Tak Habis-habis Dugaan Perundungan PPDS, Terbaru soal Bayari Clubbing

15 hours ago 7
Jakarta -

Masalah dugaan perundungan yang dilakukan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kian terungkap. Terbaru, ada dua kasus yang terungkap saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Dugaan kasus bullying terbaru itu diungkap anggota Komisi IX DPR RI Surya Utama alias Uya Kuya. Kasus pertama yang diungkap terjadi kepada salah satu mantan dokter PPDS bernama Wildan Ahmad Furqon.

"Kasus pertama ada Wildan Ahmad Furqon mantan dokter PPDS di Bandung RSHS yang keluar, sampai keluar dari dr spesialis ortopedi karena mengalami perundungan fisik," kata Uya Kuya dalam rapat tersebut, seperti dilihat detikcom di YouTube Komisi IX DPR, Kamis (1/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Uya mengatakan Wildan setiap malam disiksa dengan cara diminta berdiri dengan satu kaki, push up, hingga mengangkat kursi lipat. Selain itu, ia menyebut korban diminta membayarkan servis mobil senior hingga clubbing.

"Tiap malam harus berdiri dengan satu kaki sampai 3 jam, disuruh push up, jalan jongkok, merangkak, terus dia harus angkat kursi lipat yang ada mejanya selama 1 jam, disuruh bayarin servis mobil senior, disuruh bayarin clubbing," ucapnya.

Dia menyebut biaya yang dikeluarkan Wildan selama 3 semester mencapai Rp 500 juta. Kemudian, Uya Kuya menyebut yang bersangkutan juga sempat dihukum untuk menginap di RS dan dipukuli karena sempat pulang untuk menemani istrinya melahirkan.

"Biaya entertain yang dikeluarkan dari seorang Wildan sampai Rp 500 juta untuk 3 semester. Dan semester 1 dia harus menyediakan seperti tas Doraemon yang isinya bisa sampai 20 biji untuk kebutuhan senior," jelasnya.

"Dan intinya adalah karena dia sempat pulang karena harus istrinya melahirkan, dia sampai dihukum satu bulan nginep di RS nggak boleh ke mana-mana, dan sampai RS didorong, ditampar, dipukul, dan setelah speak up sampai sekarang malah dia nggak ada tindak lanjut dari RS dan kampus untuk selesaikan masalah," lanjut Uya Kuya.

Kasus Kedua

Uya Kuya Foto Uya Kuya (kanan): Dok. YouTube Komisi IX DPR RI Channel

Selain Wildan, Uya Kuya mengungkap kasus PPDS lainnya ditemukan di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Perundungan itu dialami oleh mantan PPDS, dr Marcel.

"Masalah kedua untuk di UGM yaitu PPDS Ortopedi, dr Marcel yang saat itu dia alami hal yang sama, kurang lebih ada yang namanya parade setiap malam. Di situ ada penghakiman seperti push up, sit up, dilemparin botol, dipukul, ditampar, sampai dipersekusi di ruangan sempit dipukuli beramai-ramai atas perintah kepala senior resident," tutur dia.

Uya membeberkan korban juga sempat disuruh menyiapkan mobil-mobil setara Innova untuk para dokter-dokter spesialis. Segala kebutuhan para dokter tersebut, kata Uya, juga harus ditanggung oleh dr Marcel.

"Dan pernah juga dia yang memukuli adalah yang sekarang mantu dari rektor, dan ini dokter Marcel sudah pernah speakup di tempat saya juga, dan dia juga bilang suka disuruh menyiapkan mobil setara Innova cuma untuk jemput dr dr spesialisnya, dan di dalam mobil itu harus ada makanan dan semua kebutuhan makan senior harus dipenuhi. Dan sampai dr Marcel dia harus keluar juga dari pendidikannya," sebutnya.

Uya pun menyayangkan masih adanya kasus-kasus perundungan PPDS. Padahal, Indonesia tengah membutuhkan banyak dokter spesialis. "Bayangkan di mana negara kita butuh sekali namanya dr spesialis, tapi mereka yang ingin sekolah ya harus sekolah setelah keluarkan biaya ratusan juta tapi sia-sia," imbuhnya.

Menkes Akui Ada Pembiaran

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyebab Indonesia masih kekurangan dokter spesialis karena program PPDS atau pendidikan dokter spesialis di RI berbeda dengan negara lain. Hal itu diungkap dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (29/4/2025). Foto: Menkes Budi Gunadi Sadikin (Agung Pambudhy/detikcom).

Merespons masalah perundungan PPDS, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengakui persoalan ini terjadi karena adanya pembiaran. Budi mengakui saat ini sulit untuk mengakui adanya persoalan pada kualitas etika dan budaya para dokter.

"Dari sisi PPDS ini masalahnya kita adalah spesialis jumlahnya kurang, abis itu distribusinya tidak merata, sekarang keluar masalah yang ketiga dari sisi mutunya, mutunya ada 3, mutu keterampilan, dan mutu dari etikanya, budayanya, itu isu," kata Budi Gunadi saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR, seperti dilihat detikcom.

"Keterbukaan kita, kerendahan hati kita, keberanian kita untuk mengakui ada masalah ini adalah satu hal yang saya ngerasain aja sulit, karena untuk bilang bahwa kita ada kekurangan itu sesuatu yang sulit diterima, kita bilang bahwa kita ada masalah di wilayah etika, atau lingkungan pembelajaran klinik," lanjut dia.

Budi memastikan dirinya dan Mendiktisaintek punya pandangan yang sama untuk membenahi persoalan PPDS. Menurutnya, saat ini persoalan PPDS masif ditemukan karena adanya pembiaran.

"Percayalah Pak Menteri (Mendiktisaintek) itu sama dengan saya, mau diperbaiki ini, beliau juga tahu ini ada masalah ayng sudah terlalu lama dibiarkan, dulu nggak begini bu pendidikan kedokteran, sekarang jadi begini tuh ada yang pembiaran," ucap dia.

Kemenkes Tanggung Jawab

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyebab Indonesia masih kekurangan dokter spesialis karena program PPDS atau pendidikan dokter spesialis di RI berbeda dengan negara lain. Hal itu diungkap dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (29/4/2025). Foto Jajaran Menkes dan Pejabat Kemenkes: (Agung Pambudhy/detikcom)

Budi juga memastikan Kemenkes akan bertanggung jawab jika adanya kembali persoalan PPDS. Dia menekankan akan mencabut praktek para dokter yang terlibat hingga membawa ke ranah hukum.

"Setidaknya di sisi kita, tanggung jawab kita, dari sisi kita, kita pegang apa? Kita pegang STR, izin, itu semua kita freeze, jadi dulu prosesnya lama bisa ini bisa ini, dan solidaritas kalau anaknya siapa mau ngehukum nggak enak, kalau sekarang itu semua yang terlibat, yang di Garut, yang di Undip, yang di RSHS, semua kita freeze, begitu dia terbukti salah, kita cabut, cabut artinya apa? Dia nggak bisa praktek dokter seumur hidup dia," tegasnya.

"Sekarang kita akan ambil resiko, saya tahu nggak populer nih, kita cabut, itu pasti akan rame, tapi kalau nggak gini akan terjadi terus, yang kasihan nanti dokter-dokter yang baik. Orang orang ini sudah kita freeze, begitu salah cabut seumur hidup nggak bisa praktek. Nomor dua kita proses bukan cuma secara administratif, tapi secara yudikatif kita proses, jadi kita masukin ke polisi, kita tidak ada lagi halang-halangi, ini proses hukumnya harus jalan, supaya terbuka," lanjut dia.

Dia menegaskan Kemenkes akan memperbaiki PPDS. Dia juga mengungkapkan akan ada pembenahan hingga penataan ulang di dunia pendidikan dokter spesialis.

"Jadi administratif kita sudah cabut, kita freeze, begitu dia salah, nomor dua kita masukin ke yudikatif, benar-benar jalan, jadi kalau salah ya salah, dihukum bukan cuma dihukum cabut STR tapi bisa kena pidana dia, ketiga begitu ada seperti ini, ini baru yang di atas, di bawah banyak, pembayaran, minta iuran ini, minta ini nggak jelas, suruh berdiri, suruh ngunyah cabe, itu masif bapak ibu pasti dengar, ini harus dilihat ditata ulang," tuturnya.

(zap/whn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini


Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial