Jakarta -
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas. Namun, di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat. Standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z.
Banyak dari mereka merasa harus mengikuti tren tertentu agar diterima oleh lingkungan sosialnya, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan dan kenyamanan pribadi mereka. Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana ekspresi justru berubah menjadi ruang yang penuh tekanan di mana citra diri seseorang sering ditentukan oleh jumlah like, komentar, dan follower.
Dampak dari tekanan ini terlihat jelas dalam bagaimana Gen Z memandang diri mereka sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Lebih dari sekadar kebebasan berekspresi, gaya hidup Gen Z saat ini telah dipengaruhi oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis.
Banyak individu yang merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang pada akhirnya dapat memicu kecemasan, rendah diri, bahkan depresi. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya hanyalah ilusi. Alih-alih selalu bebas berekspresi, Gen Z justru semakin dikendalikan oleh tekanan sosial media yang menuntut kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Citra Diri dalam Tekanan
Salah satu dampak terbesar dari tekanan media sosial adalah ketidakpuasan terhadap diri sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Standar kecantikan yang dipromosikan melalui media sosial mendorong remaja untuk membandingkan diri mereka dengan figur-figur ideal yang sering kali telah melalui proses penyuntingan atau filter digital. Akibatnya, banyak remaja merasa harus memenuhi ekspektasi ini agar dapat diterima oleh lingkungan mereka, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kondisi mereka yang sebenarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dukungan terhadap fenomena ini dapat dilihat dari penelitian yang menunjukkan bahwa 70% remaja perempuan di Kabupaten Ciamis berusia 11-20 tahun memiliki citra tubuh dalam kategori sedang. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan terhadap penampilan fisik mereka. Artinya, tujuh dari sepuluh remaja perempuan dalam rentang usia tersebut merasa kurang puas dengan penampilan fisik mereka. Tidak hanya itu, tekanan untuk menampilkan citra diri yang "sempurna" juga membuat 60% remaja merasa tidak percaya diri dengan foto atau video yang mereka unggah di akun media sosial.
Berdasarkan penelitian Patricia dkk. (2024), sebanyak 81% anak muda bahkan mengaku bahwa melihat status (story) seseorang di media sosial berujung membandingkan diri dengan orang lain. Laporan lain seperti dikutip media juga mengungkapkan bahwa 46% remaja berusia 13 hingga 17 tahun mengatakan media sosial membuat mereka memiliki pandangan buruk terhadap tubuh mereka. Ini menunjukkan bagaimana paparan konten digital dapat membentuk persepsi negatif terhadap diri sendiri.
Dengan data yang menunjukkan bahwa mayoritas remaja mengalami ketidakpuasan terhadap citra tubuh mereka akibat perbandingan sosial di media, maka dapat disimpulkan bahwa tekanan dari standar kecantikan digital telah mengikis rasa percaya diri mereka. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, justru berubah menjadi sumber kecemasan dan ketidakamanan.
Kesehatan Mental Terancam
Selain berdampak pada citra diri, tekanan sosial dari media digital juga berkontribusi terhadap meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan Gen Z. Rasa cemas, stres, bahkan depresi sering kali muncul akibat tekanan untuk selalu aktif dan "sempurna" di media sosial. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena berbagai survei menunjukkan adanya peningkatan gangguan mental di kalangan remaja akibat tekanan dari lingkungan digital.
Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, dengan rincian 1% mengalami depresi, 3,7% cemas, 0,9% mengalami post-traumatic syndrome disorder (PTSD), dan 0,5% mengalami attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Selain itu, sebuah laporan hasil survei di 26 negara termasuk Indonesia menemukan penggunaan medsos membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Dengan data yang menunjukkan bahwa 5,5% remaja mengalami gangguan mental dan penggunaan media sosial meningkatkan rasa cemas pada Gen Z lebih besar dibanding generasi sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa tekanan sosial dari media digital berperan signifikan dalam memperburuk kesehatan mental remaja, bukan sekadar menjadi sarana ekspresi yang bebas.
Ancaman bagi Kebebasan Berekspresi
Selain dampak terhadap kesehatan mental, tekanan ini juga berimbas pada cara Gen Z mengekspresikan diri di media sosial. Mereka tidak hanya merasa cemas, tetapi juga takut menyuarakan pendapat yang berbeda. Hal ini sering kali dibatasi oleh norma, tren, dan tekanan sosial, terutama ketakutan akan perundungan (cyberbullying).
Menurut Polling Indonesia dan APJII, sekitar 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak aman bagi pengguna lain yang ingin mengekspresikan diri. Survei Indikator Politik Indonesia (2022) juga menunjukkan bahwa 62,9% masyarakat semakin takut mengeluarkan pendapat. Ketakutan ini diperkuat oleh laporan CNN Indonesia (2022) yang menyatakan bahwa mayoritas responden enggan berbicara karena takut dihujat atau dikucilkan di media sosial.
Dalam psikologi, teori Spiral of Silence oleh Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan bahwa individu cenderung menghindari menyuarakan pendapat berbeda karena takut dikucilkan. Selain itu, teori Kecemasan Sosial menunjukkan bahwa individu dengan kecemasan sosial lebih rentan terhadap tekanan ini, sehingga semakin enggan berbagi pendapat. Akibatnya, ruang diskusi di media sosial sering kali didominasi oleh suara-suara mayoritas, sementara pendapat yang berbeda semakin terpinggirkan.
Dari semua yang telah dibahas, jelas bahwa media sosial adalah pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, platform seperti Instagram dan TikTok memberi mereka ruang untuk mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, tekanan sosial yang muncul justru sering membatasi kebebasan itu sendiri. Standar kecantikan yang nyaris mustahil, tuntutan untuk selalu tampil menarik dan sukses, serta kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain membuat banyak anak muda merasa cemas dan tidak cukup baik.
Alih-alih menjadi tempat berekspresi dengan bebas, media sosial justru menjadi sumber tekanan yang terus mengintai. Jadi, apakah Gen Z benar-benar bebas? Jawabannya tidak sesederhana itu. Kebebasan berekspresi di media sosial bisa menjadi ilusi jika terus-menerus diukur dari validasi orang lain. Penting bagi kita semua terutama generasi muda untuk mulai melihat media sosial dengan lebih kritis. Tidak semua yang kita lihat di sana adalah realitas, dan tidak ada keharusan untuk selalu mengikuti tren hanya demi diterima pengguna media sosial lainnya.
Karena itu, kita perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Mulailah dengan membatasi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, mengikuti akun yang memberikan dampak positif, dan menyadari bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh jumlah like atau follower. Selain itu, lingkungan sekitar terutama keluarga dan sekolah juga perlu berperan dalam membangun kesadaran ini. Jika kita bisa menciptakan budaya digital yang lebih sehat, mungkin media sosial bisa kembali menjadi tempat yang benar-benar mendukung kebebasan berekspresi, bukan sekadar ajang pamer dan tekanan sosial yang tak berujung.
Tia Aulia pemerhati media sosial
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini