Zulkifli Norman (45) dulu tak menyangka dirinya bakal jadi warga negara Amerika Serikat. Maksudnya, mendapat status warga yang sah dan tetap. Pasalnya, ia pertama menginjakkan kaki di negeri Paman Sam saat kelas 2 SMA, sedang cuek-cueknya, sehingga tidak peduli saat keberadaannya di sana tak tercatat. Pada 1997 ia masuk ke New Jersey dengan visa berlibur tiga bulan, tapi tak pulang-pulang.
“Jadi lanjut kelas 3 SMA di sana, sambil kerja di pom bensin, lulus, lalu kerja di bidang logistik di pabrik. Sempat kuliah juga di bidang yang sama setelah setahun bekerja. Ketika bekerja, ya, giat sekali, sampai diangkat jadi supervisor. Dulu, tuh, awalnya ikut kakak, sih,” kisahnya kepada detikX.
Ia tidak mengurus overstay-nya hingga usianya sekitar 26 tahun. Cukup lama sebelum Kantor ICE (Immigration and Custom Enforcement) menangkapnya. Ya, Zulkifli sempat masuk penjara imigrasi karena statusnya yang terhitung imigran gelap.
“Sebetulnya kami sempat seek asylum pasca kerusuhan 1998. Meskipun bukan keturunan Tionghoa, tapi, kan, takut dengan situasi di Indonesia. Nah, permohonan suaka itu ditolak, lalu imigrasi menyuruh kami pulang, tapi, ya, bandel aja. Ketahuannya, tuh, gara-gara ada yang ngaduin. Dulu ada petugas imigrasi yang mengiming-imingi sesama imigran gitu, dijanjikan bakal diberi status warga negara kalau mau menunjukkan di mana undocumented people berada. Padahal, ya, janji palsu juga itu,” jelasnya.
Zulkifli masih ingat, kala itu pukul lima pagi, lima orang keluar dari mobil yang parkir di depan rumah kakaknya. Mereka langsung menghampiri Zulkifli dan menanyakan surat-surat. Tak bisa menunjukkan identifikasi, Zulkifli pun dibawa pergi dan dimasukkan ke dalam sel yang isinya tahanan imigrasi. Beruntung, bosnya di pabrik menebusnya keluar.
Kalau Zulkifli dideportasi saat itu, Amerika tidak akan merasakan kontribusinya pada perekonomian, mengingat bagaimana dengan kerja kerasnya, ia sampai dipercaya mengurus pabrik yang baru buka di Los Angeles. Ia juga kemudian mengurus status warga negaranya, mengantongi green card setelah menikah dengan orang Indonesia yang sudah terlebih dulu mendapatkan kewarganegaraan AS.
Belasan tahun berlalu, karir Zulkifli di posisi manajerial baik dan ia hidup berkecukupan. Sempat tinggal berpindah-pindah seperti di Meksiko, Hawaii, lalu Kota Paris, Perancis, dan Bali. Sekarang ia bahkan punya privilese untuk hidup ‘nyeleneh’, tinggal di mobil yang ia parkir di dekat gym tempat ia berolahraga dan mandi. Ia sedang hobi traveling dan bergiat di komunitas travel Couchsurfing.
“Ya, sekarang saya nggak ada apartemen. Tapi, ya, itu by choice. Bisa begini karena sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Hidup saya di LA cukup nyaman, ada banyak program jaminan kesejahteraan baik dari pemerintah federal maupun negara bagian,” kata Zulkifli.
Di Los Angeles, county dengan populasi Indonesia terbanyak di AS, atau 13.800 jiwa per 2019, terletak di California, yang juga negara bagian dengan orang Indonesia paling banyak, Zulkifli tak asing dengan pemandangan orang Indonesia, juga imigran dari negara lain, bekerja khususnya di bidang perawatan dan manufaktur. Kata Zulkifli, semua orang giat bekerja karena itu syarat bertahan hidup di AS. Meski memang, pekerja migran yang tidak berdokumen dan pemilik visa temporer termasuk yang paling rentan mengalami ketidakadilan, termasuk perampasan upah (wage theft) serta risiko kesehatan dan keselamatan lainnya.
Semua imigran membayar pajak. Bahkan yang ilegal sekalipun, sesungguhnya turut menyumbang pajak melalui belanja barang. Kebijakan Presiden Donald Trump yang belakangan hendak mendeportasi besar-besaran imigran tanpa dokumen, ditengarai justru berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi di AS. Sedikitnya 4.276 WNI masuk dalam daftar deportasi.
Andaikan niat Trump menyasar imigran gelap yang terkait tindak kriminal, dan meskipun belum ada data pasti tentang bagaimana razia ICE ini mempengaruhi bisnis, nyatanya, ancaman deportasi massal itu telah membuat beberapa orang yang tinggal di daerah dengan populasi imigran besar takut meninggalkan rumah mereka. Hal ini diungkapkan McDonald Romain, seorang pedagang buah di Brooklyn, seperti dikutip Business Insider.
Akibat situasi ini, beberapa buah yang Romain jual membusuk. Pada Februari, salah satu pelanggannya juga bercerita kepadanya, ia habis dihentikan oleh kendaraan tak dikenal dan diminta menunjukkan identifikasi. “Bahkan mereka yang documented pun cemas dengan situasi saat ini yang sangat cair, banyak rumor beredar,” ujarnya.
Profesor Ekonomi di UC Davis yang mempelajari bagaimana migrasi mempengaruhi pasar kerja, Giovanni Peri, mengatakan situasi ini bisa punya efek jangka panjang terhadap keberlangsungan UMKM, yang lebih rentan dengan immigration crackdowns. “Mereka tidak punya margin seperti yang dimiliki perusahaan besar. Jika mereka kehilangan sebagian pendapatan dalam beberapa bulan, mereka mungkin gulung tikar,” ungkapnya.
Selain Romain, pemilik restoran Mediterania Ted Paizis mengalami kerugian finansial setelah razia ICE di tempat parkir salah satu dari dua lokasi restorannya. Dua karyawan dibawa pergi dari restoran yang berlokasi di Rochester, Minnesota. Paizis pun menutup restorannya itu selama beberapa hari, guna mencari cara mengatasi kekurangan staf akibat peristiwa itu. Ia juga merasa kehilangan.
“Sebagian besar pegawai kami telah bersama selama lebih dari tujuh tahun. Kami kehilangan orang yang kami percaya dan sangat berharga bagi kami,” ungkapnya.
Giovanni Peri berkomentar bahwa mengganti staf-staf tersebut tak akan mudah, sebab banyak bisnis jasa dan perhotelan, termasuk industri restoran, sangat bergantung pada pekerja yang tinggal di AS secara ilegal. Mengeluarkan sebagian besar populasi itu dari angkatan kerja, ujar Peri, malah dapat mempersulit bursa lapangan kerja. Faktanya, berdasarkan survei lembaga think tank Economic Policy Institute of Current Population Survey, jumlah pekerja foreign-born (mereka yang tidak lahir di AS) pada 2023 setara hampir 19 persen angkatan kerja, naik dari 15,3 persen pada 2006.
Berbagai studi juga telah mengkonfirmasi imigrasi mendorong bisnis dan penciptaan lapangan kerja di AS. Studi National Foundation for American Policy 2022 bahkan menyatakan 55 persen startup ‘unicorn’ pendirinya imigran. Lalu, di bidang kesehatan, misalnya, pelopor vaksin berbasis mRNA di AS didirikan maupun cofounded oleh imigran. Pfizer didirikan imigran Jerman, Charles Pfizer dan Charles Erhart, sedangkan Moderna oleh imigran Lebanon, Noubar Afeyan.
Riset MIT mengatakan imigran punya kemungkinan 80 persen lebih besar untuk memulai bisnis dibandingkan warga negara AS kelahiran asli. Mereka juga menciptakan 42 persen lebih banyak lapangan kerja. Bahkan, penelitian William dan Sari Pekkala Kerr dari Harvard Business School menemukan, perusahaan yang didirikan imigran memiliki kinerja lebih baik dalam hal pertumbuhan lapangan kerja dalam jangka waktu tiga dan enam tahun. Mereka lebih mungkin untuk bertahan dalam jangka panjang daripada perusahaan yang dipimpin penduduk asli.
Hipotesisnya, mereka yang beremigrasi umumnya memiliki kepercayaan diri tinggi akan kemampuannya untuk berubah dan menoleransi ketidakpastian. Mereka percaya pada kemampuan mereka untuk mencari tahu dan beradaptasi begitu tiba di negara tujuan. Dengan kata lain, kualitas-kualitas yang dibutuhkan dalam membangun bisnis, yaitu tidak takut bahkan proaktif menghadapi tantangan.
“Seseorang yang pindah negara sering kali meninggalkan keluarga. Proses itu telah menyeleksi mereka sebagai individu yang memiliki tekad kuat atau lebih toleran terhadap risiko bisnis,” ucap Wiliam Kerr, sebagaimana dikutip dalam Harvard Business Review.
Bila membaca sejarah, kontribusi imigran sebetulnya telah dirangkum dengan baik oleh John F. Kennedy dalam bukunya, 'A Nation of Immigrants' (1964). “Antara tahun 1880 dan 1920, Amerika menjadi raksasa industri dan pertanian dunia. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa kerja keras, keterampilan teknis, dan kemampuan kewirausahaan dari 23,5 juta orang yang datang ke Amerika pada periode tersebut,” tulis Kennedy.
Namun, Sequeira, Nunn, dan Qian (2019) bahkan lebih jauh membuat perhitungan ekonomi untuk membuktikan bahwa manfaat ekonomi imigrasi itu konsisten dengan narasi historisnya. Temuannya, negara-negara yang memiliki sejarah imigrasi lebih banyak, memiliki pendapatan lebih tinggi, lebih sedikit pengangguran dan kemiskinan, serta lebih banyak pendidikan dan jumlah penduduk perkotaan.
“Imigran pertama-tama berkontribusi pada pendirian lebih banyak fasilitas manufaktur, kemudian pada pengembangan fasilitas yang lebih besar, produktivitas pertanian, dan inovasi yang diukur dengan tingkat paten,” tulis mereka dalam jurnal 'The Review of Economic Studies'.
“Estimasi kami menunjukkan bahwa manfaat jangka panjang dari imigrasi besar dan tidak memerlukan biaya sosial tinggi sebagai harga yang harus dibayar. Temuan ini menyoroti pentingnya melihat aspek jangka panjang ketika mempertimbangkan perdebatan imigrasi saat ini,” para peneliti itu menyimpulkan.