Foto : Salah satu klaster di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. (Pradita Utama/detikcom)
Senin, 14 April 2025
Sekitar delapan tahun lalu, banjir rob menerjang rumah Norman di pesisir Pantai Marunda, Jakarta Utara. Bangunan rumah yang hanya terdiri atas tripleks dan asbes itu hancur. Permukaan air laut yang naik setiap tahun kini sudah berada setara dengan daun jendela rumah Norman.
“Abis itu ya ada program relokasi itu kan, tahun berapa itu, 2017 atau 2018 kalau nggak salah. Terus saya dapat di sini (Rusunawa Marunda), satu unit,” tutur lelaki 50 tahun yang enggan disebutkan nama aslinya ini kepada reporter detikX pada Maret lalu.
Meski awalnya sempat menolak, Norman kini justru merasa bersyukur tinggal di Rusunawa Marunda. Paling tidak, kini Norman bisa tidur cukup tenang dan tidak lagi khawatir banjir tiba-tiba saja menerjang.
Dengan harga rusunawa yang terjangkau, sekitar Rp 170 ribu per bulan, Norman merasa amat terbantu secara ekonomi. Kini dia bisa membesarkan ketiga anaknya yang sudah memasuki usia sekolah tanpa harus berpikir banyak soal biaya sewa rumah.
“Orang kecil kayak kami ini kan paling penghasilan berapa, paling Rp 3 juta sebulan. Kalau (harga rusunawa) kayak gini, kan kita masih ada sisa buat bayar sekolah anak,” katanya.
Namun belakangan, Norman mulai terusik ketenangannya ketika mendengar kabar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membatasi masa sewa rusunawa hanya 10 tahun. Sebab, jika rencana itu terlaksana, praktis Norman hanya punya waktu dua tahun lagi untuk tinggal di Rusunawa Marunda.
Norman merasa penghasilannya sebagai petugas keamanan di salah satu pabrik di kawasan Marunda belum cukup untuk bisa menyewa rumah lain di luar rusunawa. Apalagi membeli rumah sendiri.
Salah satu sudut di Rusunawa Marunda.
Foto : Pradita Utama/detikcom
“Ya terus kita mau tinggal di mana? Kalau ngontrak di luaran, kan ya paling nggak Rp 800 ribu sampai Rp 1 juta per bulan. Duit dari mana kita? Ini saja kan juga cuma cukup buat biaya sekolah anak,” keluh pria yang telah tinggal di Jakarta sejak 1997 ini.
Sejak Februari 2024, Pemprov DKI Jakarta membahas aturan baru terkait pembatasan masa sewa rusunawa. Masa sewa rusunawa, yang semula yang tidak memiliki batasan yang jelas dan boleh diperpanjang saban dua tahun, kini akan dibatasi maksimal sepuluh tahun untuk masyarakat terprogram dan enam tahun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Aturan ini ditargetkan rampung pada pertengahan 2025.
Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Meli Budiastuti mengatakan pembatasan masa sewa rusunawa ini bertujuan untuk memberikan kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah lainnya turut merasakan fasilitas hunian layak yang disediakan pemerintah.
Strategi ini diharapkan dapat mengurangi angka backlog perumahan di Jakarta yang masih cukup tinggi. Meli mengatakan, sampai akhir 2024, backlog perumahan Jakarta masih berada di angka 1,8 juta. Sedangkan ketersediaan rusunawa saat ini hanya sekitar 33.830 unit.
“Pembatasan ini juga bertujuan untuk mengubah cara pandang para penghuni rusunawa saat ini, yang cenderung menganggap rusunawa dapat dimiliki atau ditempati selamanya dan bahkan diwariskan,” ungkap Meli dalam keterangan tertulis yang diterima detikX beberapa pekan lalu.
Setelah aturan rampung, Pemprov DKI Jakarta dikabarkan akan mulai mendata penghasilan para penghuni rusunawa. Mereka yang secara penghasilan sudah melebihi batasan yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024, yakni Rp 7,4 juta per bulan, akan direkomendasikan untuk mendapatkan akses pembelian rumah melalui Fasilitas Pembiayaan Pemilikan Rumah (FPPR) dengan bunga 5 persen.
Sementara itu, bagi yang belum memiliki penghasilan cukup untuk membeli rumah atau menyewa di tempat lain, Pemprov DKI Jakarta akan mengevaluasi ulang kebutuhan terhadap penghuni tersebut.
Namun Sekda DKI Jakarta Marullah Matali meyakini masa sewa 10 tahun sudah bisa membuat para penghuni rusunawa memiliki tabungan yang cukup untuk membeli atau menyewa rumah lain. Sebab, kata Marullah, tujuan pemberian harga murah rusunawa selama ini memang agar MBR bisa memiliki tabungan untuk membeli rumah layak.
“Kami berpikir, kalau sudah sampai 10 tahun sih, sudah banyak kali uangnya,” ungkap Marullah di Balai Kota DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Ahli tata kota Marco Kusumawijaya memandang aturan pembatasan masa sewa rusunawa tidak bisa diberlakukan secara serta-merta. Pemprov DKI Jakarta perlu memiliki basis data yang kuat untuk memastikan waktu 10 tahun adalah masa yang tepat untuk menjadi batasan sewa rusunawa.
Pertimbangannya, kata Marco, tidak bisa sekadar melihat tabungan dan kenaikan penghasilan. Pemerintah perlu juga mempertimbangkan perbandingan kenaikan harga rumah dengan penghasilan warga Jakarta. Plus, beban peningkatan harga barang kebutuhan pokok.
Selama ini, kenaikan harga rumah kerap bergerak lebih tinggi dibandingkan penghasilan masyarakat. Di Jakarta, kata Marco, kenaikan harga rumah diperkirakan 15-25 persen per tahun. Ditambah dengan beban kenaikan harga kebutuhan pokok 3-4 persen per tahun. Sedangkan kenaikan penghasilan hanya 3-6,5 persen per tahun.
“Jadi, kalau bilang 10 tahun sudah cukup, mereka itu harus bertanggung jawab dengan apa yang mereka katakan. Ada tidak hunian yang bisa penghuni itu sewa atau beli dengan penghasilan yang dianggap cukup itu. Kalau ada, di mana? Tunjukkan,” ungkap Marco melalui telepon.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja juga memberikan pandangan senada. Menurut Elisa, pembatasan masa sewa rusunawa selama 10 tahun masih tidak masuk akal untuk diberlakukan—mengingat saat ini harga sewa atau beli rumah layak huni di Jakarta sudah amat tinggi.
Kegiatan kerja bakti antisipasi dampak buruk musim hujan di Rusunawa Marunda.
Foto : Pradita Utama/detikcom
Klaim Marullah bahwa 10 tahun menjadi waktu yang cukup untuk para penghuni rusunawa menabung membeli rumah atau menyewa rumah baru, menurut Elisa, juga sama sekali tidak beralasan. Buktinya, selama 2010-2024, tunggakan pembayaran sewa rusunawa di Jakarta saja sudah mencapai Rp 95,5 miliar.
“Kalau misalnya mereka mampu, mereka akan bisa bayar. Kenapa nggak bayar, itu saja dulu parameternya. Atau mungkin diputusin 10 tahun itu ya jangan-jangan mereka (Pemprov DKI Jakarta) mau mengusir secara pelan-pelan orang yang nggak mampu bayar ini,” jelas Elisa.
Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Yuke Yurike pun mengingatkan agar Pemprov DKI Jakarta lebih berhati-hati dalam menerapkan aturan tersebut.
Namun, secara prinsip, sambung Yuke, dia mendukung niat Pemprov DKI Jakarta yang menginginkan agar semua masyarakat mendapatkan kesempatan tinggal di hunian yang layak dan penghuni rusunawa bisa naik kelas dengan memiliki hunian layak sendiri.
“Tapi kebijakannya tidak bisa terkesan mengusir bagi mereka yang memang secara finansial tidak bisa memiliki hunian selain di rusun,” terang Yuke melalui pesan singkat.
Sementara itu, Koordinator Komisi D DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino memandang rencana pembatasan masa sewa rusunawa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, pembatasan masa sewa dapat memastikan hunian layak tetap tersedia dan tidak hanya dikuasai segelintir orang dalam jangka waktu lama.
“Namun, di sisi lain, hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian bagi penyewa yang telah menempati rusun dalam waktu lama, serta dapat mengganggu stabilitas,” pungkas Wibi.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim