Jakarta -
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menjelaskan permufakatan jahat yang dilakukan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB) bersama dua advokat. Tujuannya menggiring narasi publik agar Kejagung dinilai buruk.
"Tiga orang ini melakukan apa? Melakukan permufakatan jahat untuk seolah-olah institusi ini busuk. Padahal kenyataannya tidak demikian," kata Harli kepada wartawan dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (22/4/2025).
"Dengan informasi yang tidak benar dikemas untuk apa? Mempengaruhi publik opini," jelasnya lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, Kejagung menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, mereka adalah:
1. Pengacara bernama Marcella Santoso dengan inisial MS
2. Pengacara bernama Junaedi Saibih dengan inisial JS
3. Lalu, Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar yang diberi inisial TB
Mereka memainkan tiga peran untuk menjalankan praktik curang. Ada yang berperan sebagai tim yuridis dalam persidangan, ada yang mengatur rekayasa sosial, serta tim non yuridis.
"Coba rekan-rekan media bisa bayangkan apa yang tidak kami lakukan tapi dinyatakan seolah-olah kami lakukan. Semua dalam rangka apa? Pelemahan terhadap institusi. Untuk apa? Untuk penanganan perkara supaya sesuai dengan kehendaknya," ungkap Harli.
"Ada peran tim non yuridis, karena kita tahu pasal sangkaannya ada Rp60 miliar dari proses hukum terkait dengan dugaan suap dan atau gratifikasi," tambahnya.
Pada akhirnya, ketiga tersangka, lanjut Harli, hendak mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap Kejagung. Mereka juga turut menjadi dalang berbagai aksi massa.
"Bagaimana pandangan termasuk pandangan peradilan terhadap institusi kejaksaan. Karena melakukan mobilisasi masa, massa disuruh demonstrasi dibayar dan itu terkonfirmasi," tutur Harli.
Selain itu, Harli menyebut ada juga pembuatan konten, hingga talk show yang seolah-olah dianggap sebagai pembenaran. Dia kemudian mencontohkan mengenai fenomena kelangkaan minyak yang akhirnya diusut jaksa.
"Kejaksaan memproses (mengenai kelangkaan minyak), ditemukan ada perbuatan pidana, orang-orangnya diproses. Lalu menurut kami ada kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara ini oleh putusan pengadilan tidak bisa diminta kepada perorangan, tetapi kepada korporasi," ungkap Harli.
"Lalu di korporasi dionslag (vonis lepas oleh hakim). Kenapa dionslag, salah satunya adalah pembentukan opini yuridis yang dimainkan oleh tiga peran tadi," urai Harli.
Selepas itu, para tersangka, kata Harli melayangkan gugatan perdata hingga gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan itu dipublikasi seakan kejaksaan menjerat korporasi untuk meminta membayar uang pengganti.
"Jadi secara yuridis dimainkan, kemudian rekayasa sosial dimainkan, dan non yuridis dimainkan," imbuh Harli.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar pun telah menjelaskan hal yang sama. Para tersangka diduga merintangi Kejagung dalam penyidikan kasus timah, impor gula hingga skandal suap kasus korupsi ekspor minyak goreng.
"Terdapat permufakatan jahat yang dilakukan Marcella Santoso, Junaedi Saibih, bersama-sama dengan Tian Bahtiar selaku Direktur Pemberitaan Jak TV untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Pertamina dan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama Tersangka Tom Lembong. Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Selasa (22/4) dini hari.
Abdul Qohar mengatakan Tian Bahtiar menerima uang senilai Rp 478,5 juta. Uang itu diduga agar Jak TV memberikan pemberitaan yang menyudutkan kejaksaan.
Uang itu, kata Abdul, diterima Tian dari pengacara bernama Marcella Santoso dan Junaedi Saibih. Abdul mengatakan Marcella dan Junaedi berusaha menggiring opini publik terkait kasus timah dan impor gula.
Atas hal itu, Tian Bahtiar dkk pun diduga melanggar Pasal 21 UU 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHAP.
Berikut bunyi Pasal 21:
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Sementara itu, bunyi Pasal 55 ayat 1 KUHAP adalah:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(ond/azh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini