Jakarta - Sebagai tindak lanjut dalam upaya mengintegrasikan sistem digitalisasi pemerintahan, proyek Government Technology (GovTech) atau INA Digital sudah mulai berjalan. GovTech diresmikan oleh pemerintahan Jokowi pada acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit di Jakarta, 27 Mei 2024 yang bertujuan untuk mempercepat transformasi digital dan integrasi seluruh pelayanan publik di Indonesia, termasuk sistem perpajakan.
Khusus untuk administrasi pajak, pemerintah tengah mengembangkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) sebagai instrumen manajemen perpajakan berbasis digital. Dengan adanya Coretax, pemerintah berharap adanya peningkatan kepatuhan membayar pajak masyarakat Indonesia yang dinilai masih sangat rendah.
Baru-baru ini, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyebut apabila Coretax sudah terintegrasi dengan layanan lainnya, maka akan ada ancaman administratif sebagai konsekuensi ketidakpatuhan membayar pajak. Ketua DEN sempat menyinggung potensi kesulitan mengurus dokumen administratif seperti paspor dan ekspor-impor (detikcom, 9/1/2025).
Singkatnya, sistem digitalisasi melalui Coretax terhubung dengan sistem pelayanan publik yang lain, di mana algoritma layanan diatur dan dikontrol sedemikian rupa berdasarkan kepatuhan pajak. Apabila seseorang belum membayar pajak, maka secara sistem (digital) akan sulit, bahkan tidak bisa, untuk mengakses layanan lainnya. Sebagai contoh, sistem layanan paspor di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan dapat mendeteksi kepatuhan pajak pemohon layanan paspor. Apabila data menunjukkan pemohon belum membayar pajak, maka pemohon tidak dapat memproses lebih lanjut pengurusan paspornya.
Digitalisasi sebagai Instrumen Kontrol
Seperti fungsi teknologi pada umumnya, adopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor pemerintahan dimaksudkan untuk mendukung kinerja manajerial dan operasional. Dengan adanya digitalisasi, proses bisnis dan pelayanan publik seharusnya menjadi lebih berkualitas, efisien, murah, cepat, transparan, dan akuntabel.
Janji-janji manis digitalisasi memang sangat memukau para politisi, pejabat publik, dan birokrat. Bahkan seringkali menjadi bahan kampanye dalam politik elektoral. Namun apakah semua janji manis tersebut bisa terwujud? Tidak semua 'garansi' digitalisasi terwujud, bahkan seringkali muncul efek samping apabila tidak dikelola secara profesional.
Bukti empirik dalam berbagai studi tata kelola digital menunjukkan sisi positif dan sisi negatif dari digitalisasi pelayanan publik. Studi yang kami lakukan dalam konteks retribusi daerah misalnya, digitalisasi menciptakan realitas ganda bagi pemerintah daerah dan pembayar retribusi. Digitalisasi tersebut meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan di internal birokrasi, tetapi juga meningkatkan kebingungan, ketidakjelasan, dan prasangka bagi para pembayar retribusi (Pratama, 2024).
Kembali dalam konteks digitalisasi perpajakan. Selain modernisasi administrasi perpajakan, salah satu tujuan utama Coretax adalah meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak. Secara bertahap, pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 1200 sampai 1500 T atau sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam konteks politik implementasi kebijakan, digitalisasi pajak melalui Coretax dan GovTech adalah manifestasi kontrol digital yang mengarah pada relasi kuasa paksaan (coercive power). Rakyat terpaksa membayar pajak karena takut tidak bisa mendapatkan akses pelayanan publik. Hal ini analog dengan seorang anak sekolah yang belajar, bukan karena ingin mendapatkan pengetahuan, melainkan takut dimarahi apabila tidak belajar.
Relasi kuasa berbasis ancaman seperti ini akan mendorong kultur masyarakat yang tidak dewasa dan menciptakan suasana teror dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu kita tidak ingin masyarakat kita dilanda ketakutan dan kecemasan gara-gara ancaman administratif akibat belum membayar pajak.
Tingkatkan Kualitas Layanan dan Permudah Prosesnya!
Ancaman administratif melalui digitalisasi pajak adalah langkah kebijakan reaktif untuk mendapatkan hasil yang instan. Mungkin hal ini akan efektif dalam jangka pendek, tetapi berisiko fatal apabila terjadi resistensi masal. Menurut hemat saya, tidak ada cara yang instan untuk mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran dari masyarakat untuk membayar pajak harus lebih diutamakan daripada mengancam mereka dengan kesulitan akses pelayanan publik. Lalu bagaimana meningkatkan kesadaran itu?
Pemerintah dan masyarakat hendaknya harus menyadari bahwa pajak dan pelayanan publik adalah relasi hak dan kewajiban. Pelayanan publik yang berkualitas adalah kewajiban pemerintah dan hak rakyat. Sebaliknya membayar pajak adalah kewajiban rakyat dan hak pemerintah (yang digunakan untuk pembiayaan pelayanan).
Apakah selama ini kewajiban dan hak sudah diamalkan dengan baik? Bagaimana kualitas layanan pendidikan dan kesehatan? Bagaimana kualitas layanan transportasi umum?
Data dari Global Economy (2024) menyebutkan bahwa indeks kualitas pelayanan publik kita sebesar 5,60 dari skala 1-10. Indeks ini turun dalam beberapa tahun terakhir yaitu 6,20 pada 2022 dan 5.90 pada 2023. Dengan kondisi pelayanan publik yang seperti ini, mungkin rakyat juga enggan untuk membayar pajak. Warga dengan sukarela membayar pajak apabila mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas.
Dengan demikian, akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik hendaknya menjadi prioritas yang tidak hanya dituliskan dalam dokumen perencanaan pembangunan. Pelayanan publik yang berkualitas melahirkan kepercayaan publik sebagai kunci hubungan harmonis pemerintah dan rakyatnya.
Selain itu, perspektif yang lebih demokratis perlu dikedepankan. Alih-alih mengancam masyarakat, pemberian insentif pajak perlu menjadi perhatian khusus. Insentif ini dapat berupa finansial dan non finansial misalnya diskon pajak, undian berhadiah pembayar pajak, atau bahkan ucapan terimakasih kepada pembayar pajak melalui Whatsapp atau SMS.
Yang terakhir, modernisasi administrasi perpajakan hendaknya menciptakan kemudahan proses pembayaran pajak. Mungkin saja, rendahnya pemasukan pemerintah dari pajak disebabkan prosedur yang menyulitkan wajib pajak untuk membayar kewajibannya. Akan lebih produktif apabila digitalisasi melalui Coretax diprioritaskan untuk perbaikan operasional dan simplifikasi prosedur yang akan mempermudah proses administrasi perpajakan.
Dr. phil. Arif Budy Pratama dosen Administrasi Negara Universitas Tidar (mmu/mmu)