Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memperberat hukuman lima terdakwa kasus korupsi pengelolaan komoditas timah. Majelis hakim tingkat banding ini bahkan menyarankan kerugian ekologi ekonomi dan pemulihannya diusut melalui pengadilan khusus lingkungan.
Putusan banding tersebut diketok hakim pada Kamis (13/2/2025). Dalam pembacaan sidang putusan banding bagi terdakwa Harvey Moeis dkk, hakim juga sepakat terkait kerugian keuangan negara di kasus korupsi timah itu mencapai Rp 300 triliun. Kerugian keuangan negara Rp 300 triliun itu dihitung berdasarkan empat sektor. Berikut rinciannya:
1. Kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2.284.950.270.912,14 (Rp 2,2 triliun).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Kerugian pembayaran kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah oleh PT Timah tbk ke 5 smelter swasta dan PT Smelter, PT Timah sebesar 3.023.880.421.362,90 (Rp 3 triliun) dan Rp 738.937.203.450,76 (Rp 737 juta)
3. Kerugian jarak atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal sebesar Rp 26.648.625.701.519 (Rp 26,6 triliun).
4. Kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal sebesar Rp 271.069.688.018.700. (Rp 271 triliun)
Kerugian kerusakan lingkungan tersebut meliputi:
a. Kerugian ekonomi sebesar Rp 183.703.234.398.100 (Rp 183 triliun)
b. Kerugian Ekonomi Lingkungan sebesar Rp 75.479.370.880.000 (Rp 75,4 triliun)
c. Biaya Pemulihan atas kerusakan Lingkungan atau ekonomi hutan sebesar Rp 11.887.082.740.060 (Rp 11,8 triliun)
"Sehingga total kerugian keuangan negara dari keseluruhan itu menjadi sebesar Rp 300.030.263.938.131,14," kata hakim.
Majelis Hakim Tingkat Banding Sarankan Pengadilan Khusus
Foto: Sidang vonis kasus korupsi timah pada Senin (30/12/2024)-(Mulia/detikcom)
Hakim tingkat banding juga menyarankan agar para terdakwa, termasuk Harvey Moeis, dituntut secara perdata atau pidana melalui pengadilan khusus masalah lingkungan.
Hakim menilai kerugian ekologi ekonomi di kasus ini tidak bisa dilihat secara riil seperti kasus korupsi lainnya. Untuk itu, hakim menyarankan adanya pengadilan khusus untuk memaksimalkan pengembalian ganti rugi kepada para terdakwa.
"Menimbang bahwa oleh karena itu pembayaran kerugian ekologi ekonomi dan pemulihannya hendaknya disidik dan dituntut oleh pengadilan khusus lingkungan tidak bisa digabungkan dengan perkara tindak pidana korupsi a quo," kata hakim.
"Menimbang bahwa majelis hakim tingkat banding tidak sependapat dengan penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim tingkat pertama selama 6 tahun dan 6 bulan kepada terdakwa Harvey Moeis mengingat kerugian keuangan negara yang ditimbulkan sangat besar yaitu sebesar Rp 29.672.122.882 sehingga mengusik rasa keadilan masyarakat bahkan jika dihubungkan dengan pasal 33 ayat 30 UUD 45 yang berbunyi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," sambung hakim.
Respons Kejagung
Foto: Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. Foto: Dwi/detikcom
"Apakah dimungkinkan adanya gugatan perdata terhadap pihak-pihak terkait? Sepanjang dalam rangka pengembalian kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, bisa saja," kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, saat dihubungi Jumat (14/2/2025).
Namun, saat ini, Kejagung akan mempelajari terlebih dulu putusan majelis hakim tersebut. Dalam vonis banding itu, para terdakwa telah dibebani besaran uang pengganti. Untuk mengejar pengembalian kerugian uang negara, Kejagung akan berdasarkan ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi.
"Hakim juga sependapat bahwa kerugian kerusakan lingkungan bagian dari kerugian keuangan negara, maka jaksa akan menggunakan Pasal 18 UU Tipikor untuk mengejarnya," katanya.
Diketahui, Pasal 18 UU Tipikor mengatur tentang perampasan barang hasil tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, serta mengatur tentang pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh hasil korupsi.
Vonis Terbaru Harvey Moeis dan Helena Lim
Foto: Harvey Moeis (Rifkianto Nugroho/detikcom)
1. Harvey Moeis Divonis 20 Tahun Penjara
Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan pengusaha Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan korupsi kasus timah yang menyebabkan kerugian negara Rp 300 triliun. Harvey divonis 20 tahun penjara.
Vonis terhadap Harvey ini jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut 12 tahun penjara terhadap Harvey. Sedangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Tipikor, Harvey divonis 6,5 tahun penjara.
Hakim turut memperberat uang pengganti yang harus dibayar Harvey. Mulanya uang pengganti yang dibebankan kepada Harvey dari Rp 210 miliar menjadi Rp 420 miliar.
Hakim menyatakan harta benda Harvey Moeis dapat dirampas dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Jika harta benda Harvey tidak mencukupi membayar uang pengganti tersebut, diganti dengan 10 tahun kurungan. Selain itu, denda yang harus dibayar Harvey pun turut diperberat. Hakim menghukum Harvey membayar denda Rp 1 miliar juta subsider 8 bulan kurungan.
Helena Lim Divonis 10 Tahun Penjara
Hal yang sama terjadi pada pengusaha money changer Helena Lim. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Helena Lim menjadi 10 tahun.
Seperti diketahui, di pengadilan tingkat pertama, Helena divonis 5 tahun penjara karena dinyatakan bersalah membantu korupsi dalam kasus timah. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Helena juga dihukum membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara kurungan selama 6 bulan. Dia turut dihukum dengan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara. Helena kemudian juga dihukum membayar uang pengganti Rp 900 juta.
Vonis Terbaru 3 Terdakwa Lain di Kasus Korupsi Timah
Foto: Helena Lim, terdakwa kasus korupsi timah (Andhika Prasetia/detikcom)
Eks Dirut PT Timah Divonis 20 Tahun Penjara
Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga memperberat vonis eks Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani. Hakim memutuskan Mochtar Riza dihukum 20 tahun penjara.
Mochtar Riza juga dijatuhi denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Mochtar juga dihukum membayar uang pengganti senilai Rp Rp 493 miliar.
Pada pengadilan tingkat pertama, Mochtar Riza divonis 8 tahun penjara dalam kasus Timah. Hakim juga menghukum Mochtar Riza membayar denda Rp 750 juta. Apabila denda tak dibayar, diganti dengan 6 bulan kurungan.
Bos Smelter Divonis 19 dan 10 Tahun Penjara
Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak 2018, Suparta, divonis 19 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus korupsi timah. Vonis itu juga lebih tinggi dari sebelumnya.
Hakim juga menghukum Suparta untuk membayar uang pengganti Rp 4,57 triliun. Jika tak dibayar, diganti hukuman kurungan 10 tahun.
Dalam pengadilan tingkat pertama, Suparta mulanya divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan jaksa menuntut Suparta 14 tahun penjara.
Direktur PT RBT
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha PT RBT tahun 2017, Reza Andriansyah, divonis 10 tahun penjara. Reza juga dihukum membayar denda sebesar Rp 750 juta subsider 3 bulan kurungan. Reza mulanya divonis 5 tahun penjara pada pengadilan tingkat pertama. Namun vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 8 tahun penjara.
(ygs/ygs)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu