Road to Resilience, Keteguhan Seorang Pemuda Membangun Kehidupan Kedua

4 hours ago 3

Jakarta -

Setelah lebih dari setahun hidup sebatang kara, Febri Ramdani akhirnya nekad menyusul ibu dan belasan anggota keluarga besarnya ke Suriah pada September 2016. Ibunya yang pegawai negeri sipil tanpa pamit minggat ke Suriah pada akhir Juli 2015, terbuai iming-iming kehidupan yang lebih baik. Namun yang mereka hadapi di sana justru lingkungan penuh kekerasan dan kebrutalan ISIS.

Lelaki kelahiran Jakarta, 19 Februari 1994, itu menemukan jejak ibu dan keluarga besarnya ke Suriah melalui Turki. Di komputer yang diutak-atiknya Febri membaca sejumlah situs biro wisata dengan tujuan Turki, juga promosi pemerintahan ISIS di bawah kendali Abu Bakr Al-Baghdadi. Sebuah negeri bak surga dengan penerapan syariat Islamnya. Kontras dengan kondisi perekonomian keluarga Febri yang sedang terpuruk.

"Saya pribadi nggak percaya soal kehidupan yang serba indah di Suriah. Tapi ketika menemukan situs-situs yang mempromosikan itu, akhirnya tergoda juga," ujarnya. Tapi alasan terkuat yang mendorongnya untuk ke Suriah adalah kerinduannya kepada sosok ibu. "Saya kangen ibu, mau menebus kesalahan. Karena sebelum pergi, saya sempat marahan lah sama ibu," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Singkat cerita Febri berhasil menyusup ke Suriah melalui Turki. Dia terjebak ke dalam salah satu faksi ISIS yang memaksanya ikut berperang. Beruntung kondisi fisiknya sangat ringkih sehingga dia lolos dari kewajiban tersebut.

Setelah sekian bulan, dia berhasil berjumpa dengan ibu dan keluarga besarnya. Mereka lalu menyusup ke perbatasan untuk menyerahkan diri ke SDF (Syirian Democratic Forces). Setelah ditahan selama dua bulan lalu diserahkan ke UNHCR dan perwakilan Indonesia di Irak. Noor Huda Ismail dari Kreasi Prasasti Perdamaian bersama sejumlah diplomat senior Indonesia seperti M. Lalu Iqbal terlibat dalam upaya pemulangan mereka ke Indonesia. Febri bersama ibu dan 16 orang kerabatnya tiba di Jakarta pada 13 Agustus 2017.Selama sebulan mereka mengikuti program deradikalisasi oleh BNPT di Sentul.

Kembali ke masyarakat tak serta merta membuat hidup Febri dan ibunya tentram, damai. Sekalipun mereka telah melewati proses rehabilitasi, persoalan dan tantangan berikutnya muncul dalam keseharian di Depok. Mulai dari stigma, ekonomi, pencarian jati diri hingga persoalan batin yang membuatnya depresi.

Di tengah semua kondisi itu, Febri terus berjuang hingga mampu meraih gelar sarjana. Kebahagiaannya kian lengkap ketika ibu dan ayahnya yang bertahun-tahun hidup berpisah dapat berdampingan sebagai teman.

Kisah Febri dan keluarganya itu terekam dalam film dokumenter bertajuk 'Road to Resillience'. Film garapan sutradara Ridho Dwi Ristiyanto diproduseri oleh Dr Noor Huda Ismail dari Yayasan Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) dan diputar di Perpustakaan Nasional, Kamis (27/2/2025). Acara dihadiri sejumlah perwakilan negara sahabat, seperti dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Malaysia.

"Melalui film ini, kami ingin menunjukkan persoalan yang akan dihadapi oleh sebagian WNI yang kini masih terperangkap dalam konflik Suriah. Yang mana suatu saat nanti mereka bisa jadi akan kembali ke Indonesia dan mau tidak mau harus kita terima," kata Noor Huda.

Salah satu tantangan utama dalam membuat dokumenter ini, dia melanjutkan, adalah membangun kepercayaan, yang merupakan bagian penting dari etika pembuatan film. Penting untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam film memberikan persetujuan mereka, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.

Dia menekankan, sebagai produk komunikasi, film dokumenter perlu memegang prinsip HAIL: Honest (Jujur), Authentic (Otentik), Integrity (Integritas), dan Love (Cinta). "Dalam setiap pesan yang disampaikan, harus diselipkan unsur love berupa hope atau harapan, untuk memberikan dampak positif dan inspiratif," tegasnya.

Tanaka, dari Kedubes Jepang, mengaku terharu menyaksikan film tersebut sampai membuat dirinya ingin pulang kampung untuk bertemu orang tuanya. "Memang peranan ibu sangat penting dalam pencegahan terorisme," ujar Tanaka.

Ia juga terkesan dengan sound track yang dilantunkan Gading Suryatmaja. "Sangat menyentuh, benar-benar membuat saya teringat masa kecil dan cocok dengan tema film," imbuh Tanaka.

(jat/gbr)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial