Trump, Netanyahu, dan Gaza Pasca Gencatan Senjata

1 month ago 31

Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerima Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Selasa, (4/2). PM Netanyahu merupakan pejabat/pemimpin negara asing pertama yang bertemu Trump sejak dilantik 20 Januari 2025. Bahkan, ia juga merupakan pemimpin negara yang pertama menyampaikan ucapan selamat kepada Donald Trump setelah dinyatakan menang pilpres, November 2024. Tampaknya, kedua figur ini akan menjadi pemeran utama dalam babak baru proses penyelesaian konflik di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel pasca perang di Gaza.

Dalam jumpa pers bersama PM Netanyahu seperti diberitakan MSNBC (4/2), Donald Trump mengisyaratkan bahwa AS akan mengambil alih Jalur Gaza. Suatu pernyataan penuh kontroversi yang belum pernah dikatakan Trump sebelumnya. Sementara itu, Benjamin Netanyahu menegaskan visinya tentang Timur Tengah Baru (The New Middle East) tanpa peta Palestina. Lalu, apa makna kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih? Bagaimana keduanya akan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan mereka soal Gaza pasca-genjatan senjata?

Mendukung Visi The New Middle East

Sejalan dengan karakter diplomasinya yang kompulsif, Trump kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik kontroversial, termasuk soal rencana relokasi warga Gaza ke Indonesia, Yordania, dan Mesir.

Kebijakan Trump di Timur Tengah, utamanya terkait Palestina-Israel sudah jamak diketahui banyak memberikan keuntungan-keuntungan politik dan strategis kepada sekutunya, Israel. Selama ini, AS menjadi sekutu tradisional Israel saat militer Israel membombardir Gaza di Palestina dan Lebanon Selatan. Artinya, kebijakan pemerintahan Trump diprediksi tidak akan banyak mengubah persoalan-persoalan krusial di Timur Tengah, apalagi perdamaian Palestina-Israel menuju terwujudnya two state solution.Pertemuan Trump dan Netanyahu justru akan semakin mengukuhkan visi keduanya mengenai The New Middle East. Memang, dalam kampanye pemilu beberapa bulan lalu, Trump menawarkan janji-janji manisnya kepada pemilih Arab-Muslim bahwa jika menang pilpres, ia akan menghentikan perang di Gaza dan Lebanon. Tetapi, pada kesempatan lain, justru mendukung perluasan wilayah Israel yang menganggap Israel terlalu kecil sebagai sebuah negara.

Dalam sebuah wawancara radio (3/11/2024) yang dipandu Hugh Hewitt, seorang komentator konservatif, seperti dikutip banyak media internasional, Trump memuji cuaca di Jalur Gaza dan mengatakan daerah yang dilanda perang itu bisa "lebih baik daripada Monako" sebagai tujuan wisata. Menurut Trump, Jalur Gaza sepanjang 140 mil, yang berada di pantai timur Mediterania adalah "lokasi terbaik di Timur Tengah."

Pernyataan Trump tersebut mendapat respons sebagai pernyataan bersayap yang bernuansa politis mendukung tindakan militer Israel membumihanguskan Gaza untuk kepentingan perluasan wilayah pemukiman Israel melalui proyek rekonstruksi. Pada periode pemerintahannya yang kedua ini, Trump diyakini akan mendukung sepenuhnya kebijakan politik Israel di bawah pemerintahan Netanyahu bersama ekspansionis ultra-kanan memperluas pendudukan-pemukiman Israel di wilayah Palestina melalui perspektif The New Middle East versi Netanyahu yang menegasikan wilayah Gaza-Palestina dari peta Timur Tengah serta kebijakan-kebijakan politis lainnya.

Sangat mungkin, Gaza dan beberapa wilayah Palestina lainnya, termasuk di Tepi Barat pascaperang akan dibangun sesuai tata ruang wilayah Israel. Artinya, infrastruktur di wilayah jalur Gaza yang selama lebih dari 1.5 tahun (sejak 7 Oktober 2023) dibombardir tentara Israel hingga rata dengan tanah dapat dibangun kembali sebagai kawasan baru (wisata), bukan sebagai pemukiman bagi warga Palestina. Maka, dimunculkan opini dan gagasan 'gila' tentang relokasi warga Gaza ke Indonesia, Mesir, dan Jordania selama proses rekonstruksi. Gelagat politik Trump yang berkelindan dengan visi Netanyahu sudah terbaca, sehingga menimbulkan polemik baru di kawasan.

Melanjutkan Agenda Abraham Accord

Sejalan dengan visi The New Middle East, Trump telah menunjuk Steve Witkoff sebagai utusan khusus untuk Timur Tengah. Diketahui, Witkoff adalah seorang bilioner, investor, dan pengusaha papan atas bidang properti yang bernaung di bawah Witkoff Group. Witkoff dinilai memainkan peran penting dalam mediasi kesepakatan awal gencatan senjata Gaza antara Hamas dan tentara Israel, sehingga terjadi kesepakatan pertukaran sandera Israel dan tahanan Palestina.

Menjelang kunjungan Netanyahu Ke Washington, Witkoff berkunjung ke Arab Saudi, Tel Aviv, dan Jalur Gaza. Bagi Trump, Arab Saudi sebagai negara kunci di Teluk yang belum menandatangani normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel penting untuk terus 'digoda' agar segera menandatangani kesepakatan Abrahama Accord sebagaimana Uni Emirat Arab dan Bahrain. Disinyalir, Witkoff telah bertemu seorang pejabat senior Palestina, Hussein al-Sheik di Riyah, (4/2) membahas proses gencatan senjata di Gaza dan kemungkinan (potensi) normalisasi hubungan diplomatik Israel-Arab Saudi.

Keberhasilan pemerintahan Trump menjadi broker perdamaian melalui Abraham Accord 2020 tentu mendapat aplaus pemerintahan Netanyahu. Bergabungnya beberapa negara kunci petro dollar di Teluk, khususnya Uni Emirat Arab dan Bahrain (Agustus dan September 2020) dalam kesepakatan tersebut semakin mengukuhkan pengakuan penuh atas kedaulatan Israel sebagai entitas negara.

Selama empat tahun (2016-2020) berada di Gedung Putih, track record pemerintahan Trump dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di kawasan hanya banyak memberi keuntungan politis dan strategis kepada Israel. Orientasi, sikap, dan kebijakan politiknya dalam penyelesaian isu-isu Timur Tengah sudah jamak diketahui.

Sejumlah negara Arab seperti Oman, Sudan, dan Arab Saudi sudah masuk radar kesepakatan tersebut dengan iming-iming bantuan dan kerja sama ekonomi. Hanya saja, sampai hari ini, Arab Saudi masih konsisten untuk tidak melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel dengan berbagai alasan, walaupun berbagai kemungkinan tentu masih terbuka. Proses negosiasi Abraham Accord jilid 2 dengan Arab Saudi serta negara-negara Arab-Islam lainnya, misalnya Oman atau bahkan Indonesia, akan diupayakan.

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu menjadi 'target' perjanjian Abraham Accord jilid 2. Saat Indonesia mengajukan aksesi menjadi anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Israel sebagai salah satu anggotanya mensyaratkan Indonesia mengakui negara tersebut dengan membuka jalur hubungan diplomatik. Tetapi, atas nama konstitusi dan hak-hak kemerdekaan bagi setiap bangsa, Indonesia menolaknya.

Sungguh problematik. Jika dengan skenario-skenario tersebut kebijakan Presiden Trump dan PM Netanyahu berhasil merelokasi warga Gaza ke beberapa negara tetangga (Mesir dan Jordania), atau bahkan Indonesia (?), tak terhindari, akan terjadi perubahan peta demografis dan geografis di kawasan. Eskalasi, gejolak sosial politik, dan distabilitas keamanan di kawasan akan timbul. Lebih dari itu, semakin memperkecil peluang Palestina menjadi entitas negara yang independen dan berdaulat di tanah sendiri.

Fathurrahman Yahya staf pengajar Wawasan Politik Islam dan Isu-Isu Kawasan Timur Tengah, Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-PKU-MI; peneliti Program Doktoral Komunikasi Politik dan Diplomasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial