Jakarta -
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti telah memperkenalkan kebijakan yang berani dan inovatif untuk mentransformasi pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga pada pemerataan akses dan relevansi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun, meskipun niat baik dan visi besar yang diusung, tantangan besar tetap harus dihadapi dalam pelaksanaannya.
Langkah Evaluatif
Abdul Mu'ti memulai masa jabatannya dengan langkah evaluatif terhadap kebijakan yang ada, termasuk Kurikulum Merdeka dan penghapusan Ujian Nasional (UN). Keputusan untuk menilai ulang UN, yang selama ini menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan, jelas memicu perdebatan.
Evaluasi terhadap UN untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pendidikan zaman kini adalah langkah yang diperlukan, mengingat banyak kritik terhadap relevansinya di era pendidikan yang terus berkembang. Namun, ketidakpastian mengenai penerapannya yang lebih konkret memunculkan banyak pertanyaan. Apakah UN hanya perlu dievaluasi atau benar-benar dihentikan?
Selain itu, kebijakan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang tidak akan diubah, meskipun terjadi perubahan pemerintahan, mencerminkan keinginan kuat untuk menjaga kontinuitas kebijakan pendidikan. Namun, langkah ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang konsistensi kebijakan dalam jangka panjang. Terlebih, tantangan terkait kualitas dan keberlanjutan kurikulum tersebut masih menjadi bahan diskusi di kalangan praktisi pendidikan.
Selain masalah kurikulum, Abdul Mu'ti juga fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Melalui program pelatihan berkelanjutan dan peningkatan insentif, dia berupaya memastikan bahwa guru memiliki kompetensi yang tinggi. Tetapi di tengah upaya tersebut, masalah mendasar seperti kesenjangan pendidikan antara daerah dan kurangnya infrastruktur yang memadai tetap menjadi hambatan besar.
Keputusan untuk memperkenalkan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi guru honorer adalah langkah signifikan. Tetapi penempatan yang tidak merata di berbagai daerah dan kurangnya penyesuaian dengan kebutuhan lokal menambah tantangan. Beberapa daerah bahkan kekurangan guru, sementara daerah lainnya justru mengalami kelebihan. Hal ini memperburuk distribusi kualitas pendidikan yang seharusnya merata di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, pengangkatan guru honorer menjadi ASN PPPK menjadi tantangan tersendiri. Prosesnya yang melibatkan koordinasi lintas instansi, seperti Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah, mempengaruhi kelancaran implementasi. Saat ini, masih banyak guru honorer yang belum menerima kejelasan status pengangkatannya, yang berpotensi mempengaruhi motivasi kerja mereka. Penempatan guru di sekolah swasta yang lebih banyak melibatkan pihak swasta pun menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam menjamin pemerataan pendidikan berkualitas.
Realitas di Lapangan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski langkah Abdul Mu'ti menunjukkan komitmen untuk mereformasi pendidikan, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Infrastruktur pendidikan yang belum memadai, distribusi guru yang tidak merata, dan ketergantungan pada program luar anggaran menjadi isu yang memerlukan perhatian serius.
Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan yang dicanangkan oleh Abdul Mu'ti mencerminkan visi progresif untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, implementasinya memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat diterima secara luas dan berhasil di lapangan. Tanpa dukungan yang lebih kuat dalam hal anggaran, infrastruktur, dan pemberdayaan guru di daerah-daerah terpencil, pendidikan di Indonesia mungkin tetap terjebak dalam keterbatasan yang menghambat kemajuan.
Dengan segala tantangan yang ada, Abdul Mu'ti harus memastikan bahwa kebijakan yang ia terapkan dapat beradaptasi dengan kebutuhan dan realitas yang ada, agar pendidikan Indonesia benar-benar merdeka dan siap menghadapi dunia global yang semakin kompetitif.
Tundung Memolo Kepala SMPN 3 Satap Sapuran Wonosobo
(mmu/mmu)