Jakarta -
Sejak Mendikdasmen Abdul Mu'ti menggulirkan wacana deep learning, berbagai pelatihan guru dengan tema ini mulai menjamur. Deep learning seketika menggeser pembahasan tentang Kurikulum Merdeka, seperti pembelajaran berdiferensiasi yang sebelumnya menjadi tema favorit pelatihan guru. Fenomena ini hampir selalu terjadi setiap ada pergantian menteri. Kebijakan baru sering direspons oleh sebagian pihak sebagai peluang komersialisasi, mulai dari pelatihan, lokakarya, hingga penerbitan buku ajar. Dalam hal ini, guru dan siswa menjadi pangsa pasar yang cukup menjanjikan.
Dapat Menjadi Solusi
Pada dasarnya, wacana deep learning yang diusung oleh Mendikdasmen dapat menjadi solusi bagi tantangan dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Meskipun Kurikulum Merdeka secara konseptual memberikan ruang pengembangan yang luas bagi guru, kenyataannya banyak guru mengalami kesulitan dalam menerapkannya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebebasan yang terlalu besar, sementara selama ini guru lebih banyak diberikan arahan teknis. Akibatnya, banyak guru merasa kebingungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deep learning menawarkan penyederhanaan dibandingkan dengan Kurikulum Merdeka. Misalnya, deep learning kembali menggunakan dimensi proses berpikir yang berjenjang. Dalam dokumen yang beredar di publik dengan judul Pembelajaran Mendalam: Transformasi Pembelajaran Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, deep learning menggunakan taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) sebagai kerangka kerja kognitif dalam pembelajaran. Taksonomi ini memiliki kesamaan struktur dengan taksonomi Anderson & Krathwohl yang digunakan dalam Kurikulum 2013.
Implementasinya pun lebih sederhana dan terukur dibandingkan dengan dimensi proses berpikir yang ditawarkan dalam Kurikulum Merdeka. Sebagaimana diketahui, Kurikulum Merdeka memberikan banyak alternatif bagi guru dalam memilih taksonomi pengetahuan, seperti Tighe & Wiggins serta Marzano. Kedua taksonomi ini bekerja secara kombinatif antardimensi proses berpikir.
Bagi guru yang kreatif dan inovatif, pendekatan ini sebenarnya lebih menantang. Namun, dalam praktiknya, banyak guru justru mengalami kebingungan dan kehilangan orientasi pembelajaran. Oleh karena itu, banyak guru lebih nyaman menggunakan level kognitif dalam taksonomi pengetahun Anderson & Krathwohl.
Dengan digunakannya taksonomi SOLO, yang memiliki kesamaan dengan taksonomi Anderson & Krathwohl, guru akan lebih mudah dalam merencanakan, mendesain, serta mengevaluasi pembelajaran. Sebelum Kurikulum Merdeka diterapkan, guru sudah mulai memahami dimensi proses berpikir dan dimensi pengetahuan dalam taksonomi Anderson & Krathwohl.
Dalam dimensi proses berpikir guru sudah akrab dengan konsep berpikir tingkat rendah (Lower-Order Thinking Skills), tingkat menengah (Middle-Order Thinking Skills), dan tingkat tinggi (Higher-Order Thinking Skills). Sedangkan dalam dimensi pengetahuan, guru juga telah memahami peta pengetahuan yang mencakup pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Dalam konteks ini, secara sederhana, deep learning berfokus pada kombinasi antara level berpikir tingkat tinggi dan pengetahuan metakognitif.
Penggunaan kombinasi antara level berpikir dan dimensi pengetahuan seperti ini lebih mudah diimplementasikan. Guru lebih leluasa dalam merancang pembelajaran yang mendalam dan bermakna. Selain itu, pendekatan ini juga lebih mudah diukur, sehingga kualitas pembelajaran dapat dievaluasi dengan lebih baik.
Jangan Berhenti di Administrasi
Meskipun lebih sederhana dan mudah diterapkan, Kemendikdasmen perlu waspada agar perubahan pendekatan pembelajaran ini tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, yakni hanya berhenti di perubahan administrasi sementara ruang kelas tetap berpusat di guru. Jika ruang kelas tetap berpusat di guru, maka esensi perubahan tidak akan tercapai.
Kemendikdasmen perlu menciptakan sistem penjaminan mutu yang benar-benar efektif. Penjaminan mutu tidak boleh berhenti pada kegiatan pelatihan, lokakarya, atau bimbingan teknis semata. Harus ada mekanisme yang efektif untuk memastikan perubahan pembelajaran benar-benar diterapkan hingga ke tingkat kelas. Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Berbagai mekanisme penjaminan mutu pembelajaran yang telah ada, seperti supervisi kelas, penilaian kinerja guru, serta program pengembangan keprofesian berkelanjutan, masih sering berakhir di urusan administrasi belaka. Bahkan, Platform Merdeka Mengajar (PMM) pun saat ini cenderung hanya menjadi tempat unggah dokumen tanpa pengawalan implementasi yang memadai.
Agar deep learning benar-benar membawa perubahan dalam dunia pendidikan, Kemendikdasmen perlu memastikan bahwa pendekatan ini tidak hanya menjadi sekadar wacana. Transformasi pembelajaran harus terjadi secara nyata di dalam kelas, dengan orientasi yang benar-benar berpihak pada peserta didik.
Bagus Mustakim Pengawas Sekolah di Kantor Kementerian Agama Kab. Ngawi
Simak juga Video Mendikdasmen soal Tidak Semua Coding Harus Berbasis Internet
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu