Jakarta -
SMA Kemala Taruna Bhayangkara (KTB) memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025 dengan menyoroti peran orang tua dalam membentuk kualitas karakter siswa. Oleh sebab itu SMA KTB memberlakukan wawancara orang tua dalam proses seleksi murid.
"Kami tidak hanya menilai kemampuan akademik siswa, tetapi juga komitmen keluarga terhadap pendidikan karakter. Karena kami percaya anak bukan dibentuk oleh sekolah saja, tetapi oleh ekosistem rumah," ujar Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dedi Prasetyo yang juga Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara, Jumat (2/5/2025).
Dedi menegaskan wawancara orang tua menjadi elemen kunci. Panitia akan menilai apakah orang tua hanya menjadi 'penonton di tribun' atau menjadi mitra sekolah dalam perkembangan anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bukan formalitas. Kami ingin tahu nilai apa yang hidup di rumah? Apakah orang tua siap menjadi mitra sekolah, bukan hanya penonton di tribun?" tegas Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung Semarang ini.
Dedi mengutip hasil riset Edutopia pada 2023, dan Ramagya School pada 2024, soal keterlibatan orang tua secara aktif dalam proses pendidikan, terutama melalui wawancara keluarga, dapat meningkatkan keadilan, pemahaman lintas budaya, dan keberhasilan akademik jangka panjang. Dedi menekankan sekolah bukan tempat penitipan anak, tetapi tempat belajar.
"Sekolah bukan tempat penitipan anak. Pendidikan tidak bisa berjalan satu arah. Karakter tidak diajarkan lewat soal try out. Ia tumbuh lewat teladan sehari-hari," ucap dia.
Di momen Hari Pendidikan Nasional 2025, yang bersamaan dengan munculnya isu pendidikan yaitu kecurangan peserta Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) dengan berbagai modus, Dedi mengajak para orang tua memikirkan kualitas anak-anak mereka ke depan.
"Pendidikan sejati bukan dimulai dari skor ujian semata. Ia tumbuh dari meja makan yang penuh diskusi, dari pelukan yang memberi rasa aman, dan dari keberanian untuk mengakui bahwa gagal itu manusiawi, dan curang itu, tidak boleh. Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh algoritma seleksi perguruan tinggi, ia ditentukan oleh karakter anak-anak yang kita besarkan hari ini, dan siapa yang berani menjadi orang tua sungguhan di zaman yang serba instan ini," pungkas Dedi.
Foto: Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Kader Bangsa Indonesia (YPKBI), Devie Rahmawati.
Sementara itu Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Kader Bangsa Indonesia (YPKBI), Devie Rahmawati, menilai budaya pola asuh atau parenting saat ini adalah bencana. YPKBI adalah yayasan yang bekerja sama dengan Polri dan Yayasan Kemala Bhayangkari untuk mengelola SMA KTB
"Budaya parenting kita hari ini adalah bencana. Peneliti Kay Hymowitz dari Institute for Family Studies menyebut orang tua modern begitu terobsesi pada hasil-ranking, gelar, seleksi masuk PTN, hingga lupa bahwa pendidikan sejati adalah tentang karakter dan kejujuran. Anak-anak didorong untuk menang, bukan untuk benar. Mereka diajarkan cerdas, bukan jujur," kata Devie.
Associate Professor Program Vokasi UI ini berharap Hari Pendidikan Nasional tak sekadar diperingati, melainkan menjadi ruang kontemplasi mendalam terhadap arah moral dan martabat pendidikan kita. Devie menilai masifnya kecurangan dalam UTBK adalah pemandangan memilukan di dunia pendidikan.
"Di tengah sistem pengamanan digital paling mutakhir seperti biometrik, pelacakan lokasi, pengacak soal, namun kecurangan tetap lolos. Dan lebih memilukan banyak dari itu bukan karena kecerdikan siswa, melainkan karena konspirasi diam-diam orang tua. Apa yang sebenarnya sedang kita wariskan kepada generasi muda? Ini bukan sekadar krisis akademik. Ini adalah gempa moral yang mengguncang akar budaya pengasuhan kita," ungkap Devie.
Dia lalu mengutip hasil penelitian dari University of Southern Queensland pada 2023 yang menunjukkan dampak nyata dari pola asuh kecemasan, manipulasi, hingga fleksibilitas etika pada remaja. "Ada korelasi kuat antara gaya pengasuhan permisif dan berkembangnya perilaku tidak jujur di kalangan remaja," tambah Devie.
Penulis buku 'Communication Technology and Society: Exploring The Multicultural and Digital World' ini mengatakan 77 persen orang tua di Amerika Serikat (AS) juga membesarkan anaknya dengan ambisi, kecepatan dan pencitraan. Dia mengutip studi Studi Pew Research Center pada 2024, yakni 77 persen orang tua di AS mengakui mereka membesarkan anak dengan cara yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya.
"Nilai-nilai seperti kerja keras, hormat, dan kejujuran mulai digantikan ambisi, kecepatan, dan pencitraan. Lebih dari 60 % orang tua bahkan menyatakan anak-anak kini tumbuh menjadi lebih tidak jujur, tidak hormat, dan malas dibanding generasi mereka dulu.Tsunami perubahan ini menghantam lintas benua. Dan gelombangnya dimulai dari rumah," jelas Devie.
Devie menjelaskan dalam makalah Dishonesty berjudul From Parents to Children yang dirilis pada 2019 silam, ditemukan anak-anak belajar kebohongan pertama mereka bukan dari media sosial atau teman sebaya, melainkan dari orang tua. "Kita bukan hanya outsourcing waktu kita sebagai orang tua tapi juga outsourcing empati, nilai, dan tanggung jawab. Orang tua hari ini seperti CEO yang menyerahkan fungsi pengasuhan pada aplikasi, guru les, dan konsultan," ," ujar Devie mengutip riset Outsourcing Parenthood? dari Wisconsin School of Business.
(aud/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini