Jakarta -
Wakil Ketua MPR sekaligus anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya mengurusi bidang keagamaan, Hidayat Nur Wahid (HNW), mendukung Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang mendorong revisi UU Perkawinan dan atau menghadirkan undang-undang baru tentang ketahanan keluarga. Usulan ini menyusul tingginya angka perceraian di yang berpotensi mengganggu struktur sosial serta stabilitas ekonomi keluarga.
"Usulan ini patut diapresiasi, dan saya yang diamanahkan berada di Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Agama, menyambut baik keprihatinan dan usulan tersebut. Apalagi bila solusinya lebih mendasar dengan lahirnya kembali RUU Ketahanan Keluarga sebagaimana diwacanakan oleh Menag Prof Nasaruddin Umar," ujarnya dalam keterangannya, Jumat (25/4/2025).
Sebagai informasi, sebelumnya Menag Nasaruddin Umar menyampaikan kekhawatirannya terhadap angka perceraian yang tinggi. Ia mengusulkan agar ada Bab khusus di dalam UU Perkawinan yang mengatur pelestarian perkawinan atau bila perlu dibuatkan UU khusus mengenai Ketahanan Keluarga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HNW menyebut gagasan tersebut sejatinya menguatkan gagasan yang sudah ada sebelumnya, karena RUU Ketahanan Keluarga itu sudah berulang kali diusulkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR RI pada dua periode pemerintahan sebelumnya.
"Namun, sayangnya, ketika itu gagasan tersebut tidak mendapat dukungan positif dari pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR. Bila sekarang Menteri Agama (pemerintah) malah mengusulkan, tentu menjadi momentum yang tepat untuk menghadirkan solusi mendasar mengatasi masalah tidak harmonisnya keluarga yang berujung pada tingginya angka perceraian dengan dampak ikutannya yang meluas," jelasnya.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), kata dia, selama dua periode terakhir sudah berusaha memperjuangkan RUU ini. Bahkan, pada periode lalu dua anggota Fraksi PKS yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dengan dukungan dari anggota dari Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra dan Fraksi PAN, telah secara resmi mengusulkan dan mempersiapkan RUU ini.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini pun mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan tingginya angka perceraian di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini yakni, 408.347 kasus pada 2024, 463.654 kasus pada 2023, 516.344 kasus pada 2022, dan 447.743 kasus pada 2021. Adapun faktor penyebabnya berbagai macam, mulai dari masalah ekonomi dan salah satu pasangan berzina, hingga yang paling dominan adalah pertengkaran terus menerus.
"Urgensi untuk menjawab persoalan keluarga yang ada di masyarakat (termasuk tingginya angka perceraian) sudah sangat terlihat, dan bahan-bahan untuk memulai RUU Ketahanan Keluarga itu juga sudah tersedia. Saat ini, tinggal bagaimana 'political will' Pemerintah, atau DPR, atau inisiatif bersama Pemerintah dan DPR untuk bersama sama mengusulkan dan memperjuangkan disahkannya RUU Ketahanan Keluarga ini," ujarnya.
HNW mengaku dirinya lebih setuju dengan usulan menghadirkan RUU Ketahanan Keluarga, dibandingkan hanya merevisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menambahkan Bab baru yaitu Bab Pelestarian Keluarga di UU Perkawinan. Meski mempertimbangkan penambahan satu bab dalam UU Perkawinan bisa jadi lebih cepat diputuskan.
Akan tetapi, HNW mengingatkan agar usulan merevisi UU Perkawinan jangan sampai menjadi seperti membuka 'Kotak Pandora'. Ia menilai ada potensi pihak-pihak tertentu memanfaatkan revisi tersebut untuk mendorong legalisasi perkawinan beda agama yang telah ditolak Mahkamah Konstitusi, maupun perkawinan sesama jenis yang bertentangan dengan UU Perkawinan dan nilai-nilai Pancasila.
HNW mengatakan itu semua tentu sudah menjadi perhatian Menag dalam mengusulkan revisi UU Perkawinan. Memang UU Perkawinan pernah direvisi secara terbatas terkait usia perkawinan pada 2019 atas amanat putusan MK. Namun, kita bisa lihat ada beberapa suara belakangan ini yang mencoba menghadirkan perkawinan tanpa landasan agama, perkawinan beda agama, atau yang lebih parah lagi, perkawinan sesama jenis.
"Jangan sampai mereka hadir sebagai 'penumpang gelap' dalam revisi UU Perkawinan," jelasnya.
"Karena itu bukan menyelesaikan masalah malah bisa menimbulkan masalah baru yang makin bisa menjadi potensi besar terjadinya perceraian ketika pernikahan tidak dibasiskan kepada ajaran Agama, hal yang tentu saja bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Perkawinan yang ada dan juga bertentangan dengan sistem sosial yang diterima masyarakat Indonesia umumnya," pungkasnya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini