Jakarta -
Di Kazakstan, hukuman untuk kasus penculikan pengantin akan diperberat. Parlemen setempat sedang berupaya mengubah undang-undang untuk mencoba memberantas tradisi kuno tersebut.
Hampir setiap perempuan muda di Kazakstan menyadari risiko penculikan pengantin yang mereka hadapi. Jika hal ini terjadi pada seorang perempuan, rencana masa depan mereka bisa terganggu secara signifikan.
Inilah yang terjadi pada Gulmira K., seorang perawat dari Almaty, kota terbesar di Kazakstan. Gulmira, yang tidak ingin menggunakan nama lengkapnya di media, diculik saat berusia 19 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu hampir 20 tahun yang lalu," katanya kepada DW.
"Saya sedang kuliah di Almaty dan hendak pulang dari kampus pada malam hari. Sebuah mobil berhenti, tiga pria melompat keluar dan mencengkeram saya, lalu melemparkan saya ke kursi belakang, kemudian menyelimuti saya. Dua dari mereka duduk di sebelah saya dan menahan saya. Setelah dua jam, saya berada di sebuah rumah di desa di mana para perempuan segera menutupi saya dengan kain putih, sebagaimana tradisi yang berlaku. Jelas bagi saya bahwa saya telah diculik untuk dinikahkan. Saya tidak bisa bebas dan tidak lama kemudian saya bertemu dengan calon suami saya, seseorang yang belum pernah saya temui sebelumnya. Pada hari itu juga dia mengambil keperawanan saya," jelas Gulmira.
Seminggu kemudian Gulmira baru bisa menghubungi orang tuanya. Namun, bantuan yang ia harapkan tidak kunjung datang.
"Ayah saya hanya mengatakan bahwa saya yang harus disalahkan atas semuanya. Dia mengatakan bahwa saya telah mempermalukan seluruh keluarga dan dia tidak ingin bertemu dengan saya lagi. Jadi saya menjadi istri dari seorang laki-laki yang keluarganya hampir tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Orang tua saya, di sisi lain, adalah orang yang berkecukupan," katanya.
Keluhan selama 30 tahun
Butuh waktu sembilan tahun sebelum Gulmira dapat melarikan diri dari pernikahan paksa tersebut.
"Saat itu, saya sudah memiliki dua anak," katanya.
"Saya bertemu dengan seorang teman sekolah secara tak terduga di sebuah klinik dan menceritakan kisah saya. Dia menyarankan saya untuk kembali ke Almaty bersama anak-anak, dan itulah yang saya lakukan. Kemudian, dia membantu saya dalam proses perceraian dan mencari pekerjaan. Mantan suami saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, jika penculikan pengantin perempuan merupakan tindak kriminal pada saat itu - sesuatu yang baru saja dibicarakan sekarang - hidup saya akan berbeda. Saya bahkan tidak akan pernah bisa menyelesaikan studi saya," katanya.
Hukuman bagi penculikan dengan tujuan pernikahan non-konsensual sebenarnya telah diperdebatkan di Kazakstan sejak pertengahan 1990-an. Para aktivis hak asasi manusia telah mengeluhkan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus penculikan pengantin tidak pernah diadili selama hampir 30 tahun.
Pasal 125 KUHP Republik Kazakstan menyatakan bahwa penculikan dapat dihukum dengan hukuman penjara antara empat hingga tujuh tahun. Pasal 125 juga mengatakan bahwa, jika penculik membiarkan korbannya bebas, mereka bisa lolos dari jerat hukum. Celah ini tidak banyak diperhatikan oleh pihak berwenang dan mendorong para pelaku untuk berpura-pura membiarkan perempuan yang mereka culik dan paksa untuk menikah "bebas."
Secercah harapan bahwa aturan hukum ini akan berubah muncul pada Agustus 2023. Komisioner Hak Asasi Manusia Kazakstan, Artur Lastayev, mengumumkan rancangan undang-undang yang sedang digodok, dan akan menjadikan penculikan pengantin sebagai tindak pidana.
"Kami telah meminta jaksa agung untuk membuat daftar kejahatan yang terpisah, yang dapat dibedakan dari kejahatan yang diatur dalam pasal 125," kata Lastayev kepada para wartawan di Astana, ibu kota Kazakstan.
"Rancangan (undang-undang) ini didasarkan pada pengalaman negara-negara tetangga kami dan rekomendasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa."
Kemajuan yang lambat
Terlepas dari kenyataan bahwa jaksa agung setuju untuk mendukung inisiatif tersebut, tidak ada yang terjadi. Enam bulan kemudian, Presiden Kazakstan Kassym-Jomart Tokayev turun tangan.
"Di negara kami, ada orang-orang yang melakukan penculikan pengantin dengan kedok yang seharusnya menjadi tradisi nasional," kata Tokayev.
"Ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal ini bertentangan dengan cita-cita masyarakat yang progresif, di mana martabat, hak, dan kebebasan setiap manusia adalah nilai mutlak," tegasnya.
Jika presiden tidak mengatakan hal ini, kecil kemungkinan topik ini akan menjadi agenda nasional lagi, kata Murat Abenov, seorang anggota parlemen dari Partai Amanat yang berkuasa, kepada DW.
"Kemungkinan besar ada banyak orang di lembaga penegak hukum kami yang menoleransi distorsi tradisi ini," kata Abenov, yang telah mendorong hukuman yang lebih berat untuk penculikan pengantin selama bertahun-tahun.
Menurut Abenov, pada faktanya, penculikan pengantin - yang sering terjadi di bagian selatan dan barat, serta ibu kota Astana dan kota-kota lain seperti Almaty - secara historis tidak pernah ada di Kazakstan.
"Pada Abad Pertengahan, penculikan perempuan hanya diizinkan selama operasi militer, sebagai hadiah," lanjutnya.
"Penculikan anak perempuan dari keluarga yang tidak berperang dianggap sebagai kejahatan yang sangat serius, yang dapat dihukum mati."
Sebagian besar kasus tidak pernah sampai ke pengadilan
Komisioner Hak Asasi Manusia Lastayev ingin menambahkan satu pasal tambahan, yaitu Pasal 125 ayat 1 ke dalam KUHP. Pasal ini akan menyatakan bahwa penculikan untuk tujuan kawin paksa dapat dihukum penjara hingga tiga tahun.
"Jika korban masih di bawah umur, maka hukumannya bisa mencapai lima tahun. Jika penculikan menyebabkan konsekuensi berat bagi korban, maka hukumannya bisa mencapai 10 tahun," jelas Abenov.
Pemerkosaan akan dihukum sebagai kejahatan terpisah. Abenov yakin bahwa jika undang-undang tersebut diberlakukan, jumlah laporan penculikan pengantin perempuan akan meningkat secara substansial.
"Dalam tiga tahun terakhir, ada 214 kasus resmi, tetapi saya tahu ada lebih banyak upaya untuk melaporkan kasus itu. Hanya 10 kasus yang dibawa ke hadapan hakim. Sisanya - yaitu 93% - dibatalkan karena kurangnya bukti," katanya.
Pengacara dan aktivis hak asasi manusia, Khalida Azhigulova, mengeluhkan bahwa negara juga gagal mendidik masyarakat tentang hukum. Khususnya daerah-daerah di mana penculikan pengantin perempuan terjadi.
"Anak-anak muda kami tidak cukup belajar tentang hak asasi manusia, baik di sekolah maupun di universitas," katanya kepada DW.
"Mereka tidak cukup tahu tentang pernikahan atau hukum keluarga. Sejak 2011, pernikahan hanya bisa dilakukan setelah ada persetujuan bebas dan tanpa syarat dari kedua pasangan," lanjutnya.
Azhigulova mendukung perjuangan Abenov yang sedang mengupayakan undang-undang untuk penculikan pengantin. Namun, ia juga menaruh harapan besar pada generasi muda Kazakstan untuk semakin menolak tradisi ini.
Kisah ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Rusia, dan diadaptasi dari artikel berbahasa Inggris
(ita/ita)