Jagat Maya dan Makna Ada

1 month ago 26

Jakarta -

Cogito ergo sum yang berarti "aku berpikir maka aku ada", kutipan terkenal dari Rene Descartes ini mungkin telah berulang kita dengar. Maksudnya adalah bahwa ketika aku (manusia) berpikir, pada proses berpikir itu segala sesuatu diragukan keberadaannya. Namun, masih ada yang tersisa sebagai satu-satunya yang pasti keberadaannya, yaitu aku (manusia) sendiri yang sedang berpikir. Maka, sampailah pada kesimpulan bahwa ketika aku (manusia) berpikir, maka aku (manusia) ada.

Pada abad sekarang, abad ketika kita hidup, barangkali kutipan tersebut dapat dipelesetkan menjadi "aku ngonten maka aku ada", "aku viral maka aku ada", atau "aku mengikuti tren maka aku ada." Hal ini karena abad ketika kita hidup sekarang adalah abad yang syarat akan hegemoni jagat maya. Batas ruang dan waktu seolah tiada sama sekali sehingga beragam tren, standar, dan nilai-nilai yang eksis di dalamnya sering tanpa kita sadari telah mempengaruhi hampir di semua lini kehidupan kita.

Seolah-olah kita tidak akan "ada" jika tidak mengikuti tren, standar, atau nilai-nilai tersebut. Contoh kecil misalnya konten-konten mengenai standar hidup bahwa pada umur sekian harus sudah menikah dan sudah memiliki ini-itu. Lantas kita menjadi terburu-buru dan merasa tidak ingin ketinggalan. Segalanya terasa perlu dikejar secepat mungkin. Memang tidak salah jika kita menjadikan hal-hal sebagai sebuah motivasi. Tetapi, kita juga mesti ingat bahwa tempo masing-masing individu berbeda antara satu dengan yang lain. Realitas atau kehidupan begitu kompleks sehingga tidak dapat direduksi pemaknaannya ke dalam satu standar nilai saja.

Dalam konsep dromologi oleh Paul Virilio, kehidupan sosial kini telah menjadi ajang perlombaan balapan di mana setiap orang tidak ingin ketinggalan dan ingin mendahului orang lain. Tidak hanya dalam hal menyesuaikan diri dengan standar nilai yang ada di jagat maya seperti contoh sebelumnya, tetapi juga dalam hal lain misalnya konsumsi barang. Masyarakat terkini yang dalam hegemoni jagat maya, sering memburu barang-barang yang hanya karena sedang tren atau viral. Hebohnya boneka labubu beberapa waktu lalu barangkali dapat menjadi contoh yang tepat.

Apabila ditinjau secara mendalam, fenomena keterburu-buruan ini menjadi masalah yang krusial. Keterburu-buruan menyebabkan kita kehilangan kapasitas rasional. Pada akhirnya kita tidak benar-benar "ada" dalam artian secara autentik. Hal ini karena "ada"-nya kita tanpa kita sadari bukanlah hasil dari kehendak bebas kita, melainkan hasil dari hegemoni jagat maya, dari akumulasi standar-standar atau nilai-nilai yang berbasiskan tren dan viralitas, tanpa dasar, dan cenderung irasional.

Dalam hegemoni jagat maya, makna "ada" hanyalah sebatas topeng, dan ironisnya kita memakainya terus menerus tanpa pernah berani melepasnya. Kita menjadi semakin takut untuk memperlihatkan wajah kita sendiri. Semakin berlarut-larut, sehingga kita justru semakin jauh dari kesejatian diri.

Kita perlu memaknai ulang akan "ada"-nya kita untuk menemukan kesejatian diri. Hal ini dapat dilakukan bila kita mampu menjaga jarak dari arus kecepatan hegemoni jagat maya yang memang dalam kondisi terkini hampir melingkupi seluruh dimensi kehidupan kita. Kita perlu jeda untuk bertanya-tanya, mengapa kita (manusia) ada? Bagaimana kita ada? Untuk apa kita ada? Apa bedanya keberadaan kita dengan keberadaan tumbuhan atau hewan yang juga sama-sama ada? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat menuntun kita untuk memaknai "ada"-nya kita.

Dalam pandangan Jean-Paul Sartre, "ada"-nya kita (manusia) secara khas adalah dengan menidakkan. Artinya, kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menegasikan definisi dari luar mengenai diri kita. Kemampuan menegasikan ini memungkinkan kita untuk secara dinamis dan otentik memaknai "ada"-nya diri kita. Hal inilah yang membedakan keberadaan kita dengan keberadaan hewan atau tumbuhan, yang "ada" begitu saja sejalan dengan tuntutan alamiah.

Kaitannya dengan hegemoni jagat maya, pada diri kita sendiri sebenarnya dimungkinkan untuk menegasikan makna "ada" menurut standar-standar atau nilai-nilai dalam jagat maya dan menggantikannya dengan makna "ada" yang autentik yaitu menurut kita sendiri. Dalam hal ini kebebasan menjadi kunci yang penting. Kita hanya bisa memaknai "ada" secara autentik ketika berani mengambil jalan kebebasan.

Problematikanya adalah harus diakui bahwa sukar untuk berlaku demikian. Hal ini karena di ujung jalan kebebasan akan selalu ada tanggung jawab yang menanti. Di sisi lain sering kita akan mengalami kecemasan jika menjadi berbeda dengan yang lain, dan kita takut jika tidak termasuk dalam golongan yang mayoritas.

Oleh karenanya, puncak pembahasan kita mengenai jagat maya dan makna ada mengarah pada sebuah pertanyaan yang perlu kita pikirkan secara mendalam. Akankah kita memaknai "ada" secara autentik dengan gagah berani menempuh jalan kebebasan, atau menggadaikan begitu saja kebebasan kita sehingga "ada"-nya kita masih tetap sebatas topeng saja?

Femas Anggit Wahyu Nugroho mahasiswa Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial