Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 22 April 2025
Tiga kasus pelecehan seksual beruntun di ranah medis belakangan membuat banyak mata tertuju ke profesi kedokteran. Mula-mula, kasus mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Priguna Anugrah Pratama. Lalu, pada waktu yang nyaris bersamaan, kasus dokter spesialis kandungan Muhammad Syafril Firdaus dan mahasiswa PPDS Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Aswindar Eka Satria.
Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani mengatakan kasus-kasus yang muncul itu hanyalah sebagian kecil dari kasus pelecehan yang terjadi di ranah medis. Di luar itu, banyak kasus lain yang tidak terlihat dan tidak dilaporkan.
“Seperti fenomena gunung es—yang terlihat, yang dilaporkan, yang viral, hanya sebagian kecil dari yang sebenarnya terjadi,” kata Chatarina kepada detikX.
Komnas Perempuan mencatat ada setidaknya 15 laporan pelecehan seksual yang terjadi di ranah medis pada 2020-2024. Sembilan dilakukan seorang dokter, empat terapis, dan dua perawat. Hampir semua korban dalam kasus ini merupakan pasien yang dalam kondisi tidak berdaya dan satu orang mahasiswa spesialis bedah.
Dosen Etika dan Hukum Kesehatan Universitas Atma Jaya, Erfen Gustiawan, mengatakan angka yang demikian itu juga sebetulnya masih belum bisa menggambarkan banyaknya kasus pelecehan seksual di ranah medis.
“Kasus-kasus seperti ini sudah sering terjadi. Ini hanya baru ketahuan saja, viral, kemudian yang lain ikut bersuara. Dan itu terjadi bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri,” ungkap Erfen kepada detikX saat dihubungi via telepon.
Erfen mengungkapkan pelecehan seksual oleh tenaga medis terhadap pasien terjadi lantaran adanya relasi kuasa antara tenaga medis dan pasien. Terlebih tenaga medis juga merupakan satu-satunya profesi yang memiliki akses langsung terhadap tubuh seseorang, dalam hal ini adalah pasien.
M Syafril Firdaus alias Iril, dokter pelaku tindakan kekerasan seksual terhadap pasiennya sedang digelandang polisi.
Foto : Hakim Ghani/detikJabar
Di sisi lain, sambung Erfen, pengawasan minim dan ketidakdisiplinan etika saat tenaga medis menjalankan pekerjaannya juga menjadi salah satu penyebab pelecehan seksual. Erfen mengambil contoh kasus dr Iril di Garut, yang melakukan kekerasan seksual kepada pasiennya ketika sedang tidak didampingi perawat.
Padahal pemeriksaan terhadap pasien, apalagi pada area-area sensitif, seharusnya didampingi oleh perawat maupun keluarga pasien. Dokter juga seharusnya selalu meminta izin kepada pasien maupun keluarga pasien saat hendak melakukan pemeriksaan.
“Tapi kalau memang orangnya sudah niat, mau seketat apa pun (pengawasannya), mau ada CCTV yang sebanyak apa, dia pasti akan mengakalinya,” ungkap Pembantu Asisten Penasihat Presiden ini.
Selain itu, menurut Erfen, pendidikan kedokteran yang jarang sekali memberikan materi terkait pelecehan seksual juga menjadi salah satu penyebabnya. Materi soal ini kerap dianggap tabu di fakultas kedokteran dan mahasiswa dianggap sudah paham pelecehan seksual tidak diperbolehkan.
Mata kuliah yang begitu banyak di fakultas kedokteran juga membuat para calon dokter lebih berfokus mempelajari hal-hal yang bersifat praktik, seperti pemahaman obat-obatan atau penggunaan alat-alat medis.
“Nggak selalu terjadi, tapi seringnya begitu. Di luar negeri juga begitu,” kata Erfen.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menampik jika dikatakan minimnya pendidikan etik kedokteran sebagai salah satu penyebab terjadinya pelecehan seksual. Menurut Slamet, pendidikan kedokteran sejauh ini sudah sesuai jalur dan materi etik merupakan mata kuliah wajib yang harus diambil para calon dokter.
Slamet mengatakan setiap mata bagian kuliah kedokteran sejauh ini selalu menyelipkan materi etik sebagai dasar tindakan. Dalam masa pendidikan, para calon dokter juga selalu diingatkan profesi kedokteran adalah profesi mulia yang dibatasi oleh sumpah dokter serta etika profesi.
“Karena dokter itu kan manusia kan, punya nafsu, punya apa kan, tapi dalam melaksanakan profesinya dia harus suci seperti malaikat. Makanya kode etik itu selalu diingatkan, gitu loh,” terang Slamet kepada detikX melalui sambungan telepon.
Meski demikian, Slamet sepakat jika dikatakan tata kelola rumah fasilitas kesehatan dan pengawasan terhadap tenaga medis menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual di ranah medis. Negara dan faskes yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pengawasan sekaligus pembinaan terhadap tenaga medis.
Problemnya, kata Slamet, sumber daya manusia (SDM) dari pemerintah maupun faskes masih amat sedikit, sehingga nyaris mustahil untuk mengawasi sedemikian banyak dokter. Di IDI saja, kini sudah ada sekitar 207.847 dokter yang tersebar di 514 kabupaten/kota. Belum lagi di organisasi profesi dokter lainnya.
Dulu, kata Slamet, IDI juga ikut bertanggung jawab terhadap pengawasan tenaga medis. Namun, setelah diterbitkannya Undang-Undang 17 Tahun 2023, kewenangan itu dicabut. IDI tengah mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait aturan tersebut.
“Saya khawatir terjadi kelonggaran pengawasan terhadap praktik kedokteran yang kurang baik sehingga masyarakat terancam,” terang lulusan Pendidikan Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat UI ini.
Di sisi lain, beban kerja dokter dan mahasiswa PPDS yang amat berat juga berpotensi menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual di ranah medis. Sebab itu, menurut Slamet, penting juga untuk dilakukan evaluasi terhadap beban kerja ini.
Dokter PPDS Kedokteran Gigi UI Azwindar Eka Satria yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pornografi karena mengintip tetangganya.
Foto : Kurniawan Fadilah/detikcom
“Residen itu bekerja harusnya maksimal 40-50 jam per minggu, jangan melebihi itu. Karena, kalau lama nggak ketemu keluarga, itu bisa meningkatkan ekses-ekses kriminal dan lain-lain,” ungkap Slamet.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman mengatakan, dengan banyaknya kasus pelecehan seksual di ranah kedokteran ini, Kemenkes akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tenaga medis. Para PPDS nantinya diwajibkan mengikuti tes kejiwaan saban enam bulan sekali.
Tes kejiwaan juga akan diperketat saat proses rekrutmen. “Untuk memastikan mereka memang masih sehatlah jiwanya karena kejadian-kejadian kayak gini kan disinyalir ini sudah gangguan gitu ya,” ungkap Aji kepada detikX.
Kemenkes juga akan mensosialisasikan ulang kewajiban dan tanggung jawab faskes untuk terus melakukan pembinaan terhadap tenaga medis. Dinas Kesehatan setempat juga diberi tanggung jawab yang sama untuk itu.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pembinaan ini akan langsung diawasi Kemenkes. Apabila, kata Aji, nantinya faskes lalai melakukan pembinaan dan terjadi lagi kasus pelecehan seksual, Kemenkes tidak akan segan memberikan sanksi.
“Kalau misalnya berulang, oh kejadian ini sudah berulang kali terjadi ini, bukan cuma sekali ini, itu bisa jadi nanti sanksi berat sampai pencabutan izin, izin operasional kliniknya, itu contoh saja,” pungkas Aji.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim