mencatat bahwa ulah sebagian ormas, termasuk pemaksaan keterlibatan dalam proyek hingga penutupan kawasan industri telah menyebabkan batalnya investasi bernilai ratusan triliun rupiah.
Krisis Komunikasi: Bukan Sekadar Salah Ucap
Dalam kajian komunikasi publik, kita mengenal teori dramaturgi dari Erving Goffman yang menjelaskan bagaimana setiap aktor sosial, termasuk pejabat publik bermain di panggung sosial dengan skrip, kostum, dan audiens tertentu. Sayangnya, para pejabat ini tampak lupa bahwa mereka tengah tampil di panggung publik, bukan ruang privat. Setiap pernyataan mereka adalah bagian dari pertunjukan negara yang disaksikan oleh jutaan pasang mata dan dalam dunia digital hari ini, tak ada ruang untuk mengganti naskah setelah dialog dilontarkan.
Teori symbolic interactionism dari George Herbert Mead menekankan bahwa makna sosial terbentuk melalui interaksi dan simbol yang digunakan. Ketika simbol dikaburkan oleh candaan atau ujaran sembrono, pesan yang seharusnya menyampaikan kepekaan justru menjadi bias. Kepala babi, misalnya, bukan sekadar "barang" yang bisa dimasak, tetapi simbol teror terhadap kebebasan berpendapat. Sementara permintaan THR oleh ormas bukanlah semata budaya, melainkan bisa merepresentasikan tekanan sosial terhadap pelaku usaha yang rentan.
Lalu, di mana letak kegagalan komunikasi pemerintah dalam semua ini? Jawabannya terletak pada absennya empati sebagai fondasi komunikasi publik. Seorang pejabat tak cukup hanya mengandalkan kecerdasan teknokratis; ia harus mampu mengartikulasikan pesan dengan kesadaran sosial dan kepekaan kultural.
Negara, Media, dan Tanggung Jawab Moral
Dalam model komunikasi dua arah simetris dari Grunig dan Hunt, komunikasi yang baik menempatkan pejabat dan publik dalam posisi setara, saling mendengar, memahami, dan dipahami. Namun jika komunikasi justru menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan rakyat, maka relasi kekuasaan kehilangan substansi demokrasinya.
Negara tentu bukan entitas tanpa cela. Namun negara adalah simbol nilai keadilan, moralitas, dan keteladanan, cara pejabat negara berkomunikasi membentuk cara berpikir masyarakat. Jika media sosial kini menjadi arena utama komunikasi publik, maka tanggung jawab moral pejabat untuk berbicara dengan bijak dan empatik menjadi semakin besar. Sebab satu kalimat yang tak tepat bisa menjadi bara yang membakar kepercayaan publik.
Kita tidak menuntut para pejabat menjadi pujangga. Tapi setidaknya, mereka bisa belajar memilih kata. Karena di balik setiap kata, ada harapan rakyat yang ingin didengar. Dan karena komunikasi bukan hanya soal apa yang dikatakan, tapi apa yang dirasakan oleh mereka yang mendengarkannya.
Aditya Angga Manajer Eksekutif PR Politik Indonesia
Simak Video: Prabowo Akui Komunikasi Kabinetnya Kurang: Tanggung Jawab Saya
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini