Jakarta -
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membekukan anggaran media pemerintah berdampak langsung pada Voice of America (VOA) Indonesia. Kebijakan ini menghentikan sebagian besar operasional VOA Indonesia.
Dampak dari kebijakan ini, para pegawai kontrak VOA Indonesia di Washington DC menerima pemberitahuan bahwa kontrak mereka telah disudahi. Sebanyak 9 pegawai kontrak terdampak pemutusan kontrak kerja ini, dengan lima di antaranya berstatus visa J1, yang berarti mereka harus kembali ke Indonesia.
"Dengan situasi saat ini, kami tidak dapat lagi menjalankan misi melayani audiens kami dengan berita dan informasi yang terpercaya mengenai AS, Indonesia dan juga dari seluruh dunia," jelas salah satu Jurnalis VOA Indonesia yang tak ingin disebutkan identitasnya kepada DW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan yang berlangsung cepat itu menyebabkan sedikitnya 550 jurnalis VOA kehilangan pekerjaan. Salah satunya Rendy Wicaksana, Jurnalis VOA Indonesia. Bekerja sejak 2022 di Amerika Serikat, Rendy kini harus kehilangan profesi yang ia impikan sejak kecil.
"Semuanya serba dadakan, dan tidak ada persiapan apapun, saya bahkan tidak ada persiapan mental apapun untuk menghadapi kondisi ini," papar Rendy kepada DW.
Usai diputus kontrak pada 17 Maret lalu, Rendy kini menunggu kejelasan nasib mengenai upah, tunjangan kesehatan termasuk asuransi, hingga informasi mengenai visa kerja. Ia terancam harus kembali ke Indonesia.
"Saat ini saya hanya mampu berpikir bagaimana caranya untuk dapat bertahan? Apa yang harus saya lakukan ke depannya? Apakah ada kesempatan untuk mencari pekerjaan baru di AS? Semua berkelindan pada isu cara bertahan dari situasi ini," ungkap Rendy.
Tuduhan Trump pada VOA tak berdasar
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif, yang secara signifikan membekukan dana bagi organisasi media yang dibiayai pemerintah AS, termasuk merumahkan staf di Voice of America (VOA) dan mengurangi operasi mereka ke tingkat minimum yang diizinkan oleh hukum.
Pemangkasan terbaru yang ditujukan kepada media yang didanai AS ini, terjadi hanya sehari setelah Trump secara terbuka mengecam media AS sebagai "korup" dan "ilegal." Gedung Putih bahkan mengeluarkan sebuah pernyataan dengan judul satir: "VOA adalah suara kelompok radikal Amerika".
Namun tudingan itu ditepis oleh Rendy, "Banyak tuduhan yang Trump lontarkan kepada VOA. Saya bisa jamin itu tidak benar. Apa yang disebutkan bahwa VOA adalah simpatisan teroris, dugaan korupsi, dan spionase, serta penyebaran informasi hoaks itu semua tidak benar."
Sebagai Jurnalis yang sudah berkiprah selama 10 tahun, Rendy menyebut tuduhan itu melukai prinsip kerja jurnalistik yang selama ini dijunjung dalam pemberitaan di VOA, "sebagai jurnalis, saya selalu berpegang pada etika jurnalistik."
Di sisi lain, kebijakan Trump untuk membekukan dana bagi VOA ini dinilai sebagai upaya untuk membatasi kebebasan pers. Reporters Without Borders, Lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan pers menilai, "Media yang didanai oleh pemerintah AS seperti VOA memainkan peran penting dalam memberikan informasi independen kepada audiens global. Menghentikan operasi mereka bukan hanya membatasi kebebasan pers, tetapi juga melemahkan pengaruh demokrasi Amerika Serikat di dunia."
Ancaman banjir disinformasi di tengah masyarakat
Kebijakan Trump yang berdampak pada dihentikannya operasional VOA , dinilai akan mempengaruhi pandangan publik dan maraknya ancaman disinformasi. Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Suzie Sudarman menilai, berhentinya operasional VOA akan berdampak pada potensi disinformasi yang semakin besar di Indonesia, tidak terkecuali pengaruh opini publik pada isu geopolitik.
"Sekarang masyarakat sudah tidak dapat mengakses informasi yang merefleksikan kebijakan diplomasi publik AS. Justru saat ini publik berpotensi mendapatkan informasi mengenai AS dari sumber-sumber liar, yang mungkin membenci Amerika dan akhirnya publik mendapatkan pandangan yang salah," papar Suzie kepada DW Indonesia.
Suzie juga menyoroti kekosongan diplomasi ini, yang dapat berpengaruh pada potensi Cina dan Rusia dalam menancapkan dominasinya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. "Saat ini Cina berfokus pada isu penguasaan sumber daya mineral dan klaim Laut Cina Selatan. Ini sangat berbahaya, karena seharusnya masyarakat diberikan kesempatan untuk mendapatkan akses informasi yang tidak hanya satu pihak mengenai isu ini," ungkap Suzie.
Survei Literasi Digital Nasional 2022 menunjukkan rendahnya keyakinan masyarakat dalam mengenali informasi salah atau hoaks, yang berkontribusi pada penyebaran disinformasi di masyarakat.
Sepanjang periode Agustus 2018 hingga Desember 2023, Pemerintah Indonesia mencatat adanya temuan konten hoaks sebanyak 12.547 kasus yang beredar di website dan platform digital.
Efek domino pada demokrasi yang partisipatif
Terputusnya akses publik dalam mendapatkan informasi yang akuntabel serta banjir disinformasi, memicu kekhawatiran anjloknya demokrasi yang bersifat partisipatif di Indonesia.
Suzie menilai, saat ini publik memerlukan informasi yang transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan dalam mengawal berbagai kebijakan. Hilangnya peran VOA, ia khawatirkan akan berdampak pada hilangnya akses berita yang mendorong daya kritis publik untuk menelaah suatu permasalahan termasuk isu korupsi dan demokrasi.
Tanpa adanya akses informasi publik yang akuntabel, Suzie khawatir dalam konteks tertentu "rakyat dibiarkan bodoh, agar demokratiasi tidak muncul, dan tidak mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia."
Didirikan pada 1942 untuk melawan propaganda Nazi, VOA menjangkau 360 juta orang setiap minggu. VOA berada di bawah U.S. Agency for Global Media (USAGM), yang mempekerjakan sekitar 3.500 pekerja dengan anggaran sebesar $886 juta (sekitar Rp13,73 triliun) pada 2024, menurut laporan terbarunya kepada Kongres.
Pemangkasan ini memicu kekhawatiran serius terhadap kebebasan pers di seluruh dunia. Kebijakan ini diyakini akan menghancurkan VOA, salah satu dari sedikit sumber berita terpercaya di negara-negara otoriter.
Presiden National Press Club di Washington, Mike Balsamo, menyebut keputusan Trump sebagai pelemahan komitmen Amerika terhadap kebebasan pers. "Selama beberapa dekade, Voice of America telah menyampaikan jurnalisme independen berbasis fakta kepada audiens di seluruh dunia, sering kali di tempat-tempat di mana kebebasan pers tidak ada," pungkas Balsamo.
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu