Jakarta -
Langkah Presiden Prabowo dan pimpinan Kementerian Komunikasi dan Digital menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) TUNAS merupakan tonggak penting dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial.
Melalui aturan ini, Indonesia menunjukkan komitmen perlindungan anak setara dengan negara-negara maju seperti Prancis, Tiongkok, hingga Belanda, yang telah lebih dahulu menerapkan pembatasan ketat terhadap akses anak-anak terhadap media sosial.
PP TUNAS secara tegas membatasi akses media sosial bagi anak-anak di bawah 13 tahun, mengatur akses hanya dengan izin orang tua bagi anak-anak 13-15 tahun, melarang komersialisasi dan profiling anak, serta menetapkan tanggung jawab jelas bagi platform digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PP TUNAS bukan sekadar regulasi administratif, melainkan bentuk perlindungan nyata terhadap masa depan bangsa. Dalam usia pertumbuhan, anak-anak rentan terhadap kecanduan, tekanan sosial digital, cyberbullying, hingga paparan konten berbahaya. Maka, menjaga ruang digital tetap sehat bagi anak bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Namun, tugas belum selesai. Langkah berikutnya untuk menjaga tumbuh kembang anak adalah membatasi penggunaan gawai pintar di lingkungan sekolah.
Negara-negara seperti Prancis, Tiongkok, Belanda, dan Australia telah membuktikan bahwa pelarangan gawai di sekolah meningkatkan konsentrasi belajar, memperkuat interaksi sosial, dan menurunkan tingkat kecemasan siswa.
Dengan tumbuh kembang anak sebagai fokus utama Pemerintah - dibuktikan dengan kebijakan MBG, perbaikan sekolah, Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan, dan berbagai kebijakan pro anak lainnya - Indonesia seharusnya tidak tertinggal dalam hal membatasi penggunaan gawai pintar di sekolah.
Selain itu, di era banjir informasi dan disinformasi, kita tidak bisa membiarkan anak-anak dan remaja menjelajah media sosial tanpa bekal kecakapan kritis.
Sudah saatnya ada mekanisme ujian literasi digital--khususnya kemampuan mendeteksi disinformasi--sebagai syarat penggunaan media sosial bagi semua orang di Indonesia.
Sama seperti mengemudikan kendaraan bermotor yang butuh SIM, mengakses alat berisiko tinggi seperti media sosial juga seharusnya mensyaratkan pemahaman minimum tentang cara kerja algoritma, bahaya hoaks, dan etika digital.
Langkah ini bukan untuk membatasi kebebasan, tetapi justru untuk memastikan kebebasan itu tidak mencelakakan. Media sosial, jika digunakan tanpa kecakapan, dapat menjadi racun yang merusak mental, sosial, bahkan demokrasi. Tapi jika digunakan dengan bijak, media sosial bisa menjadi alat pembelajaran, ekspresi diri, dan partisipasi publik yang sehat.
Pemerintah Indonesia sudah memulai langkah baik melindungi anak bermedia sosial lewat PP TUNAS. Kini saatnya memperluas perlindungan itu melalui pelarangan gawai di sekolah dan ujian kecakapan digital.
Anak-anak kita adalah aset masa depan. Tugas negara adalah memastikan mereka tumbuh di lingkungan yang mendukung potensi terbaiknya--di ranah digital, dan di dunia nyata.
Dirgayuza Setiawan. Adjunct Researcher Center for Digital Society UGM, Co-Founder Jaringan SMA Akademi Kader Bangsa dan Alumni Oxford Internet Institute.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini