Personal Branding Pejabat dan Komunikasi Publik yang Efektif

3 weeks ago 24

Jakarta -

Personal branding merupakan strategi membangun identitas dan persepsi publik terhadap individu, terutama bagi figur publik seperti pejabat negara. Pada era digital, citra diri seseorang dapat dikonstruksi melalui media sosial dan komunikasi publik yang dikemas secara strategis. Namun, dalam praktiknya, ada perbedaan antara citra diri yang dikonstruksi dengan gimik dan citra diri yang lahir dari opini publik secara natural.

Meminjam pendapat dari Erving Goffman dalam teori dramaturginya, kita dapat memahami bahwa interaksi sosial, termasuk personal branding pejabat publik, dapat dianalogikan seperti pertunjukan teater. Ada panggung depan, tempat aktor memainkan peran di hadapan audiens dengan menyusun kesan yang ingin ditampilkan. Dalam konteks personal branding pejabat, media sosial menjadi panggung depan tempat mereka menampilkan citra tertentu. Juga terdapat panggung belakang yang sering tersembunyi dari kamera dan sorotan publik.

Pejabat sering secara berlebihan menampilkan kesan merakyat, seperti blusukan di pasar tradisional dan kawasan kumuh, atau bahkan yang fenomenal dan masih melekat dengan ingatan masyarakat, di mana pejabat publik turun ke gorong-gorong. Aksi-aksi simbolis yang ditampilkan tersebut apakah memberikan dampak yang signifikan sampai saat ini? Apalah arti citra diri jika di panggung belakang kebijakan justru dihasilkan jauh panggang dari api.

Ketika panggung belakang yakni kebijakan dan kinerja nyata tidak sejalan dengan yang ditampilkan di panggung depan, publik dengan cepat merespons dengan kritik bahkan caci maki. Alhasil, citra diri yang ingin dibangun justru berbalik menjadi bumerang.

Komunikasi BerubahPada masa lalu, komunikasi yang dilakukan pejabat publik lebih bersifat top-down; pejabat menyampaikan pesan, rakyat mendengar. Kini, dengan berkembangnya platform digital, komunikasi berubah menjadi bottom-up. Masyarakat bukan hanya sekadar penonton, tetapi juga penerima pesan yang aktif sehingga dapat mengomentari narasi pejabat di ruang publik.

Sebagai contoh baru-baru ini, ketika Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia mempublikasikan momen dirinya pergi ke kantor menggunakan transportasi umum, respons publik yang berkomentar begitu beragam. Namun, sebagian besar merupakan narasi skeptisisme atas representasi dari kebijakan dan gaya berpolitiknya yang melekat pada kekuasaan beberapa tahun terakhir. Melalui hasil analisis dari kolom komentar, kata "pencitraan" merupakan kata yang paling sering muncul.

Hal ini menunjukkan efektivitas personal branding pejabat di media sosial sangat bergantung pada konsistensi antara citra yang dibangun dan tindak-tanduk kebijakan yang dihasilkan. Jika simbolisasi tanpa substansi masih menjadi strategi utama pejabat publik, lalu di mana ruang bagi akuntabilitas? Haruskah kita terus membiarkan praktik semacam ini berulang hanya karena tampilan di media digital mereka terlihat meyakinkan?

Daripada terus berlomba menata citra, mengapa tidak mulai membangun jembatan dialog? Publik tak lagi mencari pemimpin yang sekadar tampil meyakinkan, tapi mereka yang mau mendengar, memahami, dan bertindak dengan nyata.

Komunikasi Berbasis Kinerja

Daripada sibuk mengomunikasikan citra diri sebagai pejabat yang merakyat dengan cara-cara usang melalui pendekatan komunikasi top-down, lebih baik fokus pada komunikasi berbasis kinerja nyata. Pejabat yang benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat tidak perlu terlalu bergantung kepada gimik atau simbolisasi yang berlebihan.

Publik yang saat ini merupakan masyarakat digital semakin kritis dalam menilai informasi, sehingga impression management yang hanya bersifat kosmetik justru dapat menimbulkan skeptisisme. Sebaliknya, transparansi dalam kebijakan, terbuka terhadap kritik, serta komitmen dan keberpihakan kepada masyarakat adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik.

Personal branding yang autentik seharusnya lahir dari hasil kerja nyata, bukan dari rangkaian aksi atau teatrikal yang hanya menampilkan kesan seolah-olah berpihak pada rakyat. Model komunikasi bottom-up dalam hal ini menjadi penting, di mana opini publik berkembang berdasarkan pengalaman langsung mereka terhadap kebijakan yang dirasakan, jauh lebih efektif dalam membangun citra yang kuat.

Ketika kebijakan benar-benar memberikan dampak yang positif, tanpa perlu banyak gimik, kepercayaan masyarakat akan tumbuh secara organik. Apresiasi dan narasi positif masyarakat akan menjadi komunikasi dengan pendekatan bottom-up. Sehingga personal branding yang terbentuk bukanlah propaganda atau hasil rekayasa komunikasi, melainkan lahir dari refleksi kerja nyata dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat.

Mudah RuntuhDalam membangun citra diri, pejabat seharusnya tidak hanya berfokus pada kesan yang ingin ditampilkan, tetapi juga pada realitas kinerja yang mendukungnya. Goffman mengajarkan bahwa panggung depan harus didukung oleh substansi yang kuat di panggung belakang agar kredibilitas tetap terjaga. Seperti membangun rumah di atas pasir, personal branding yang hanya berbasis simbolisasi akan mudah runtuh ketika realitas kinerja mulai dipertanyakan.

Oleh karena itu, komunikasi publik yang efektif adalah komunikasi yang tidak hanya mengutamakan visualisasi citra, tetapi juga menunjukkan bukti nyata dari kinerja dan hasil kerja yang dilakukan. Di dunia yang semakin skeptis terhadap janji-janji kosong, pejabat yang akan bertahan bukanlah mereka yang paling piawai dalam pencitraan, melainkan mereka yang berani menghadirkan kebijakan yang berbicara dan lahir dari opini publik.

Andi Fakhrullah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial