Jakarta, CNN Indonesia --
Perkumpulan Lingkar Ganja Nasional (LGN) meminta Badan Narkotika Nasional (BNN) memberikan informasi terkait perkembangan riset ganja medis yang dilakukan lembaga itu dengan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
"Kami mengajukan permohonan audiensi dan pertemuan langsung Bersama Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) agar menanyakan lebih lanjut mengenai tahapan dan desain penelitian yang sedang berjalan serta mendukung penelitian berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Ilmu Pengetahuan,"' demikian dikutip dari surat permohonan ke BNN yang dilihat CNNIndonesia.com, Rabu (23/7).
Surat permohonan itu diserahkan Ketua Umum LGN Riyadh Fakhruddin pada Rabu pagi, sekitar pukul 10.00 WIB ke kantor BNN di Cawang, Jakarta Timur.
Dalam surat permohonan itu, Riyadh dkk memandang pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam setiap tahapan riset dan kebijakan yang berkaitan dengan ganja medis.
Hal itu menurut mereka untuk menjamin proses yang akuntabel, transparan, dan inklusif sesuai prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
"Serta menerapkan Asas Transparansi sesuai agar terciptanya kebijakan narkotika yang lahir dapat sesuai dengan kebutuhan Masyarakat yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memandang Asas Transparansi dan Aksesbilitasi agar mempunyai basis bukti Ilmiah yang akuntabel," kata mereka dalam permohonan itu.
"Sebagai informasi, kami juga siap menyampaikan data, kajian, dan masukan tertulis sebagai bahan pembahasan," imbuh mereka.
Dalam siaran pers yang diterima sebelumnya, LGN menyatakan mengapresiasi Kepala BNN Komjen Pol Marthinus Hukom atas pernyataannya baru-baru ini terkait pendekatan nonpidana terhadap pengguna narkoba, hingga menjalin kerja sama riset ganja medis dengan Universitas Udayana bali.
"Pendekatan ini merupakan langkah awal yang positif dan sejalan dengan semangat dekriminilaisasi yang selama ini kami dorong demi menjamin perlindungan hak asasi manusia serta pendekaan keshatan dalam penanangan penyalahgunaan narkotika," kata mereka dalam siaran pers bertanggal 19 Juli tersebut.
Menurut mereka UU Narkotika pun menjamin pengauran uapya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahgunaan dan pecandu narkotika. Namun, masih ada aturan lain yang menjadi pembatas seperti edaran Mahkamah Agng.
"Surat Edaran MA Nomor 04/2010 menjadi adanya pembatas penempatan penyalahgunaan untuk dilakukan rehabilitasi medis dan sosial. Maka untuk itu, kami mendukung revisi UU Narkotika menjadi bahasan hangat di Indonesia untuk kebutuhan medis," kata mereka.
Adapun terkait riset ganja medis, menurut mereka adalah tugas konstitusional negara berdasarkan putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020.
"LGN menyambut baik inisiatif riset ganja medis yang saat ini sedang dilakukan oleh BNN bersama Universitas Udayana Bali, mengenai riset ganja untuk kebutuhan medis," kata mereka.
Selain itu mereka mengingatkan berdasarkan Putusan MK 106/PUU-XVIII/2020 dan Perpres 78/2021, maka riset ganja medis juga seharusnya menjadi tanggung jawab dan prioritas kerja BRIN.
"Tanpa keterlibatan BRIN menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kepatuhan terhadap kebijakan riset nasional yang terintegrasi," kata mereka.
Sebelumnya, Universitas Udayana dan BNN meneken nota kesepahaman (MoU) atau perjanjian kerja sama (PKS).
Salah satu poin kerja sama tersebut adalah penelitian untuk mengetahui ada tidaknya zat dalam daun ganja yang dapat dijadikan obat.
"Bahwa ada riset bagaimana obat yang (berbahan) dari narkotika itu. Narkotikanya ganja saja," kata Rektor Unud I Ketut Sudarsana seusai menghadiri kuliah umum BNN RI di kampus Jimbaran, Selasa (15/7).
Sudarsana menjelaskan, riset itu sudah dimulai sejak awal 2025 oleh salah satu peneliti di Unud. Tujuannya untuk menemukan zat pada ganja yang berpotensi dijadikan obat.
Pada hari yang sama, saat ditemui usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Marthinus mengatakan sebelumnya DPR meminta supaya BNN menjadi inisiator untuk melakukan penelitian peluang penggunaan ganja buat medis.
Namun Marthinus menerangkan jika hasil riset itu positif, tak serta merta membuka pintu legalisasi ganja di Indonesia.
"Saya tidak memilih untuk legalisasi yah. Kalau memilih legalisasi itu, artinya kita memberikan ruang seluas-luasnya. Karena segala sesuatu yang merusak terutama narkoba itu kita harus pertimbangkan etis-nya. Untuk apa, kita mau legalisir kalau dia tidak bermanfaat," jelasnya.
"Kalau ada manfaat untuk kesehatan harus ada penelitian-penelitian empiris yang sangat konkret. Konsensus-konsensus dari para peneliti untuk mengatakan bahwa ganja itu bisa dilegalkan untuk (kesehatan) atau bisa diatur lebih tepatnya, bisa digunakan untuk kesehatan its oke. Tapi, bukan berarti harus dibebaskan sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya tapi diatur,"tambahnya.
Kemudian, jika nanti hasil penelitian yang dilakukan para pakar bahwa ganja bisa digunakan untuk medis nantinya menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Marthinus menegaskan kata kuncinya adalah 'bukan dilegalisasi', tapi 'diatur'.
"Saya secara moral tidak melegalisasikan, tapi kalau dibuktikan bahwa ada hasil penelitian mengatakan bahwa ganja itu bisa digunakan untuk pengobatan why not. Tapi kan bukan otoritas BNN, tapi otoritas kesehatan. Jadi silakan bertanya ke Kementerian Kesehatan," ujarnya.
(kid)