Chicago, Islam, dan Harmoni Keragaman

1 month ago 24

Jakarta -

Pertama kali saya mendengar kota Chicago adalah ketika membaca artikel yang ditulis oleh Gus Dur. Waktu itu saya masih duduk di bangku kuliah semester 2. Artikel yang saya maksud berjudul Tiga Pendekar dari Chicago. Dalam artikel tersebut, tokoh yang kemudian menjadi presiden keempat Indonesia itu menyebut tiga tokoh penting Indonesia yang dia juluki sebagai "pendekar". Mereka adalah Nurcholis Madjid, Amin Rais dan Syafii Maarif. Menurut Gus Dur, lulusan Chicago memiliki karakter berbeda dengan alumni universitas lain di Amerika atau Kanada yang cenderung padu dalam pemikiran dan gagasan.

Awal Oktober lalu, saya bersama beberapa pemimpin pesantren dari seluruh Indonesia dikirim oleh Kementerian Agama yang bekerja sama dengan LPDP ke Amerika. Selama dua bulan, kami diberi tugas untuk mengikuti program microcredential di dua lembaga, American Islamic College dan Lutheran School of Theology. Yang pertama adalah satu-satunya lembaga Islam yang terakreditasi oleh pemerintah, sementara yang kedua adalah lembaga Kristen Protestan bermazhab Lutheran.

Selama di Amerika, saya tinggal di Hyde Park, sebuah lingkungan elite di sisi Selatan kota Chicago yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan Amerika. Dari lingkungan ini nama-nama besar lahir dan mewarnai pemikiran dunia. Sebut saja Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat. Obama besar dan tinggal di lingkungan Hyde Park sampai terpilih menjadi anggota kongres dari negara bagian Illinois hingga presiden.

Ada juga nama petinju muslim yang sangat legendaris, Muhammad Ali. Nama tokoh muslim lain yang pernah tinggal di sini adalah Alijah Mohammad, pemimpin Nation of Islam, sebuah organisasi keagamaan yang berperan penting dalam penyebaran Islam di AS. Atau, bagi pembaca yang mengikuti isu politik, ada juga nama Francis Fukuyama. Bukunya yang berjudul The End of the History and the Last Man pertama kali disampaikan kepada publik di tempat ini, tepatnya di auditorium Social Science Research Universitas Chicago.


Madinahnya Amerika

Chicago adalah contoh bagi kota yang memberikan kebebasan beragama sebebas-bebasnya. Kebebasan ini menjadikan umat Islam memiliki kesempatan yang sama dengan umat lain untuk mengekspresikan keyakinannya. Berbagai mazhab, aliran, organisasi Islam tumbuh subur di kota ini. Muslim lokal biasanya menyebut Chicago sebagai American Medina --Madinahnya Amerika-- untuk menunjukkan keragaman yang terbalut dalam harmoni.

Harmoni beragama dan perkembangan Islam di Chicago pernah dipotret oleh The Washington Post. Pada 2013, media itu menyebut Chicago sebagai "titik nol dalam kebangkitan Muslim AS". Alasannya karena kota ini kaya akan organisasi Muslim yang energetik dan salah satu komunitas Muslim terbesar dan paling beragam di negeri Paman Sam. Menurut data pemerintah, jumlah umat Muslim mendekati angka 400.000 orang. Mereka tergabung dalam berbagai organisasi Islam seperti ISNA, MAS, dan CAIR.

Menariknya, jika Islam di negara lain seperti di Indonesia, Turki, atau India mengalami pribumisasi, maka Islam di Amerika tidak memilih proses itu. Saya sempat berkesimpulan ini adalah alasan kenapa Islam tidak berkembang cepat seperti di negara lain. Kesimpulan itu ditolak oleh Dr. Mahan, profesor saya dari Universitas Notredame. Menurutnya justru itu adalah potret Islam yang harus ditunjukkan di Amerika. Islam yang beragam, kaya, dan menghargai perbedaan. Lebih lanjut, menurutnya, fakta bahwa Islam yang beragam seperti ini membantu mereka melawan narasi Islamofobia pasca peristiwa teror 9/11.

Muslim yang datang ke Amerika tetap mempertahan identitas asalnya lengkap dengan tradisi, budaya, sampai arsitektur masjidnya. Misalnya, pada suatu kesempatan saya dengan grup dari Indonesia diantar untuk mengunjungi Masjid Darussalam yang terletak di pinggiran kota Chicago. Ketika memasuki gerbang kompleks masjid yang dilengkapi dengan madrasah itu suasana Pakistan langsung terasa, baik dari arsitektur bangunan masjidnya, cara mereka berpakaian, sampai aliran Islam yang diajarkan.

Dalam kunjungan itu persis kami tidak menemukan jamaah perempuan satu pun. Menurut seorang syaikh yang mengawal rombongan kami, jamaah perempuan beribadah terpisah dan tidak ada kegiatan bersama dengan mereka di kompleks ini.

Suasana lain saya rasakan ketika masuk ke masjid komunitas Turki. Jika di Masjid Darussalam semua jamaah menggunakan pakaian Muslim seperti di Arab, di tempat ini semua jamaah salat tetap dengan pakaian kerja mereka --celana, kemeja dan jas. Beberapa jamaah bahkan berpakaian lengkap dengan dasi persis seperti orang Turki di negaranya. Hal menarik lain, yang mendampingi kami selama tur di kompleks tersebut adalah perempuan. Satu pesan yang menunjukkan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.

Pengalaman yang hampir sama terjadi ketika kami melakukan kunjungan ke masjid komunitas Muslim Syiah. Dari awal, kami sudah disambut oleh jamaah perempuan dengan hidangan manisan asli tanah Persia. Masjid-masjid komunitas muslim lain seperti Maroko, Somalia, dan India semuanya sama. Mereka tetap berdiri dengan karakter dan budayanya yang khas.

Tentu apa yang saya sebutkan di atas adalah sedikit dari pengalaman yang bisa dibagikan. Di luar itu masih banyak potret menarik komunitas Muslim yang bisa ditemui di Chicago. Tidak hanya umat Islam, komunitas-komunitas sempalan Islam seperti Ahmadiyah dan Bahai juga berkembang begitu pesat di Chicago. Bahkan, masjid pertama yang dibangun di Amerika konon adalah Masjid al-Siddiq dari jamaah Ahmadiyah.


Harmonis

Meskipun terdiri dari banyak kelompok, relasi antar organisasi Islam di Chicago terjalin begitu harmonis. Terdapat beberapa pertemuan rutin tahunan yang diadakan untuk mempertemukan satu komunitas Muslim dengan komunitas Muslim yang lain. Salah satu yang saya hadiri adalah pertemuan yang diadakan oleh Council of American Islamic Relation (CAIR) Chicago. Sebuah pertemuan rutin tahunan seluruh komunitas Muslim di kota itu. Dalam kesempatan itu, Muslim bersatu untuk membahas isu-isu yang mereka hadapi sebagai kelompok minoritas. Isu-isu pendidikan, politik, ekonomi hingga isu global menjadi agenda pertemuan mereka.

Pelajaran yang menarik dari pengalaman ini adalah bahwa perkembangan Islam di Amerika berutang kepada kebebasan berekspresi, demokrasi, dan kesamaan hak antarwarga negara. Semuanya adalah ajaran-ajaran luhur dan prinsip yang disampaikan oleh Nabi Muhammad sejak pertama kali Islam datang. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban kita untuk terus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tersebut.

Ahmad Munji academic felowship di AIC dan LSTC, awardee program microcredential LPDP-DAP Kemenag

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial