Gaza dan Dekolonisasi

4 weeks ago 20

Jakarta -

Sejak Hamas meluncurkan operasi militer yang dikenal sebagai Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, konflik antara Hamas dan Israel terus mengalami eskalasi selama berbulan-bulan. Israel melakukan serangkaian bombardir di berbagai wilayah Gaza sebagai upaya untuk meredam perlawanan Hamas. Serangan-serangan tersebut tidak hanya menyebabkan kehancuran besar di hampir seluruh wilayah Gaza, tetapi juga menelan banyak korban, termasuk warga sipil.

Hingga 27 Januari 2025, Kementerian Kesehatan Gaza mengonfirmasi bahwa total korban tewas akibat konflik ini telah mencapai 47.306 jiwa. Loise Wateridge, Senior Emergency Officer dari UNRWA, menggambarkan kengerian hari-hari di Gaza dengan ungkapan, "We are waking up every single day to a new horror."

Warga Gaza akhirnya sedikit dapat mulai bernapas lega setelah 467 hari menghadapi penderitaan akibat berbagai agresi yang menghancurkan rumah-rumah dan merenggut anggota keluarga mereka. Hamas dan Israel secara resmi mendeklarasikan gencatan senjata pada 19 Januari 2025. Gencatan senjata ini diawali dengan penarikan pasukan militer Israel dari Gaza, pembukaan akses untuk bantuan kemanusiaan, serta pertukaran pembebasan sandera dan tahanan dari kedua belah pihak.

Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al Thani yang bertindak sebagai mediator, menjelaskan bahwa fase pertama gencatan senjata akan berlangsung selama 42 hari. Detail mengenai fase kedua dan ketiga akan dibahas setelah fase pertama terlaksana dengan baik.

Menyoroti Gaza

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah Hamas merebut kekuasaan Gaza pada 2007, Gaza menjadi pusat perlawanan dan basis operasional perjuangan kemerdekaan yang mengancam Israel. Pada tahun yang sama Israel dan Mesir memberlakukan blokade ketat terhadap Gaza. Blokade ini memicu krisis kemanusiaan dengan akses terbatas ke air bersih, listrik, dan layanan kesehatan. Beberapa lembaga Internasional sudah menyebut Gaza sebagai "Open Air Prison" yang menempatkan 2 juta warga Gaza hidup dalam isolasi ekstrem dan bergantung kepada berbagai bantuan kemanusiaan internasional.

Dalam berbagai keterbatasan, selama bertahun tahun warga Gaza menghadapi siklus kehidupan yang memaksa mereka mengembangkan strategi bertahan hidup dengan berbagai kemungkinan konflik. Dalam berbagai laporan yang dilakukan oleh Amnesty International dan UN Ocha, warga Gaza menemukan semacam "kreativitas lokal" bagaimana ia bertahan dalam situasi embargo sosial ekonomi, bahkan dalam situasi perang yang memaksa harus hidup dalam kamp-kamp pengungsian.

Namun perang yang meletus 7 Oktober 2023 kemarin adalah sesuatu yang berbeda. Skala dan dampak perang ini cukup besar dibandingkan perang-perang yang terjadi sebelumnya. Hal ini terlihat bagaimana selama 467 hari Israel membombardir Gaza dan menelan rekor korban jiwa terbesar sepanjang sejarah konflik Palestina Israel.

Sekitar 90% (1.9 Juta) warga Gaza selama 15 bulan konflik harus meninggalkan rumah dan mengungsi ke beberapa kamp pengungsian. Belum lagi kerusakan infrastruktur bangunan seperti perumahan, rumah sakit, fasilitas pendidikan. Dikutip dari BBC kerusakan mencapai 50.773.496 ton puing bangunan yang membutuhkan waktu sekitar 20 tahun untuk membersihkannya.

Gencatan Senjata, Kemenangan Warga Gaza

Tekanan internasional, diplomasi regional, dan kelelahan rakyat sipil mencapai ujungnya, bahwa kedua belah pihak untuk dapat serius duduk dalam meja perundingan dan mulai mendiskusikan kemungkinan gencatan senjata. Gencatan senjata ini didukung oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump, yang mengutus Steve Witkoff utusan khusus bidang timur tengah dengan memaksa Israel menandatangani gencatan senjata sebelum Donald Trump dilantik pada 20 Januari 2025.

Trump melihat bahwa peperangan Hamas-Israel di jalur gaza yang berkepanjangan bukanlah solusi, melihat operasi militer Israel sampai sejauh ini belum menemukan target objektifnya yaitu menaklukkan Hamas. Beberapa media Israel bahkan menyebutkan gencatan senjata adalah buruk bagi Israel. Karena selama berbulan-bulan menggempur Gaza deklarasi kemenangan atas Hamas belum juga didapatkan.

Beberapa pihak di Israel berpandangan dengan gencatan senjata membiarkan Hamas untuk memulihkan diri atas perang yang terjadi. Politisi Sayap Kanan sekaligus Menteri Keamanan Nasional Israel, Ben Gvir mengungkapkan kekecewaan hasil gencatan senjata yang disebut olehnya "penyerahan diri kepada Hamas".

Hamas sendiri bukan dalam posisi yang diuntungkan; konflik ini mengakibatkan terbunuhnya beberapa pemimpin utama mereka baik dalam konteks diplomasi dan perang seperti Ismail Haniyya, Mohammad Deif dan Yahya Sinwar. Tekanan internasional juga semakin nyata setelah Qatar dan Turki diisukan mengurangi dukungannya terhadap Hamas karena konflik yang berkepanjangan.

Dukungan militer Hamas dari Iran, Hizbullah Lebanon, dan Houthi Yaman mengalami tekanan yang serupa dengan menghadapi konflik perang dengan Israel secara terbuka. Belum lagi perihal persenjataan yang menipis serta terowongan bawah tanah yang menjadi basis operasi sebagian telah dihancurkan selama perang terjadi. Pilihan gencatan senjata menjadi salah satu objektivitas bagi Hamas sebagai upaya refleksi serta pemulihan baik secara militer, politik dan diplomasi.

Terlepas dari Hamas dan Israel, gencatan senjata ini adalah angin segar bagi warga Gaza yang menderita dalam waktu yang cukup lama. Pasca gencatan senjata diumumkan seluruh warga Gaza merayakan di jalan-jalan kota dengan suka cita, Raut wajah gembira diiringi dengan ucapan syukur dan takbir menggema sepanjang jalan-jalan kota. Bagi warga Gaza gencatan senjata adalah kemenangan karena telah "bertahan" terhadap gempuran genosida Israel yang menghilangkan keluarga, rumah bahkan sebagian besar kehidupan mereka dari kota ini.

Walau di tengah kengerian genosida dan berbagai aksi penghancuran Israel terhadap Gaza, warga gaza menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah bangsa yang paling tangguh. Pasca gencatan senjata, warga Gaza berbondong-bondong menuju puing-puing bangunan rumah mereka yang hancur untuk dibersihkan, menata dan membangun kembali.

Fenomena di Gaza Utara sebagai contoh, ribuan orang pengungsi Palestina berbondong bondong bergerak kembali menuju rumah mereka di Gaza Utara yang telah berbulan-bulan menjadi pusat medan perang Hamas-Israel. Dalam tangkapan visual drone dan berbagai media, terdapat puluhan ribu orang bergerak bersama menuju Gaza Utara sambil menunjukkan kebahagiaan dengan bernyanyi dan bertakbir bersama. Kembalinya puluhan ribu warga ke Gaza Utara ini sempat dikomentari oleh Ben Gvir di media sosial X bahwa ia mengecam dan merasa perjuangan tentara Israel menjadi sia-sia karena fenomena tersebut.

Satu hal yang disadari oleh Israel, AS dan berbagai aliansi Barat setelah perang 15 bulan dengan Hamas, adalah kekuatan dan ketahanan warga Gaza melebihi perhitungan mereka. Dalam kepungan genosida, keterbatasan, kelaparan dengan kurangnya bantuan internasional yang masuk dalam kondisi perang, warga Gaza menunjukkan tekad dengan terus berada di jalur mendukung perlawanan. Bagi warga Gaza perang ini sebenarnya bukan hanya dimulai 7 Oktober 2023, namun telah berjalan selama bertahun-tahun. Buah perjuangan dalam blokade bertahun-tahun telah disemai melahirkan bangsa yang menolak tunduk atas kemauan Israel dan barat.

Di tengah perang asimetris antara Hamas-Israel, akan sangat susah menjelaskan mengapa Israel masih belum bisa menaklukkan Hamas hingga hari ini. Dalam konteks militer, yang memiliki kekuatan yang lebih kuat seperti Israel akan dianggap kalah jika ia tidak berhasil mencapai tujuan militernya, sedang bagi Hamas yang lebih lemah ia dianggap menang jika ia berhasil bertahan atas gempuran yang ada.

Warga Gaza adalah faktor utama mengapa Hamas masih tegak berdiri dan belum ditaklukkan oleh Israel. Basis perjuangan warga Gaza tidak sama dengan Hamas yang melakukan konfrontasi langsung, mereka memilih jalur perlawanan dengan bersandarkan kesabaran dan moralitas yang dipegang teguh. Moralitas dengan memegang kesetiakawanan antar sesama warga Palestina yang berhak atas tanah mereka dan senantiasa bertahan teguh dalam kondisi sesulit apapun.

Kekompakan warga Gaza adalah cerminan masyarakat dan visi jangka panjang yang mereka bangun selama ini, sementara pemerintah Israel tampak tidak peduli dengan moralitas atau masa depan masyarakatnya.

Rencana Trump terhadap Gaza

Israel dan AS tampak mulai menyadari bahwa upaya pembombardiran Gaza menemukan jalan buntu, yaitu Hamas yang masih belum dikalahkan dan warga Gaza yang masih bertahan. Terbaru Donald Trump mengusulkan sebuah rencana besar, dengan alasan pembangunan, menata Gaza dan kawasan sekitarnya dengan memindahkan sebagian besar warga Gaza ke berbagai negara seperti Mesir, Yordania bahkan sempat terdengar Indonesia juga masuk dalam list daftar negara tersebut. Rencana tersebut juga tampak disambut juga oleh pemerintah Israel, Benjamin Netanyahu menyebut sebagai upaya "Redrawing The Middle East".

Rencana Donald Trump untuk memindahkan warga Gaza ditolak mentah-mentah oleh negara-negara Arab dalam Forum Menteri Luar Negeri pada 1 Februari 2025. Meski mendapat penolakan bulat, Trump bersikeras melanjutkan kebijakan kontroversial itu dengan mendesak Mesir dan Yordania sekutu AS di kawasan untuk tunduk, sambil mengingatkan bahwa AS telah memberikan "bantuan besar" selama ini. Jika pemindahan paksa warga Gaza benar-benar direalisasikan, risiko eskalasi konflik tidak hanya akan memicu krisis kemanusiaan akut, tetapi juga berpotensi memunculkan praktik pembersihan etnis yang sistematis.

Usulan Trump ini dapat dibaca sebagai bentuk frustrasi negara-negara barat dalam upaya membantu Israel memperlebar basis teritori kewilayahan di Palestina. Gaza menjadi hambatan terbesar Israel, AS dan aliansi pendukungnya, yang belum ditemukan solusi hingga hari ini.

Waktunya Dekolonisasi

Jika kita lihat respons dunia terhadap konflik ini jauh berbeda dengan sebelumnya, kecaman demi kecaman atas genosida Israel terus bermunculan dari seluruh belahan dunia. Terbaru kemunculan Spanyol yang mengakui Negara Palestina dan perintah penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang oleh ICC, sedikit memberi gambaran baru terkait kesadaran masyarakat dunia terhadap konflik Palestina-Israel bahwa kedamaian tidak bisa tercapai selama belum ada pengakuan Palestina dan pengontrolan ketat Israel terhadap wilayah tersebut.

Pasca genosida Gaza oleh Israel, gelombang kesadaran baru warga dunia muncul bahwa perdamaian kawasan tak akan tercapai selama Israel enggan mengakui hak-hak dasar rakyat Palestina, termasuk kemerdekaan dan kedaulatan penuh. Kritik tajam dilontarkan terhadap negara-negara Barat seperti AS yang kerap menggaungkan nilai kemanusiaan, namun secara nyata mendukung kebijakan apartheid dan pendudukan ilegal Israel. Peristiwa Gaza mengantarkan isu kawasan ini sudah sepenuhnya berubah dari isu sosial politik Israel-Palestina kepada isu kemanusiaan murni. Tragedi di Gaza seperti sebuah siklus yang akan terus terjadi selama Israel dan AS masih terus memegang dominasi terhadap isu kawasan Timur Tengah.

Kritik dominasi Israel dan AS dalam isu Palestina sebenarnya sudah dilayangkan oleh intelektual seperti Edward Said. Bahwa Barat memegang kontrol penuh untuk mengatur peradaban dunia dan menata barbarisme yang ada di Timur. Wacana peradaban melawan barbarisme inilah yang digunakan bertahun-tahun otoritas barat untuk melegalisasi seluruh praktek kolonialisme diberbagai negara di Timur Tengah. Dalam konteks Gaza, kita akan menyaksikan kolaborasi Trump dan Benjamin Netanyahu beberapa hari ke depan yang memperjelas bahwa praktik kolonialisasi masih dan akan berlangsung intens, hak-hak warga Gaza akan sedikit banyak diabaikan demi kepentingan kawasan Israel.

Sudah waktunya seluruh negara-negara dunia melakukan refleksi dengan melakukan upaya perubahan dan dekolonisasi secara serius. Gaza akan menjadi episentrum perubahan tersebut, dominasi Israel dan AS harus segera dihentikan dengan melakukan perlawanan ekonomi dan politik yang mampu menekan. Sebagai contoh kehadiran Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang belum lepas dari dominasi, terbukti tidak bisa menyelesaikan permasalahan Gaza.

Konflik Gaza bisa menjadi pintu masuk merubah tatanan, dengan menghadirkan aliansi yang lebih strategis dengan mengedepankan nilai kemanusiaan. Dengan terganggunya kepentingan negara-negara Arab yang mungkin akan terkena imbas dengan rencana pembersihan warga Gaza, sudah harusnya negara Arab seperti Mesir dan Yordania bisa mengambil inisiatif. Mungkin kita juga bisa berharap kepada Indonesia bisa membangkitkan semangat perlawanan Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 yang memiliki historis anti kolonialisme.

Pada akhirnya, konflik Gaza dan Israel menjadi ujian bagi masa depan peradaban global, apakah dunia akan bergerak menuju tatanan baru yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, atau tetap terjebak dalam dominasi kekuatan hegemonik. Keputusan yang diambil oleh komunitas internasional hari ini akan menentukan arah sejarah dan visi dunia yang damai serta bebas dari kolonialisme dapat benar-benar terwujud.

Muhammad Naufan Rizqullah dosen Universitas Sriwijaya

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial