Jakarta -
Jalan tol kembali merenggut korban massal dengan kecelakaan lalu lintas nan dramatis, yakni sebuah truk menyeruduk antrean di pintu tol Ciawi, 4/2/2025. Delapan orang pengguna tol dan penjaga pintu tol tercerabut nyawanya, plus 11 orang mengalami luka parah. Ini bukan tragedi kali pertama di jalan tol. Tiga bulan sebelumnya, di ruas tol Cipularang km 92 (jalur B), 15 kendaraan pribadi ringsek, dengan satu korban nyawa, dan puluhan lainnya luka (12/11/2024).
Kemudian pada 5/1/2025 sebuah truk pengangkut batu bara di ruas tol yang sama (jalur A), berjalan mundur tersebab tidak kuat menanjak pada km 97. Dan, braaak, sebuah bus di belakangnya hancur; kondektur bus pun nyawanya melayang. Itulah beberapa kisah dramatis di jalan tol beberapa bulan terakhir. Lalu, musabab apa sehingga kecelakaan di jalan tol itu menelan korban massal?
Tak Sulit Tunjuk Hidung
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian menuding faktor geometri jalan tol menjadi musababnya. Kontur jalan tol dianggap terlalu menanjak, terlalu menurun, atau bahkan terlalu menikung. Atau, dalam kasus di tol Ciawi, jalan tol tersebut dituding tidak mempunyai jalur penyelamat darurat, sehingga truk yang mau masuk pintu tol dan berjalan oleng (zig zag), lalu menubruk kendaraan yang sedang antri di pintu tol. Bahkan seorang pengamat menuding bahwa penyebab korban massal adalah antrean panjang di jalan tol.
Sebuah klaim yang amat absurd. Tingkat menurunnya jalan tol di Ciawi kurang dari dua persen, jadi masih sangat aman, maka tidak perlu jalur penyelamat darurat. Menjadikan geometri jalan tol sebagai musabab kecelakaan itu klaim yang secara normatif tidak beralasan. Sebab sebelum dioperasikan secara resmi dan berbayar, jalan tol sudah melewati tahap uji laik fungsi (ULF), dan setelah lolos uji laik fungsi ruas jalan tol itu harus mengantongi Sertifikat Laik Operasi (SLO).
Untuk kedua tahap itu (ULF dan SLO), tidak hanya dilakukan oleh satu kementerian dan lembaga saja. Tetapi oleh beberapa kementerian dan lembaga, yaitu Direktorat Jalan Bebas Hambatan dan Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, plus Korlantas Mabes Polri. Bahkan untuk SLO dimaksud dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, bukan oleh Kementerian PU, yang notabene menjadi regulator jalan tol (untuk urusan tarif dan standar pelayanan minimal).
Memang benar, jika di lapangan masih ditemukan beberapa titik lubang (kecil) atau kontur jalan sedikit bergelombang di suatu ruas jalan tol. Namun kondisi itu dalam waktu 2 x 24 jam akan diperbaiki oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Perbaikan itu dilakukan atas hasil temuan oleh tim BUJT, atau pengawasan oleh regulator (tim BPJT Kementerian PUPR), atau juga laporan dari konsumen sebagai pengguna jalan tol. Perbaikan itu harus cepat dan tepat dilakukan tersebab merupakan salah satu komponen penting Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol, yang harus dipenuhi setiap saat oleh BUJT. Tanpa kompromi!
Dari ketiga kasus itu, sejatinya tak terlalu sulit untuk tunjuk hidung, siapa sejatinya biang kerok terjadinya kecelakaan yang menimbulkan fatalitas itu. Tak lain dan tak bukan adalah truk over load over dimention, atau lazim disingkat truk ODOL. Fakta itu biasanya juga dipicu oleh kondisi sopir truk yang juga bermasalah, entah mengantuk, kurang istirahat, ceroboh, atau lainnya. Fenomena ini sudah lazim terjadi di jalan tol di berbagai ruas, khususnya di ruas tol Pulau Jawa. Tersebab dari data yang ada, lebih dari 30 persen jenis truk yang masuk ke jalan tol adalah jenis ODOL.
Terbukti Berdampak
Keberadaan truk ODOL terbukti secara empirik berdampak minimal tiga hal, yaitu aspek keselamatan pengguna jalan tol, aspek kerusakan konstruksi jalan, dan juga mereduksi aspek SPM jalan tol. Sungguh miris jika melihat dampak keselamatan keberadaan truk ODOL, baik di jalan tol maupun jalan non tol (jalan arteri). Di jalan tol, dari total kecelakaan fatal yang terjadi, 45 persen pemicunya (melibatkan) truk ODOL. Sebagai contoh, pada 2023 lalu (data BPJT), terdapat 366 orang meregang nyawa karena kecelakaan lalu lintas di jalan tol. Di situlah truk ODOL berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka fatalitas di jalan tol.
Kondisi lebih miris terjadi di jalan non tol. Merujuk laporan PT Jasa Raharja edisi 2024, total orang Indonesia yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas mencapai 26 ribuan orang. Pemicu tertinggi adalah aspek sepeda motor (77 persen), dan tragisnya rating kedua dipicu/melibatkan truk, dengan kontribusi 7.500-an orang yang meninggal. Bahkan, selama lima tahun belakangan, keberadaan truk (ODOL) selalu menduduki rating kedua terjadinya fatalitas (kematian) pada kecelakaan lalu lintas Artinya, antara data di jalan tol dan data di jalan non tol sangat "nyambung".
Keberadaan truk ODOL juga sangat merusak konstruksi jalan, sehingga umur teknis jalan menjadi sangat pendek, baik di jalan tol, apalagi di jalan non tol. Menurut Kementerian PU, kerusakan jalan akibat ulah truk ODOL mencapai Rp 43 triliun per tahun. Dana preservasi jalan membengkak hingga total mencapai Rp 73 triliun per tahunnya. Demikian juga jalan tol biaya perawatannya meningkat lima kali lipat gara-gara truk ODOL itu.
Dalam konteks pelayanan pada pengguna jalan tol, keberadaan truk ODOL jelas mendegradasi secara signifikan SPM yang menjadi mandatory bagi BUJT dalam memberikan pelayanan yang andal pada penggunanya. Banyak BUJT yang berupaya menertibkan truk ODOL agar tidak masuk ke ruas jalan tol, tetapi ending-nya pihak BUJT "ditelepon" oleh (oknum) pejabat tertentu agar BUJT membatalkan larangan truk ODOL masuk ke jalan tol miliknya.
Bahkan tak jarang BUJT didemo oleh sekelompok pengemudi sebagai bentuk aksi protes. Ironisnya, oknum aparat penegak hukum pun, yang seharusnya melakukan aksi law enforcement, justru diduga menjadi pelindung keberadaan truk ODOL. Padahal, BPJT memandatkan pada BUJT harus menertibkan truk ODOL, sebagai bentuk pemenuhan terhadap SPM jalan tol.
Ironisnya, di lapangan, BUJT ini tidak satu kata dalam menyikapi keberadaan truk ODOL. Bagi ruas tol yang secara finansial masih suffering, alias miskin traffic, keberadaan truk ODOL di ruas tol tidak masalah. Makin banyak truk ODOL masuk ke ruas tol makin bagus, yang penting ada pendapatan yang masuk; itu celoteh salah seorang anggota direksi dari salah satu ruas tol. Secara paradigmatis, opini seperti ini jelas sesat pikir (keblinger), tersebab menggadaikan aspek keselamatan pengguna jalan hanya demi revenue jalan tol.
Dari sisi penegakan hukum, jika terjadi kecelakaan pada truk ODOL, ironisnya pihak kepolisian hanya menjadikan pengemudi sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab, menjadi tersangka, dan akhirnya menjadi terpidana. Padahal sejatinya pengemudi hanya menjalankan tugas. Seharusnya polisi menjadikan pemilik truk ODOL sebagai pihak yang juga harus bertanggung jawab (dipidana), baik individu maupun korporasinya.
Pengemudi tidak akan menjalankan truk ODOL jika tidak ada mandat/perintah dari pemilik truk dan perusahaannya tersebut. Bahwa ada pertanggungjawaban individu sebagai pelanggar lalu lintas, itu benar. Tetapi seharusnya juga dilihat dari sisi hulu, sehingga ada tanggung jawab renteng. Ini sangat penting untuk menimbulkan efek jera pelanggaran truk ODOL.
Dari sisi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) menertibkan dan melarang truk ODOL adalah menjadi tanggung jawab institusional Kementerian Perhubungan dan Kepolisian. Namun jika dilihat praktik di lapangan, rasanya masih banyak conflicting dengan kementerian dan lembaga lain. Oleh karena itu, masuk akal jika selevel Presiden Prabowo Soebianto harus turun tangan dan punya nyali untuk menuntaskan (melarang) truk ODOL, sebagaimana rekomendasi pada rapat antar-multi stakeholder yang diadakan oleh Kantor Staf Presiden, 6/2/2025 lalu.
Memang penanganan keberadaan truk ODOL harus diselesaikan secara gradual tetapi musti integratif dan komprehensif, dari hulu hingga hilir. Tersebab masalah truk ODOL ini sudah berjalan 50 tahunan sehingga banyak komplikasi persoalan antar kementerian, lembaga, dan pihak swasta. Termasuk bagaimana memberikan dimensi pemberdayaan pada pengemudi, khususnya dari sisi aspek kesejahteraan, dan hak-haknya.
Pengemudi truk nyaris tak mendapatkan perhatian yang memadai. Sopir tak ubahnya buruh rodi, sebab upah yang diterima sangat rendah. Dalam hal ini peran kementerian ketenagakerjaan sangat penting. Dan, yang tak boleh dilupakan adalah tingkat kompetensi sopir truk (skill mengemudi) yang seharusnya berbasis sekolah mengemudi, plus bagaimana historis sopir itu mendapatkan SIM.
Tidak Boleh Dilanggengkan
Apapun alasan dan argumennya, truk ODOL tidak boleh dilanggengkan. Aspek keselamatan pengguna jalan, baik jalan tol maupun non tol harus menjadi prioritas pertama dan utama. Alasan bahwa melarang truk ODOL akan meningkatkan inflasi adalah alasan klise, sebab di semua negara, termasuk di Malaysia dan Vietnam, manakala larangan truk ODOL diberlakukan, toh ekonomi mikro tetap bertumbuh secara kompetitif.
Jadi jangan menjadikan larangan truk ODOL sebagai kambing hitam. Kalau pun ada dampak inflasi (pada jangka pendek), dampak inflasinya itu lebih tinggi mana dengan kerugian untuk dana preservasi jalan yang mencapai lebih dari Rp 43 triliun per tahun oleh akibat truk ODOL?
Tingginya jumlah angka fatalitas di jalan raya, yang mencapai lebih dari 26.000 itu, dan truk ODOL menjadi "tersangka kedua" setelah sepeda motor, seharusnya menjadi pelecut serius bagi Presiden Prabowo untuk menekan tingginya angka fatalitas tersebut. Apalagi merujuk pada data PT Jasa Raharja (2024), secara dominan yang menjadi korban fatalitas itu adalah usia 6-25 tahun (pelajar dan mahasiswa) sebanyak 39,48 persen; dan usia 26-55 tahun, yakni usia produktif sebanyak 39,26 persen. Kurang miris apalagi dengan data yang amat terang benderang seperti ini? Bagaimana mau menargetkan terwujudnya generasi emas pada 2045, jika bibit bibit generasi emas itu justru bertumbangan di jalan raya? Semoga Presiden Prabowo dan semua pihak tidak melakukan pembiaran dan bahkan melanggengkan fenomena konyol ini.
Tulus Abadi pegiat perlindungan konsumen dan pengamat kebijakan publik, Anggota BPJT Kementerian Pekerjaan Umum
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu