Penjara Khusus Koruptor dan Gimmick Pemberantasan Korupsi

16 hours ago 7

Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto berencana membangun penjara khusus untuk para koruptor di pulau terpencil. Alasannya agar mereka tidak bisa kabur. Kalaupun mencoba, mereka akan berhadapan dengan hiu.

Ide tersebut tidak istimewa. Juga menjadi ironi dengan kebijakannya sendiri yang tengah gencar melakukan efisiensi di segala bidang. Program makan bergizi gratis yang menjadi andalannya saja kekurangan dana, lantas untuk apa membangun penjara yang tidak murah.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan K. Dusak pada 2016 pernah menyebut angka Rp 120 miliar untuk membangun satu penjara khusus yang berbasis teknologi canggih. Ia juga mengungkapkan Lapas Pasir Putih di Nusakambangan yang dikelilingi sungai atau parit dengan buaya di dalamnya pada sekitar tahun 2004, butuh biaya tersendiri untuk menyiapkan ratusan ekor ayam setiap harinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bila satu buaya saja butuh 15 ayam dalam satu hari, lalu berapa biaya yang harus di keluarkan?" ujarnya ketika itu.

Ide Prabowo menjadi tidak istimewa karena Kepala BNN Komjen Budi Waseso (Buwas) saat baru tiga bulan menjabat pernah melontarkan ide serupa. Hanya saja penjara dimaksud khusus untuk jaringan mafia dan bandar narkoba. Gagasan tersebut muncul untuk melengkapi komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerangi para mafia narkoba.

Pada 4 Februari 2015, Presiden menyatakan Indonesia dalam keadaan gawat darurat penyalahgunaan narkoba. Salah satu hal yang sangat membuat geram banyak pihak, peredaran narkoba ilegal selalu berhubungan dengan lembaga pemasyarakatan. Dari balik jeruji beberapa bandar masih dapat mengendalikan bisnis narkoba. Freddy Budiman yang kemudian dieksekusi mati pada 29 Juli 2016, adalah salah satunya.

Kepada BBC, 22 Desember 2015, Buwas menyebut lokasi penjara khusus napi bandar narkoba yang dibidik adalah di dekat Pulau Madura.

Bila wacana tersebut kini digabung dengan ide Prabowo, sebetulnya tak perlu mencari lokasi baru. Sejak era penjajahan Belanda kita sudah punya penjara khusus untuk para narapidana khusus: Pulau Nusakambangan di Cilacap yang kerap disebut juga sebagai Alcatraznya Indonesia.

Selain menjadi tempat pemenjaraan para narapidana kasus-kasus khusus seperti pembunuhan sadis, perampok kakap, narkoba, dan terorisme, narapidana kasus korupsi juga pernah dinusakambangankan. Bukan tokoh kaleng-kaleng, melainkan pengusaha dan Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Bob Hasan. Juga putra bungsu mantan penguasa Orde Baru, Tommy Soeharto.
Menteri Kehakiman dan HAM Prof Baharuddin Lopa mengirim Bob, salah satu konglomerat Lingkaran Cendana, ke sana pada Maret 2001. Alasannya agar dia tak melarikan diri seperti Edy Tanzil yang berhasil membobol LP Cipinang pada 4 Mei 1996 dan raib hingga sekarang.

Lopa juga khawatir Bob yang sudah berusia 70 tahun akan menjadi korban tindak kekerasan oleh narapidana lain bila tetap di Cipinang. Alasan lainnya tentu lebih bersifat politis, yakni membuktikan bahwa siapa pun bisa dibawa ke Nusakambangan. "Juga untuk membuat jera para koruptor," kata Lopa dalam jumpa pers di kantornya, 27 Maret 2001.

Setahun kemudian, 16 Agustus 2002, giliran Tommy yang dijebloskan ke Nusakambangan. Selain sebagai napi korupsi, ia juga divonis dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiudin.

Hal lain yang perlu menjadi renungan, seterisolir dan secanggih apapun sebuah penjara, selalu ada celah untuk diterabas. Semangat hidup bebas kerap kali membuat hal yang tak mungkin justru menjadi tantangan untuk disiasati. Tiga narapidana di Alcatraz, yakni Frank Lee Morris, John William Anglin, dan Clarence Anglin dengan tekun dan cerdik membuktikannya pada 12 Juni 1962. Aksi mereka kemudian difilmkan pada 1979 dengan judul 'Escape from Alcatraz' yang diperankan Clint Eastwood (Frank Morris), Fred Ward (John Anglin), dan Jack Thibeau (Clarence Anglin).

Di Nusakambangan pun demikian. Setidaknya empat narapidana pernah kabur dari sana dalam waktu berbeda-beda. Namun beberapa hari kemudian ada yang kembali tertangkap dan ada yang menyerahkan diri seperti dilakukan Johnny Indo.

Ganti rugi dan Miskinkan

Sejak bertahun lalu para pakar menyebut bahwa mereka yang melakukan korupsi adalah tipikal orang-orang tamak. Selalu merasa kurang dan takut miskin. Karena itu, dengan mengikuti logika mereka seyogyanya hukuman yang harus dijatuhkan adalah memiskinkannya.

Caranya? Jaksa dan hakim harus berani menuntut dan memvonis koruptor untuk membayar ganti rugi kerugian negara melebihi dari nilai yang dikorupsi. Konsepnya pun harus dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Selain itu sudah waktunya menerapkan asas pembuktian terbalik yang sudah bertahun-tahun sekedar menjadi wacana. Begitu juga dengan Perampasan Aset yang rancangan undang-undangnya tak kunjung dibahas.

Alih-alih memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset, pemerintah dan DPR malah justru ngebut merevisi UU TNI yang urgensinya dipertanyakan banyak pihak. Tak cuma ironis, hal itu juga cuma memperkuat sinisme para pakar dan pegiat anti korupsi bahwa komitmen pemberantasan korupsi oleh Prabowo cuma sebatas gimmick. Tak lebih dari omon-omon belaka.

Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Prabowo juga perlu bergandengan tangan dengan lembaga Yudikatif. Diakui atau tidak, sejak awal reformasi lembaga peradilan di tanah nyaris tak tersentuh. Kualitas vonis para hakim di bidang korupsi kerap kali jauh dari rasa keadilan. Kerja keras kepolisian, kejaksaan, dan KPK kerap kali ambyar di pengadilan. Bahkan, cilakanya dalam sejumlah kasus beberapa oknum hakim di tingkat pertama hingga Mahkamah Agung justru terlibat dalam pembusukan penegakan hukum.

Penulis, wartawan detik.com. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili sikap dan kebijakan redaksi.

(jat/fas)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial