Jakarta -
Ada yang keliru dalam cara kita memuja gelar dan profesi. Di Indonesia, gelar akademik dan jas putih dokter kerap dianggap sebagai simbol moralitas tanpa cela. Padahal, jubah ilmu pengetahuan tak menjamin kemuliaan akhlak. Ia bisa menjadi topeng rapi untuk menyembunyikan hasrat bengkok yang tumbuh dalam relasi kuasa.
Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual mengguncang ruang-ruang yang mestinya aman: seorang guru besar universitas ternama yang melecehkan belasan mahasiswi, dan seorang dokter peserta program spesialis yang memperkosa keluarga pasien di ruang rawat. Kedua pelaku memanfaatkan kepercayaan dan posisi untuk memangsa yang lemah.
Kekerasan seksual di negeri ini bukan lagi sekadar insiden terpisah. Ia telah menjadi pola yang berulang dan merata, terjadi dari ruang kelas hingga rumah sakit. Yang lebih menyakitkan, pelakunya bukan sosok asing, tetapi mereka yang selama ini kita anggap panutan: dosen, dokter, tenaga pendidik, hingga tenaga medis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Komnas Perempuan, pemberitaan media, dan curhatan di media sosial sama-sama menyuarakan bahwa ruang aman, terutama bagi perempuan, masih sangat rapuh. Laporan korban kerap diabaikan, bahkan dibungkam. Korban ditanya motifnya sebelum dipercaya ceritanya. Institusi sering lebih sibuk menjaga citra daripada membersihkan penyakit di tubuhnya sendiri.
Kekerasan seksual dalam dunia akademik dan medis tumbuh subur dalam struktur relasi kuasa yang timpang—struktur di mana satu pihak memegang kendali, sementara yang lain bergantung secara emosional, akademik, atau medis. Dosen bisa menjebak mahasiswa dengan dalih bimbingan, dokter bisa mengontrol pasien atau keluarganya dengan prosedur medis yang sulit dipahami.
Kekerasan seperti ini sering luput disadari karena telah dianggap bagian dari sistem. Di ruang yang terlalu menghormati senioritas, korban sering kehilangan suara, karena yang mereka lawan bukan hanya individu, tapi juga tembok institusi, hierarki, dan budaya diam yang mengakar.
Budaya feodal menjadi akar persoalan. Dalam kampus dan rumah sakit, senior tak bisa dikritik, atasan tak boleh disanggah. Mahasiswa diajarkan untuk "jaga nama baik fakultas", staf enggan melapor karena takut diasingkan, pasien sungkan bersuara karena takut dianggap merepotkan. Sistem ini memihak pelaku, memberi mereka rasa aman di balik kuasa. Semakin tinggi posisi, semakin kecil kemungkinan untuk digugat.
Padahal, penghapusan budaya feodal bukan berarti menghilangkan rasa hormat, melainkan menempatkan setiap orang pada posisi setara dalam martabat. Dosen bisa salah. Dokter bisa diselidiki. Yang penting bukan siapa yang bicara, tapi apa yang dikatakannya.
Tulisan ini bukan untuk mencari sensasi, tetapi untuk menyuarakan keberanian korban dan pentingnya keadilan. Kasus-kasus kekerasan seksual di ruang akademik dan medis harus menjadi momentum perubahan, bukan sekadar berita viral yang cepat dilupakan. Proses hukum harus berjalan transparan, tanpa tekanan dan intervensi.
Tak hanya pelaku yang harus dihukum, tetapi juga sistem yang selama ini membiarkan mereka berkuasa harus dibongkar dan dibenahi karena jubah ilmu seharusnya bukan tempat bersembunyi dari tanggung jawab moral. Jika gelar dan jabatan membuat seseorang merasa kebal hukum, maka yang perlu kita gugat bukan hanya pelakunya, tapi seluruh sistem yang memberi mereka panggung.
Pun, kalau manusia tanpa gelar justru lebih tahu cara menghormati sesama, mungkin merekalah yang lebih layak dipercaya. Sebab, pada akhirnya, ukuran kelayakan seseorang bukan terletak di panjang gelarnya atau putih jasnya, tetapi sejauh mana ia menjaga martabat orang lain, terutama mereka yang paling rentan. Jika kita ingin membangun ruang yang benar-benar aman, maka keberpihakan pada korban dan ketegasan pada pelaku harus menjadi komitmen bersama—bukan wacana musiman.
Raihan Muhammad Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, pemerhati politik dan hukum
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini