Jakarta -
Mencapai Indonesia emas 2045, tidak ada yang tidak setuju. Namun, memang jalanan tidak lagi terjal, namun teramat terjal. Pada tahun 1990, cita-cita Pemerintah agar tahun 1995, lima puluh tahun kemerdekaan, pada ulang tahun emas, Indonesia mencapai kegemilangannya.
Pada tahun tersebut, Indonesia berpesta. Tiga tahun setelah itu, Indonesia terasa 'didepak dari surga'. Dari negara dengan PDB per kapita US$ 1.129 (1996) menjadi US$ 459 (1998). Perekonomian Indonesia 'hancur lebur'.
The only player in town adalah BUMN, karena konglomerat swasta masuk ICU, koperasi dan UKM, sebagai ekonomi resipien (sekedar menerima keadaan), masih jauh dari kuat. Presiden Soeharto mendirikan Kementerian Pendayagunaan BUMN/Badan Pendayagunaan BUMN, atas konsep Tanri Abeng, yang saat itu dikenal sebagai 'Manajer Satu Miliar'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, BUMN berhasil menjadi penggerak lokomotif ekonomi Indonesia yang macet total (Abeng, Indonesia Incorporated, 2001).
Harapan Lama
Menjadi negara makmur sejahtera adalah harapan lama yang terus relevan. Pada Desember 2015, Direktur Kebijakan Ekonomi Bank Indonesia (sekarang Deputi Gubernur BI) menyampaikan bahwa PDB Indonesia adalah US$ 3.412, dan dengan bonus demografinya, pada tahun 2030 akan keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dengan pendapatan US$ 14.129 pada tahun 2030, artinya melampaui threshold US$ 13.000.
Dengan catatan, pertumbuhan ekonomi sejak tahun tersebut hingga 2030 mencapai 10%. Atau mendekati, sebesar US$ 9.652, dengan catatan pertumbuhan ekonomi stabil di 7,1%. Namun, jika konstan 5%, pada akhir 2030 hanya mencapai US$ 7.247. jebakan pendapatan menengah hampir pasti tidak dapat dicapai 2030. Untuk itu perlu narasi baru, mengundurkan target.
Pada tahun 2024, Indonesia memiliki PDB per kapita US$ 4,960. Pada 9 Mei 2019, Presiden Jokowi meletakkan Visi Indonesia Emas 2045 dengan PDB US$ 7,3 triliun, atau PDB per kapita US$ 25.000. Wakil Menkeu Thomas Djiwandono menyebut US$ 30.300.
Karena itu, pada Pidato di Qatar Economic Forum (15/5/2024) calon Presiden Prabowo Subianto, yang sekarang menjadi Presiden terpilih resmi, menyampaikan percaya diri, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Tujuannya jelas, agar Indonesia dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan mencapai Indonesia emas.
Jelas, sangat tidak mudah. Kuncinya adalah pertumbuhan investasi dan ekspor, karena belanja atau konsumsi masyarakat, yang tahun 2024 menyumbang 54% PDB, tidak dapat diandalkan untuk menjadi 'genjotan ekonomi', karena daya nilai tambahnya terbatas.
Untuk ekspor, jelas tidak mudah. Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2024, defisit transaksi berjalan mencapai 0,6% dari PDB (US$ 8,85 miliar), meningkat dari tahun sebelumnya yang 0,1% dari PDB (US$ 2,04 miliar), dan diperkirakan melebar menjadi 1,18% dari PDB 2025 karena agenda kebijakan percepatan pro-pertumbuhan.
Efek lanjutannya adalah Rupiah cenderung tertekan. Pilihannya tinggal satu: pertumbuhan investasi. Karena itu, untuk mendapatkan pertumbuhan 8%, perlu Rp 13.032,8 triliun dalam lima tahun ke depan. Danantara adalah solusinya.
Lanjut ke halaman berikutnya
Kecemasan Baru
Dunia mengalami paceklik (kemarau panjang) kapital, terutama setelah krisis pasar modal AS tahun 2008 dan menyebar ke seluruh dunia, krisis pinjaman Zona Euro yang diawali dari krisis keuangan Yunani pada 2009, dan 2019 dihempas pandemi global COVID-19.
Total utang global pada 2024 mencapai US$ 318 triliun, dan IMF memperkirakan tetap tinggi, karena pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, 2,6% di tahun 2024, dan 2,7% di tahun 2025. Pemulihan Eropa ditolong oleh Marshal Plan Amerika, karena saat itu Eropa bangkrut, namun Amerika tidak.
Hari ini, ibarat, semua ekonomi sedang sulit, tidak juga bagi Amerika, China, atau Rusia, dan Zona Eropa. Sementara, Indonesia, yang berada pada ranking 27 daya saing global, kalah dalam lomba menarik investasi global dengan India yang berada pada ranking 38.
Bahkan, kalah dari Vietnam yang tidak masuk daftar. PDB India tumbuh 5,4% pada tahun 2024, Vietnam 7,09%, sementara Indonesia 5,03%.
Mengandalkan investasi internasional semata, nampaknya seperti pungguk merindukan bulan. Karena itu, Pemerintah membuat kebijakan terobosan mendirikan Badan Pengelola Investasi Danantara, dengan UU No. 1/2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19/2003 tentang BUMN, dan PP No. 10/2025 tentang Ortala BPI Daya Anagaata Nusantara.
Selain cita-cita menjadi negara makmur sejahtera, ternyata Danantara adalah juga harapan lama, yang dinilai relevan, yang dinyatakan oleh Sumitro Djojohadikusumo pada akhir 1980-an. Ide yang ditolak Menkeu JB Sumarlin pada Desember 1996, adalah mengambil sebagian dividen BUMN untuk dialihkan di suatu investment fund untuk membeli saham perusahaan swasta yang menguntungkan. Malaysia justru mengembangkan dalam bentuk perusahaan induk BUMN Khazanah Bhd. tahun 1993.
Danantara, meningkatkan gagasan Sumitro, dari hanya mengambil sebagian dividen BUMN, meniru Malaysia, justru mengambil alih seluruh BUMN. Target total aset yang akan dikelola mencapai lebih dari U$ 900 miliar (sekitar Rp 14.670) yang merupakan kombinasi dari seluruh aset BUMN, (99%, di luar 1% saham seri A), dan tenggat waktunya adalah akhir Maret 2025.
Dan, Danantara akan mengambil seluruh dividen BUMN, dari sebelumnya masuk ke APBN. Dana awalnya berasal dari Penghematan APBN US$ 20 miliar (sekitar Rp 326 triliun).
Kebijakan yang banyak dinilai ambisius ini membawa kecemasan baru. Dinyatakan konsolidasi BUMN akan berada di satu tangan secara operasional -berubah dari pengelolaan secara regulasional di Kementerian BUMN yang hanya akan memegang saham Seri-A.
Jika Temasek dan Khazanah diarahkan untuk membeli saham-saham perusahaan yang bagus dan meningkat nilainya di pasar internasional, maka Danantara dinyatakan akan membiayai proyek-proyek nasional yang berdampak tinggi di sektor energi terbarukan, industri hilir, manufaktur canggih, produksi pangan, dll.
Lanjut ke halaman berikutnya
Pada tahun 1967, ketika Indonesia mengalami krisis berat, maka BUMN perkebunan menjadi penyelamat ekonomi nasional. Pada krisis yang berat tahun 1998, maka seluruh BUMN menjadi penyelamat ekonomi.
Konsolidasi tunggal BUMN di tangan satu organisasi, di satu sisi mempunyai peluang sekuat Temasek atau Khazanah. Namun, di sisi lain, mencermati rencana bisnis yang disampaikannya per hari ini, belum dapat diketahui, apakah kepastian tadi dapat diperoleh.
Apalagi jika fokusnya adalah investasi strategis proyek yang greenfield, proyek baru. Risikonya cukup besar, termasuk pembangunan industri kimia dasar, yang memerlukan waktu untuk mencapai return-nya, apalagi jika untuk infrastruktur nasional, yang menjadi masalah bagi BUMN-BUMN Karya. Dan, tentu saja, jangan sampai masuk ke proyek yang brownfield, proyek kategori terbengkalai.
Pengalaman China, mereka tidak menyatukan BUMN-nya dalam SWF mereka, China Investment Corporation. BUMN tetap di bawah administrasi SASAC (State Owned Assets Supervision and Administration Commission of the State Council) dan menjadi super-super holding yang mandiri.
Konsep yang dibuat pada tahun 1998-1999 di Kementerian BUMN di bawah Menteri Tanri Abeng. Holdingisasi BUMN bukan membuat satu Superholding yang tunggal, namun dua belas superholding yang mandiri. Karena, prinsipnya adalah never put all your eggs in a single basket.
Jika Danantara dengan BUMN sebagai core-nya suatu ketika bermasalah, maka Indonesia dalam masalah besar, habis sudah. Karena tidak ada lagi penyelamat ekonomi pada waktu krisis berat -dan saya memperkirakan akan ada krisis berat lagi sekitar tahun 2032 (lihat Abeng & Nugroho, Manajemen Sebagai Profesi, 2024).
Malaysia hampir mengalami kebangkrutan total gegara memaksakan diri membangun SWF. Pada tahun 2009, ketika masih mengajar di Universiti Malaya Kuala Lumpur, saya menyaksikan sendiri glorifikasi untuk membangun SWF 1Malaysia Development Berhard.
Setelah mengalami euforia yang luar biasa, tahun 2016 SWF ini mengalami skandal korupsi, yang bahkan disebut salah satu yang terbesar di dunia. Untungnya, Khazanah tidak dimasukkan ke dalamnya.
Alhasil, ekonomi mereka masih terjaga. Kecemasan Danantara memang hal govenance, terlepas dari pernyataan resmi lembaga ini memiliki pengawasan berlapis, dan menghormati Santiago Principle. Nampaknya, market trust dan public trust masih menjadi pekerjaan rumahnya.
Apalagi, semenjak lembaga auditor negara dan pemerintahan seperti BPKP dan BPK tidak berwenangan lagi memeriksanya.
Lanjut ke halaman berikutnya
Kebijakan Pelengkap
Untuk membuat Danantara bekerja dengan nyaman dan bertanggung-jawab, maka setidaknya ada tiga kebijakan pelengkap yang diperlukan. Pertama, kebijakan yang membenarkan Danantara sebagai Badan Pemerintah untuk lepas dari pengawasan lembaga pemeriksa pemerintah dan negara.
Pada pasal 23 ayat 5 UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk memeriksa tanggung-jawab Keuangan Negara diadakan BPK. Danantara, sebagai Badan, pun BUMN, masih masuk dalam kategori 'tanggung-jawab Keuangan Negara'. Klausula 'dapat diperiksa' seperti pada UU 1/2025 berbeda pemahaman dengan pasal 23 (5) UUD 1945. Dan, UU tidak diperkenankan berbeda, apalagi bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, perlu kebijakan yang memastikan hadirnya high level trust di tingkat nasional dan global, agar mampu menjadi magnet investasi dunia dengan cara memastikan keberadaan good governance dan good corporate governance.
Ada tiga cara. Pertama, membebaskan Danantara dari keterdekatan politik apa pun, termasuk keberadaan tokoh politik di dalamnya, dalam posisi apa pun. Danantara harus menjadi lembaga profesional.
Kedua, memastikan pengurusnya adalah orang yang dipercaya di tingkat nasional sekaligus global. Kalau perlu, secara ekstrem, mengundang talenta terbaik dunia.
Tony Blair bagus, namun nampaknya perlu talenta global pada jenjang manajer pelaksana. Ketiga, tidak cukup hanya pengawas dari kekuasaan seperti saat ini.
Disarankan untuk memiliki Independen Oversight Committee yang terdiri dari tokoh masyarakat yang dikenal mempunyai integritas tinggi dan independen dari politik dan bisnis atau proyek, terutama bisnis dan proyek yang terkait dan akan terkait dengan Danantara.
Ketiga, tetap membuka dan mempertimbangkan kebijakan lain yang mungkin lebih baik. Seperti rahasia kemenangan Singapura, mereka mempunyai tiga mode berfikir yang dilakukan bersamaan: thinking ahead, thinking across, dan thinking again (Neo & Chen, Dynamic Governance, 2006).
Karena, hemat saya, Danantara adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar, sehingga memerlukan perencanaan berbasis risiko hang paling ekstrem pula. Karena, Danantara bukan hanya 'pertaruhan' Pemerintahan Presiden Prabowo, melainkan ekonomi seluruh bangsa Indonesia.
Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Pengajar Universitas Jenderal Achmad Yani
Simak Video "Akhiri Paradoks Indonesia, Pemerintah Bentuk Danantara"
[Gambas:Video 20detik]