Akankah Kopdes Merah Putih Mampu Basmi Tengkulak?

12 hours ago 6

Jakarta -

Pemerintah menargetkan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih mampu menggeser keberadaan tengkulak hingga rentenir. Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, bilang butuh waktu lama bagi Kopdes Merah Putih sampai benar-benar bisa menggantikan peran tengkulak dan rentenir di desa-desa.

Tidak cuma itu, Tauhid mengelaborasi, hingga saat ini koperasi desa yang aktif cuma berkisar di angka empat ribuan koperasi. Ia bilang, diharapkan ke depannya, yang ada dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang berjumlah sekitar 64 ribu orang juga bisa dilibatkan dan berubah menjadi koperasi.

"Mereka itu rata-rata memang basisnya adalah petani yang berusaha untuk di sektor budidaya. Kemudian menginput untuk mendistribusikan pupuk subsidi dan sebagainya. Tetapi belum beralih menjadi bisnis untuk menjadi (punya peran seperti) rentenir dan sebagainya. Itu 'kan perlu waktu, ya," katanya kepada detikcom, Sabtu (19/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut Tauhid menjelaskan, kondisi koperasi desa yang ada dan aktif saat ini juga sedikit. Ia bilang, tidak mungkin bisa direalisasikan dalam waktu yang cepat agar Kopdes Merah Putih mampu menggantikan peran tengkulak dan rentenir.

"Menurut saya, tidak mungkin cepat sampai mengurangi peran itu (tengkulak dan rentenir). Apalagi, yang sulit adalah ada ikatan kuat secara sosial dan ekonomi antara para pelaku tengkulak dengan para petani. Saya kira itu yang butuh waktu," terangnya.

Tauhid juga memprediksi, keberadaan tengkulak dan rentenir tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dengan keberadaan Kopdes Merah Putih. Ia bilang, belum tentu kopdes plat merah ini nantinya mampu membantu kebutuhan hidup petani di kala gagal panen.

"Ya, dia (Kopdes Merah Putih) bisa menampung misalnya panen untuk dijual, ambil untung. Tetapi ketika ada gagal panen, ada kekurangan misalnya anaknya petani butuh sekolah, atau ada yang sakit. Nah, apakah koperasi mau masuk ke wilayah itu? Kalau tengkulak berani ada di wilayah itu," ucapnya.

Tauhid menilai butuh kerja keras untuk benar-benar bisa menggantikan peran tengkulak dan rentenir di desa. Hal ini memungkinkan, tetapi kata Tauhid, tidak dapat direalisasikan di semua wilayah pedesaan.

"Memungkinkan, tapi tidak di semua tempat. Tengkulak itu istilahnya mereka memberikan dana duluan, nanti kegagalan panen tinggal dikurangi. Tetapi 'kan seringkali harganya lebih rendah dari harga pasar, jadi mereka bisa untung lebih tinggi," katanya.

"Intinya bisa (menggantikan peran tengkulak dan rentenir), tapi kalau (skala) besar dan masif, rasanya butuh waktu lama," tutupnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar, bilang bahwa tengkulak bukan jadi soal yang harus dipikirkan saat ini.

"Sekarang tantangannya adalah soal desain kebijakan. Kalau desain kebijakan, regulasi, dan model pembiayaan seperti sekarang, yang terjadi adalah inefisiensi anggaran. Ada potensi kekacauan pembiayaan. Tidak yakin juga bisa mengatasi tengkulak," katanya kepada detikcom, Sabtu (19/4/2025).

Askar memberikan informasi lebih lanjut soal ini dari unggahan di akun media sosialnya. Ia menyoroti kebutuhan anggaran sebesar Rp 400 triliun untuk dapat melahirkan 80 ribu Kopdes Merah Putih.

"Kepala desa yang kritis menolak rencana ini, karena berpotensi memangkas dana desa yang bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting di desa serta mematikan upaya pengembangan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang tengah berjalan," ujarnya dalam unggahan tersebut.

Askar juga bilang, amanat instruksi presiden dinilai problematik dengan gagasan bahwa semua penerima bantuan sosial (bansos) akan menjadi anggota Kopdes Merah Putih, dan desa juga bisa dibebankan hutang dari bank plat merah.

"Langkah ini berlawanan dengan semangat koperasi yang berbasis 'sukarela', dan membangun dari anggota, oleh anggota, untuk anggota," lanjutnya.

"Desa punya keunikan, potensi, dan masalah yang berbeda. Sekarang, pemerintah menggunakan tangannya untuk melakukan penyeragaman program, tersentralisasi dan berpotensi menjadi alat kontrol politik, mengerdilkan peran desa. Kebijakan ini justru menarik mundur semangat membangun dari desa yang digagas oleh pendahulu bangsa," katanya.

Lain halnya dengan yang diutarakan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih. Ia mengatakan keberadaan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih bisa menggeser keberadaan tengkulak dan rentenir. Hal ini lantaran, menurut Henry, peran yang selama ini dilakukan tengkulak dan rentenir tidak menguntungkan bagi petani.

Henry bilang, hak guna usaha lahan tanah yang ada di desa seharusnya tidak lagi diberikan kepada perusahaan, melainkan bisa langsung dikelola oleh rakyat bersama keberadaan Kopdes Merah Putih.

"Menurut kita bisa, bisa akan mengambil alih peran-peran yang selama ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang menurut kita itu tidak menguntungkan kepada petani. Rakyat bisa mengelolanya melalui koperasi-koperasi tersebut," ujarnya kepada detikcom pada Selasa (15/4/2025).

Henry bilang, Kopdes Merah Putih harus benar-benar didorong untuk mengajak petani dan rakyat pedesaan agar aktif di dalamnya. Bukan justru sebaliknya, aparat pemerintah yang menjadi pengelola koperasi.

"Pemerintah itu hanya sifatnya mendorong kelahiran dari koperasi-koperasi ini. Yang kedua, Kopdes Merah Putih ini adalah salah satu dari koperasi-koperasi yang selama ini sudah ada maupun koperasi lainnya. Jadi, dia ini mendampingi atau melengkapi koperasi yang selama ini sudah ada, biar bertumbuh," ujarnya lagi.

Henry juga berharap agar pemerintah tidak hanya mendorong hadirnya Kopdes Merah Putih, melainkan juga koperasi lain yang sudah ada dari inisiatif para petani. Hal ini termasuk dalam diberikan kemudahan mendirikan koperasi.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial