Peran Pemimpin Druze al-Hijri di Balik Pertumpahan Darah di Suriah

14 hours ago 1

Jakarta -

Selama sepuluh hari terakhir, saat konflik mematikan pecah di Provinsi Sweida, Suriah selatan, satu nama terus disebut-sebut.

Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual komunitas Druze di Suriah yang berusia 60 tahun ini, memainkan peran besar dalam peristiwa yang menewaskan lebih dari 500 orang dan mengancam runtuhnya transisi kekuasaan Suriah setelah puluhan tahun diperintah oleh rezim diktator.

Para pengkritiknya menyalahkan sikap al-Hijri yang konfrontatif terhadap pemerintah baru Suriah atas eskalasi konflik di wilayah itu. Mereka menyebutnya sebagai "panglima perang yang tidak waras", pengkhianat yang haus akan kekuasaan, dan penyelundup narkoba yang punya koneksi dengan sisa-sisa militer rezim Bashar al-Assad yang digulingkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, para pendukungnya justru menyebut al-Hijri sebagai "simbol kehormatan dan martabat", yang membela komunitasnya dari tekanan pemerintah baru dan mereka yang dianggap berpotensi berbahaya.

Warisan kekuasaan

Posisi pemimpin spiritual Druze diwariskan dalam garis keturunan. Setelah kakaknya, Ahmad, meninggal dalam kecelakaan mobil misterius tahun 2012, yang diduga melibatkan rezim Assad, al-Hijri yang lahir pada Juni 1965 di Venezuela, diangkat untuk menggantikannya.

Ia adalah salah satu dari tiga pemimpin spiritual utama komunitas Druze di Suriah, bersama Yousef Jarbou dan Hammoud al-Hanawi. Para pemimpin spiritual ini menjadi rujukan dalam urusan sosial, moral, dan keagamaan, serta menentukan keputusan-keputusan besar. Ketiganya harus mencapai konsensus bersama.

Selama kekuasaan rezim Assad dan perang saudara Suriah, yang dimulai pada 2011 dan berakhir 2024, sikap politik al-Hijri cukup sangat oportunistik. Kadang ia terang-terangan mendukung rezim Assad, bahkan menyerukan agar pemuda Druze ikut bertempur demi diktator itu. Namun pada 2023, ia mulai bersuara mendukung para demonstran Druze dan menentang rezim. Ia bukan satu-satunya, dua pemimpin spiritual Druze lainnya juga sempat mendukung rezim Assad.

Ketegangan pun muncul di antara ketiganya, mengenai siapa yang paling layak menjadi pemimpin utama komunitas Druze dan menjadi perwakilan resmi minoritas itu. Beberapa laporan menyebut, Jarbou dan al-Hanawi memisahkan diri dari al-Hijri karena konflik ini.

Pahlawan atau pengkhianat?

Sejak tergulingnya rezim Assad dan terbentuknya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, pemimpin kelompok pemberontak Islamis yang memimpin serangan pada Desember lalu melawan Assad, al-Hijri makin menjadi sosok yang kontroversial.

Komunitas Druze yang sebagian besar tinggal di Sweida, seperti halnya Kurdi Suriah, sedang bernegosiasi mengenai peran mereka dalam struktur pemerintahan baru negara itu.

Sekitar 70% penduduk Suriah adalah muslim Sunni. Beberapa kelompok minoritas agama dan etnis minoritas merasa khawatir akan masa depan mereka.

Sebagian Kurdi Suriah mengusulkan untuk mengelola wilayah komunitas sendiri, yang memicu kekhawatiran kembalinya perpecahan di dalam negeri. Ada juga pembicaraan mengenai integrasi milisi bersenjata ke dalam militer pusat dan apakah negara yang memegang monopoli atas senjata.

Inilah isu-isu yang sedang dinegosiasikan oleh al-Hijri. Ia dianggap paling keras kepala dalam bekerja sama dengan pemimpin baru Suriah, dengan sikap absolutis yang berbeda dari pendekatan Jarbou dan al-Hanawi, di mana keduanya cenderung lebih akomodatif dan terbuka untuk berdialog dengan pemerintahan al-Sharaa.

Contohnya, pada Maret lalu beredar sebuah nota kesepahaman antara pemerintah dan otoritas Druze yang menyatakan telah dicapainya kesepakatan mengenai masa depan bersama. Al-Hijri hadir saat pertemuan penyusunan dokumen itu, tetapi tidak menandatanganinya dan belakangan menyatakan tidak setuju.

Pemerintahan transisi Suriah belum memiliki kendali penuh atas keamanan nasional, dan kekerasan yang baru-baru ini terjadi, di mana ada dugaan melibatkan sebagian tentara pemerintah. Konflik itu membuat komunitas minoritas semakin tidak yakin bahwa mereka akan aman. Inilah alasan mengapa sebagian orang menilai sikap al-Hijri sudah benar.

Apa peran al-Hijri dalam konflik terbaru?

Sejak 13 Juli, setelah aksi penculikan balasan antara komunitas Druze dan Badui berubah menjadi pertempuran besar, beberapa kali gencatan senjata dinegosiasikan dan bahkan disepakati, termasuk oleh pemimpin Druze lainnya. Namun, meski sempat setuju, al-Hijri kemudian menolaknya.

Beberapa pengamat menilai keputusan itu sudah tepat. Peneliti Inggris-Irak Aymenn Jawad al-Tamimi mengatakan, ia berbicara dengan pemimpin pejuang bersenjata Druze di Sweida yang sebelumnya tidak sejalan dengan al-Hijri. Namun, mereka mengungkapkan, "di saat bersamaan, ketika pembicaraan soal inisiatif patroli gabungan antara faksi lokal [Sweida] dan pasukan keamanan internal pemerintah Suriah berlangsung, pelanggaran pun dilakukan oleh pasukan pemerintah sendiri," ujar al-Tamimi.

Dalam konflik yang terjadi bulan Juli, semua pihak dituduh melakukan aksi kekerasan, baik para pejuang Druze, pejuang Sunni, maupun pasukan pemerintah. Disinformasi menyebar luas di dunia maya dan hingga penyelidikan secara menyeluruh dilakukan, sulit untuk memastikan siapa yang benar-benar harus bertanggung jawab.

Sikap al-Hijri terhadap pemerintah baru itu diduga didukung oleh Dewan Militer Sweida, yang dibentuk tak lama setelah jatuhnya rezim Assad. Para pengkritik menuduh dewan ini melindungi sisa-sisa militer Assad dan terlibat dalam penyelundupan narkoba serta kejahatan lainnya.

Pengkhianat negara?

Ketika para pejuang Sunni Suriah dari wilayah lain menyatakan akan datang ke Sweida untuk melawan minoritas Druze, al-Hijri menyerukan kepada internasional, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Israel, untuk melindungi Druze.

Pada 16 Juli 2025, Israel pun langsung membombardir pusat kota Damaskus. Inilah yang membuat al-Hijri dicap sebagai pengkhianat negara. Kemarahan terhadap Israel, yang masih dianggap musuh perang dengan Suriah, juga secara keliru diarahkan ke komunitas Druze, di mana sebagian warga Suriah menyebut minoritas Druze sebagai pengkhianat.

Peristiwa yang bergerak cepat, sikap-sikap yang mengakar, dan prasangka lama membuat sangat sulit untuk menentukan siapa sebenarnya yang menjadi pahlawan atau penjahat dalam konflik terbaru ini. Mungkin yang paling mencolok dari sosok al-Hijri saat ini adalah bahwa ia merepresentasikan kurangnya konsensus dalam komunitas Druze itu sendiri.

Yang jelas, sikap dan pandangan al-Hijri yang memperburuk aksi kekerasan baru-baru ini, telah memperdalam ketegangan sektarian di Suriah yang sudah lama dilanda rasa tidak aman antarkomunitas.

Gencatan senjata tampaknya masih bertahan, tetapi setelah sepekan penuh konflik. Satu hal mulai terlihat jelas, meski para pemimpin Druze di Lebanon terus menyerukan diplomasi, sikap komunitas Druze di Suriah terhadap pemerintah pusat yang baru tampaknya semakin mengeras.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

Editor: Rahka Susanto

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial