Jakarta -
Sebentar lagi puasa Ramahan akan usai, dan kita akan menjumpai "hari kemenangan", yakni Idul Fitri 1446 Hijriyah. Tuntasnya puasa Ramadan, setidaknya membuncahkan narasi hati yang beragam. Ada perasaan sedih, tersebab kita akan berpisah dengan bulan yang penuh rahmat dan berkah, dan belum tentu Ramadhan berikutnya kita bisa menjumpainya kembali. Lazimnya sih membuncah perasaan senang (dan memang dianjurkan untuk senang), tersebab kita akan menjumpai Idul Fitri; saling bermaafan, merajut kohesi silaturahmi dan persaudaraan, yang kadang retak, bahkan terputus.
Fenomena kultural Idul Fitri tercermin dalam perayaan lebaran, ditandai dengan baju baru, plus banyak makanan nan lezat. Apalagi yang masih punya orangtua di kampung halamannya, dengan tradisi mudik lebarannya, akan semakin syahdu dan hikmat. Menurut estimasi Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub terdapat 146,48 juta perjalanan (52 persen dari total populasi), yang akan melakukan perjalanan mudik Lebaran. Namun di sisi lain, tradisi mudik Lebaran, pada batas tertentu menjadi tradisi dan fenomena sosio kultural yang salah kaprah, dan paradoks.
Pertama, adanya fenomena disparitas ekonomi antara masyarakat perkotaan (urban society) dengan masyarakat perdesaan (rural society). Mudik Lebaran menjadi bukti bahwa konsentrasi dan perputaran uang masih di perkotaan, dan ekonomi perdesaan masih terpinggirkan. Idealnya jika spirit desentralisasi ekonomi itu benar-benar merata, maka fenomena mudik Lebaran dari kota besar ke kota kecil, atau bahkan dari kota kecil ke perdesaan, seharusnya makin mengempis pergerakan mudik Lebaran itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika keseimbangan dan desentralisasi itu terwujud, maka fenomenanya mustinya berubah/berbalik: saat Lebaran orang perdesaan juga bisa melakukan perjalanan ke ranah perkotaan. Lah ini pergerakan masa saat mudik Lebaran seperti air bah, jutaan masa perkotaan migrasi ke perdesaan. Asal mula fenomena mudik Lebaran secara historis memang dipicu oleh pembangunan yang sentralistrik di perkotaan (Jakarta), sejak era 70-an, dan lebih meluas lagi di Pulau Jawa. Ironisnya era Reformasi yang misinya membawa desentralisasi ekonomi ternyata hanya pepesan kosong. Yang terjadi malah desentralisasi korupsi, bukan desentralisasi ekonomi.
Kedua, rendahnya aspek keselamatan, khususnya di jalan raya. Setiap mudik Lebaran faktanya selalu diiringi dengan ratusan orang meninggal dunia di jalan raya karena kecelakaan lalu lintas, dan 77 persen melibatkan pengguna sepeda motor. Mudik Lebaran pada 2024 lalu korban meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas mencapai 281 orang, tahun sebelumnya (2023) malah sebanyak 291 orang. Itu menurut data resmi Korlantas Mabes Polri. Diduga data tidak resmi akan lebih besar.
Jadi sejatinya prosesi mudik Lebaran itu prosesi yang berdarah, tersebab ratusan orang menjadi tumbal pada prosesi mudik Lebaran itu. Tren ini akan sulit turun secara signifikan, sebab pengguna sepeda motor pada mudik Lebaran 2025 masih sangat tinggi, yakni 7,8 persen atau sekitar 11,3 juta perjalanan. Perjalanan mudik Lebaran, khususnya yang menempuh perjalanan via darat, adalah perjalanan yang risiko tinggi, sekalipun menggunakan mobil pribadi nan mahal dan mewah. Apalagi jika perjalanan mudik Lebaran itu menggunakan sepeda motor.
Ketiga, dari perspektif daya beli masyarakat, sebagian masyarakat untuk melakukan perjalanan mudik Lebaran, sejatinya dengan basis ketidakmampuan ekonominya. Alias memaksakan diri untuk mudik Lebaran, sekalipun harus merogoh kocek dengan berutang. Apalagi sekarang begitu mudah mengajukan utang via pinjaman daring (pindar), alias pinjol. Walau selepas utang pinjol/pindar dicairkan, konsumen akan kelimpungan dikejar/diteror oleh pihak pengelola pinjol dengan bunga yang setinggi langit, plus teror via data pribadi. Sangat disayangkan jika jerih payah mencari cuan dalam satu tahun, kemudian tergerus habis untuk perilaku yang konsumtif saat mudik Lebaran itu.
Keempat, reduksi aspek kesehatan. Ini fenomena yang juga patut diwaspadai, tersebab saat perayaan Lebaran, lazimnya disajikan makanan dan minuman yang "serba enak" oleh karena tinggi gula, garam dan lemak. Minuman serba manis, makanan serba digoreng dan santan, plus merokok pula makin gencar. Mumpung pulang kampung bersua teman, saudara, lalu begadang sampai larut malam sembari menjadi "ahli hisap", alias merokok. Tidak aneh jika selepas (mudik) Lebaran, pasien di fasilitas kesehatan membludak dengan keluhan klasik: kolesterol tinggi, asam urat tinggi, dan gula darah tinggi. Fenomena perayaan Lebaran ibarat kata pepatah, kemarau satu tahun dihapus dengan hujan satu hari. Spirit pengendalian diri saat puasa Ramadhan sirna dengan perayaan Lebaran.
Kelima, dari perspektif dan spirit beribadah, jelang akhir puasa Ramadhan kualitas ibadah (umat Islam) justru terlihat "berantakan". Padahal jelang akhir Ramadhan diperintahkan untuk memperdalam ibadah, bahkan sangat dianjurkan untuk berdiam diri di masjid (iktikaf). Namun yang terjadi justru sebaliknya, jelang akhir Ramadhan, fokus masyarakat justru lebih dominan menyiapkan fenomena kultural Lebaran, seperti pergi ke mal untuk membeli baju baru dan menyiapkan kue Lebaran. Dan, saat melakukan prosesi perjalanan mudik Lebaran itu banyak yang batal puasanya. Memang boleh, cukup absah, sebagai musafir untuk tidak berpuasa (asal nanti menggantinya); namun sejatinya urgensinya pada akhir Ramadhan adalah agar fokus ibadah, bukan berjibaku melakukan perjalanan jauh, dengan segala upaya dilakukan.
Jadi fenomena dan makna spiritual Idul Fitri pada akhirnya mengalami pergeseran, menjadi fenomena kultural. Dan, ironisnya fenomena kulturalnya jauh lebih dominan, daripada fenomena spiritualitasnya. Bahkan ada semacam komersialisasi Idul Fitri yang terwujudkan pada fenomena kultural Lebaran yang sangat dominan. Inilah sejumput fenomena salah kaprah (paradoks) dalam mudik Lebaran. Ironisnya hal ini kurang mendapatkan perhatian serius oleh banyak pihak, khususnya terkait dimensi keselamatan di jalan raya, dengan merenggut korban meninggal dunia mencapai ratusan orang.
Melakukan revitalisasi keberadaan angkutan umum menjadi pekerjaan yang amat mendesak, khususnya oleh pemerintah daerah. Plus melakukan pengendalian ketat terhadap marketing dan penjualan sepeda motor di Indonesia, yang kini jumlahnya mencapai 132 jutaan unit. Ataukah kita akan terus melanggengkan ratusan nyawa melayang selama mudik Lebaran, dan hanya akan menjadi catatan statistik saja. Semoga tidak demikian. Selamat mudik, mudik selamat.
Tulus Abadi pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik
Simak Video: Jelajah Mudik Ramadan eps 9: Momen Indah Idul Fitri dan Nyepi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini