Spiritualitas Ramadan dan Realitas Pemberantasan Korupsi

6 hours ago 5

Jakarta -

Ramadan adalah bulan yang selalu dikaitkan dengan kesucian, pengendalian diri, dan kejujuran. Nilai-nilai ini menjadi esensi utama dalam menjalankan ibadah puasa, di mana umat Islam diajarkan untuk menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, termasuk dorongan untuk berbuat curang atau mengambil hak orang lain. Di sisi lain, realitas pemberantasan korupsi di Indonesia tampak berlawanan dengan semangat Ramadan. Meski setiap tahun pemerintah dan berbagai lembaga menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi, praktik korupsi tetap merajalela, bahkan pada bulan Ramadan yang seharusnya menjadi momentum refleksi moral bagi para pejabat publik.

Fenomena korupsi di Indonesia seolah sudah menjadi budaya yang sulit diberantas. Berbagai kasus besar yang terungkap membuktikan bahwa korupsi tidak lagi sekadar praktik individu, tetapi telah menjadi bagian dari sistem yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat tinggi hingga jaringan bisnis dan birokrasi. Ironisnya, pada bulan Ramadan, ketika masyarakat diajak untuk lebih mendekatkan diri kepada nilai-nilai kejujuran dan kebaikan, kasus-kasus korupsi tetap saja terungkap. Terbaru, 8 pejabat di Ogam Komering Ulu (OKU) terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, beberapa pejabat yang terbukti korup justru menunjukkan kesalehan simbolik dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, seolah hendak menutupi keburukan mereka dengan citra religius.

Menyediakan Momentum

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ramadan sebenarnya menyediakan momentum luar biasa bagi para pemimpin dan pejabat publik untuk merefleksikan kembali peran mereka dalam membangun bangsa yang bersih dari korupsi. Kesadaran akan kejujuran dan tanggung jawab sosial yang ditekankan dalam ajaran Islam seharusnya menjadi dorongan moral untuk mengakhiri praktik-praktik korupsi. Sayangnya, ajaran ini sering hanya berhenti sebagai seruan moral tanpa implementasi nyata dalam kebijakan publik. Banyak pejabat yang berbicara tentang pentingnya kejujuran dan transparansi, tetapi pada saat yang sama terlibat dalam praktik suap, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang.

Sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan akses luas terhadap informasi keagamaan. Ini membuktikan bahwa korupsi bukan semata-mata masalah kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai etis, tetapi lebih kepada lemahnya integritas dan sistem yang tidak cukup kuat untuk mencegah atau memberikan efek jera. Jika Ramadan adalah bulan yang mengajarkan tentang menahan diri dan meningkatkan empati terhadap sesama, maka seharusnya semangat ini juga tercermin dalam tindakan konkret para pemimpin dan pejabat publik dalam menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.

Ironi lainnya adalah bagaimana masyarakat sering terbuai oleh simbolisme keagamaan dalam melihat sosok pejabat atau pemimpin. Sering masyarakat lebih mudah menerima pemimpin yang menunjukkan citra religius di depan publik, meskipun rekam jejak mereka dalam hal transparansi dan akuntabilitas patut dipertanyakan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat praktik korupsi tetap subur, karena korupsi tidak hanya berlangsung di dalam sistem pemerintahan, tetapi juga dalam pola pikir masyarakat yang belum cukup kritis dalam menilai integritas seseorang.

Selain itu, Ramadan seharusnya menjadi waktu di mana pejabat publik membuktikan komitmen mereka dalam menjalankan pemerintahan yang bersih. Namun, justru pada bulan ini sering muncul kasus-kasus penyelewengan anggaran, terutama terkait dengan bantuan sosial dan program-program keagamaan. Bantuan yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan malah disalahgunakan oleh oknum yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa semangat Ramadan belum mampu menembus benteng kepentingan pribadi dan kelompok yang telah lama mengakar dalam birokrasi Indonesia.

Diterjemahkan dalam Kebijakan

Jika pemberantasan korupsi ingin benar-benar berjalan efektif, maka semangat Ramadan harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang nyata dan tegas. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran publik. Penguatan lembaga-lembaga antikorupsi juga menjadi kunci penting dalam memastikan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku korupsi dilakukan secara adil dan tanpa pandang bulu. Selain itu, diperlukan pendidikan karakter yang lebih kuat dalam sistem pendidikan, agar nilai-nilai kejujuran dan integritas tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar tertanam dalam diri setiap individu sejak dini.

Dalam konteks sosial, masyarakat juga harus lebih aktif dalam mengawal transparansi pemerintahan. Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi momen untuk meningkatkan ibadah individu, tetapi juga momen untuk memperkuat kepedulian sosial, termasuk dalam memberantas korupsi. Masyarakat harus lebih berani menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka dan tidak mudah terbuai oleh pencitraan religius yang sering digunakan untuk menutupi praktik koruptif.

Lebih jauh lagi, korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal mentalitas dan budaya. Jika semangat Ramadan benar-benar diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, maka seharusnya nilai-nilai yang diajarkan dalam bulan ini mampu menjadi benteng moral bagi siapa pun yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Sebab, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, amanah adalah sesuatu yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab, dan korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut.

Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan retorika moral atau simbolisme keagamaan. Diperlukan reformasi sistem yang lebih menyeluruh, serta kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat untuk tidak lagi mentoleransi praktik korupsi dalam bentuk apa pun. Ramadan adalah momen yang tepat untuk kembali meneguhkan komitmen ini. Jika bulan suci ini tidak mampu menggerakkan hati para pemimpin dan pejabat publik untuk meninggalkan praktik korupsi, maka pertanyaannya adalah: nilai-nilai Ramadan seperti apa yang sebenarnya mereka jalankan?

Muhammad Ali Murtadlo dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial