Estetika Sepotong Musik

1 month ago 27
Portal Kabar Pagi Akurat Terbaik

Jakarta -

Beberapa tahun terakhir, media sosial telah menerbitkan fitur video pendek. Fitur ini sangat disukai oleh pengguna media sosial karena keringkasannya. Teks, gambar, gambar bergerak, dan musik dapat dilebur menjadi satu wujud dan dinikmati dalam waktu yang bersamaan. Lihat saja hasil survei dari SurV pada 2024 yang mengatakan bahwa sebanyak 85% dari 1.998 responden lebih menyukai video pendek. Lihat juga survei dari Meta Indonesia dan Populix yang mengatakan bahwa sebanyak 73% Gen Z lebih menyukai video pendek. Video pendek akhirnya menjadi konsumsi sehari-hari.

Ada hal penting di balik tingginya minat publik terhadap video pendek, yakni penggunaan musik yang pendek pula. Fitur video pendek membatasi penggunaan musik dengan durasi hanya beberapa menit. Imbasnya, publik harus memilih bagian musik yang dianggapnya menarik, istimewa, dan yang mewakili kebutuhan kontennya. Ada juga aplikasi yang bahkan telah menyediakan musik pendek itu. Musik tersebut diubah, dikombinasikan dengan elemen-elemen yang ritmis dan dinamis. Semata-mata agar musik tersebut dapat dan enak untuk dijogeti.

Kehadiran video pendek nyatanya telah melahirkan peristiwa musikal yang saya sebut sebagai "sepotong musik". Sepotong musik sesungguhnya telah mengubah cara pandang kita terhadap musik. Sebelum-sebelumnya, musik dinikmati secara utuh dan intim. Tak sedikit pendengar yang dihanyutkan oleh alunan musik. Mata terpejam, merenung, berteriak, atau bahkan meneteskan air mata adalah imbas dari alunan musik itu. Tetapi, semuanya berubah setelah musik itu dipotong.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepotong musik itu tak cukup mampu mengantarkan pendengar pada ruang intim yang sebelumnya ada. Sepotong musik juga telah merekonstruksi cara kita menikmati musik. Penikmatan musik tak lagi hanya dengan mendengarkannya tetapi dengan menontonnya. Kita bisa menyelisik hal ini melalui pertanyaan, bagaimana musik diperlakukan? Sepotong musik dalam video pendek hanya berfungsi sebagai pelengkap, pengiring atas suatu konten.

Kita bisa melihat fenomena macam "Gak bisa, Yura!" atau "Untungnya, hidup harus terus berjalan." Dalam fenomena itu, publik menuliskan keluh kesah, ketidakmampuan, atau ketidakberdayaan atas perkara hidup yang tak kunjung usai melalui teks ataupun sepenggal video. Kita lantas terpaku membaca teks, memperhatikan video dengan seksama tanpa menyimak alunan musik dari Yura ataupun Bernadya. Dalam konteks ini, musik hanya penguat sajian utama konten.

Kita sebenarnya melihat musik, bukan hanya mendengar musik. Belum lagi dengan perlakuan musik yang diedit, diubah, ataupun dikombinasikan dengan elemen musikal lainnya. Musik yang tadinya lambat dan mendayu tiba-tiba berubah menjadi musik dinamis dan energetik. Musik itu dieksploitasi, semata-mata agar enak buat berjoget. Kemudian, kita lebih terpana dengan gerakan dan goyangan dibandingkan dengan musik yang mengiringinya.

Sekali lagi, kita sebenarnya melihat musik, bukan hanya mendengarkannya.

Paradoks

Sepotong musik itu paradoks. Di satu sisi, sepotong musik adalah tanda kebangkrutan estetika. Di sisi lainnya, sepotong musik justru dapat diartikan sebagai estetika yang baru. Keindahan musik tak hanya bersifat auditif tetapi juga visual. Kenikmatan musik tak lagi panjang, beralur, dan mendalam tetapi ringkas dan padat. Terbukti, tak sedikit lagu yang menjadi populer berkat sepotong musik.

Lihat saja lagu bertajuk Waktuku Kecil, Garam dan Madu (Sakit Dadaku), atau Dari Planet yang Lain. Saya yakin, kebanyakan dari kita tak mendengar secara utuh ketiga lagu tersebut. Kendatipun ada yang mendengar, mungkin hanya satu bagian (dari lagu) yang membekas di benak. Ini sesungguhnya menunjukkan bahwa sepotong musik mempunyai kekuatan yang cukup hebat untuk memikat.

Dalam konteks ini, sepotong musik menjelma sebuah parameter tentang kepopuleran sebuah musik-lagu. Lagu dinilai berhasil jika ia digunakan sebagai latar video pendek. Semakin banyak penggunaannya, maka semakin berhasil lagu tersebut. Akhirnya, estetika musik terjebak pada pusaran kuantitas, bukan kualitas. Parameter ini barangkali tampak lucu dan tidak adil tetapi realitasnya memang demikian.

Sepotong musik adalah kenyataan yang tidak bisa ditampik. Kita harus menerimanya. Musisi pun demikian. Ia harus beradaptasi dengan sepotong musik untuk merawat eksistensinya. Maka, musisi harus menganggit karya yang sesuai dengan estetika sepotong musik. Anggitan itu harus menyajikan sepotong bagian dengan musikalitas prima dan dengan jargon-jargon yang khas. Dengan demikian, musik itu mampu mengakomodasi kebutuhan publik untuk melatari video pendek yang diunggahnya.

Celakanya, musisi mungkin akan kehilangan minat untuk menganggit lagu dengan garapan yang serius. Ia tak lagi mempertimbangkan struktur, progresi nada, apalagi dramaturgi musik yang mampu menarik-ulur emosi pendengar. Garapan serius macam itu tak lagi relevan dengan estetika sepotong musik. Estetika sepotong musik lama-kelamaan pasti akan menggeser estetika yang telah mapan sebelumnya --mendengarkan lagu hingga tuntas, menyelami alunan demi alunan, merenungi kata demi kata dalam lirik akhirnya menjelma kisah yang usang yang dirindukan.

Supriyadi etnomusikolog dan komposer

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial