Jakarta -
Efisiensi, kata yang begitu populer dan momok yang mengkhawatirkan bagi kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah pusat serta pemerintah daerah pada awal era pemerintahan Prabowo-Gibran. Efisiensi dimaknai sederhana, menyiapkan diri untuk menghadapi pengurangan anggaran yang berdampak besar. Pusing memikirkan nasib pegawai honorer yang menyedot anggaran yang besar, dan juga memikirkan sistem kerja pegawai dalam menghadapi tantangan efisiensi.
Sejumlah K/L dan pemerintah mulai mengancang-ancang dan ada yang sudah memulai langkah efisiensi itu, seperti pengaturan sistem kerja pegawai, membatasi perjalanan dinas pegawai, dan membatalkan pengadaan barang jasa yang tidak penting. Namun, ada satu lembaga pemerintah yang memulai gebrakan dan terobosan sejak lama terkait efisiensi ini. Lembaga itu bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BRIN terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 dan saat ini memiliki 13.663 sumber daya manusia (SDM) yang 70 persen di antaranya periset. BRIN dibentuk dari integrasi lima entitas lembaga riset, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ditambah SDM dari 74 kementerian dan lembaga. BRIN telah mempersiapkan dan melakukan efesiensi sejak terbentuk tiga tahun lalu.
Tiga Terobosan BRIN
Integrasi seluruh entitas riset ke dalam BRIN menjadi penanda babak baru pengelolaan riset di Indonesia. Selama ini, riset di Indonesia dilakukan oleh banyak lembaga pemerintah. Riset tumpang tindih, anggaran riset kecil karena diecer-ecer di banyak lembaga. Publikasi di tingkat global pun tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga. Peleburan seluruh lembaga riset dianggap menjadi solusi atas ketidakefektifan riset di Indonesia.
Sentralisasi pengelolaan riset menjadi kunci agar riset menghasilkan inovasi. Pembentukan BRIN diharapkan menjadi lokomotif penciptaan ekosistem riset yang baik. Perpres No. 78 Tahun 2021 tentang BRIN menjadi instrumen untuk menata riset dan inovasi di Indonesia menjadi kekuatan sistem, bukan lagi person (Sofanudin, 2022).
BRIN tidak hanya mengintegrasikan pengetahuan dan sumber daya, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi yang berkelanjutan. Dalam perjalanan ini, BRIN telah menunjukkan bahwa efisiensi bukan sekadar konsep, melainkan sebuah praktik yang dapat diimplementasikan secara nyata.
Ada tiga terobosan BRIN yang berdampak pada kebijakan efisiensi. Pertama, salah satu inovasi yang paling mencolok adalah sistem kerja fleksibel. Dalam tiga tahun terakhir, sistem ini telah menjadi langkah strategis yang mengubah cara pegawai BRIN bekerja. Dengan memberikan fleksibilitas untuk bekerja dari mana saja, BRIN tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan kerja dan pribadi.
Pegawai dapat memilih lingkungan kerja yang paling mendukung kreativitas dan fokus mereka, sehingga hasil kerja yang dihasilkan pun menjadi lebih optimal. Dalam seminggu, pegawai BRIN bekerja dua hari dengan sistem work from office (WFO) dan tiga hari bekerja dengan sistem work from anywhere (WFA). Per Januari 2025, seluruh SDM BRIN bekerja di homebase atau unit kerja masing-masing yang berada di wilayah Jabodetabek. Tidak ada lagi pegawai BRIN yang tersebar di daerah-daerah dalam wilayah Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem kerja fleksibel polanya mengacu pada konsep telecommuting. Konsep telecommuting yang menjadi dasar bagi WFA telah ada sejak 1970-an. Jack Nilles, yang pertama kali menggunakan istilah ini, bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan polusi, serta memberikan fleksibilitas kepada pekerja. Manfaat dari telecommuting adalah penghematan biaya sewa dan ruang kantor, telah dibuktikan oleh banyak perusahaan besar, termasuk IBM dan Ernst and Young, yang berhasil menghemat jutaan dolar dengan mengurangi ruang kantor yang disewa (Koriwaty, dkk, 2022).
Kedua, BRIN juga menjadi pelopor dalam memperkenalkan Co-Working Space (CWS) di lingkungan pemerintah. Konsep ini memungkinkan para pegawai untuk berkolaborasi dalam suasana yang lebih dinamis dan kreatif. Dengan adanya CWS, interaksi antar disiplin ilmu menjadi lebih terbuka, mendorong inovasi yang lebih beragam dan kolaboratif. Lingkungan kerja yang interaktif ini tidak hanya meningkatkan semangat tim, tetapi juga mempercepat proses penelitian dan pengembangan.
Di BRIN, seluruh SDM diberlakukan sama. Tidak ada keistimewaan antara pegawai baru atau seorang profesor (guru besar). Tidak ada ruangan pribadi dan sama-sama bekerja di ruangan yang sama. Bebas memilih kursi dan meja kerja yang masih kosong. Setiap ruangan yang bisa menampung 100 orang yang disediakan satu unit printer, mesin scanning, dan satu unit dispenser. Pegawai melayani dirinya sendiri, tidak ada pegawai administrasi. Satu pusat riset yang setara Eselon Dua berisi 40-100-an periset, tenaga administrasi kepegawaian hanya satu atau dua orang saja. Bandingkan dengan instansi pemerintah lainnya yang pegawai honorernya berjibun, dan kebanyakan mengurus administrasi.
Ketiga, salah satu pencapaian BRIN yang patut dicontoh adalah pengelolaan pegawai honorer. Sejak terbentuk pada 2021, dengan mengeliminasi pegawai honorer atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), BRIN menunjukkan komitmennya untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih profesional dan terstruktur. Tanpa adanya pegawai honorer, BRIN dapat lebih fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompeten, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Kebijakan dan terobosan yang dilakukan BRIN soal sistem kerja fleksibel seperti melampaui zaman. BRIN sudah duluan menerapkan sistem kerja fleksibel yang berlaku untuk seluruh pegawai sejak 1 Januari 2022. Sementara, acuan pemberlakuan sistem kerja fleksibel baru ditetapkan pemerintah pada 2023. Diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 21/2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai ASN khususnya pada Pasal 8. Peraturan tersebut memungkinkan pelaksanaan tugas kedinasan secara fleksibel baik dalam bentuk fleksibilitas lokasi maupun fleksibilitas waktu.
Kebijakan BRIN tentang sistem kerja fleksibel awalnya banyak mengundang kritik dengan berbagai alasan. Namun, sejak awal Januari 2025 pada masa kepemimpinan Prabowo-Gibran, kementerian dan lembaga lain juga menerapkan kebijakan sistem kerja yang fleksibel. Langkah BRIN diikuti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara. Bedanya, kedua instansi pemerintah ini tidak menerapkan ruangan kerja bersama atau CWS seperti halnya di BRIN.
Keberhasilan BRIN dalam menerapkan sistem kerja fleksibel dan pengelolaan pegawai yang efisien ini hendaknya bisa menjadi inspirasi bagi instansi pemerintah lainnya di Indonesia. BRIN telah menunjukkan bahwa efisiensi dalam bekerja bukan hanya sekadar jargon, tetapi dapat diimplementasikan secara nyata melalui inovasi dan kebijakan yang progresif.
Dedi Arman peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini