Pengamat Nilai SE Larangan Air Botol Kecil Perlu Dikaji Ulang

2 hours ago 2

Jakarta -

Akademisi dan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, I Nyoman Subanda menilai Surat Edaran (SE) Pemprov Bali yang melarang produksi dan distribusi air minum kemasan plastik sekali pakai seperti gelas dan botol plastik ukuran di bawah satu liter perlu dilakukan kajian awal sebelum kebijakan tersebut dibuat. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontroversi di masyarakat yang akhirnya membuat kebijakan itu menjadi tidak efektif saat diterapkan.

"Saya setuju dengan gagasan Gubernur Bali I Wayan Koster untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai di Bali. Cuma permasalahannya, kebijakan itu kan perlu dikaji lebih jauh lagi apakah sampah yang seperti kemasan air minum ukuran kecil itu yang memang benar-benar paling berat atau malah ada sampah plastik lainnya seperti kresek dan sachet," ujarnya," ujar Subanda dalam keterangannya, Senin (21/4/2025).

Menurut Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiknas Denpasar ini, permasalahannya itu perlu dikaji lagi lebih jauh. Karena, menurutnya, dalam membuat sebuah kebijakan itu tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Kemudian, lanjut Subanda, sebuah kebijakan itu bisa terimplementasi secara efektif apabila ada sumber daya dan sumber dana yang mendukung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang lain adalah adanya komunikasi yang didahului dengan komunikasi awal yang kita sebut dengan sosialisasi," tuturnya.

Selain itu, Subanda mengatakan di dalam kebijakan itu juga harus ada semacam kelayakan dan struktur birokrasi yang linier. Artinya, birokrasi provinsi harus juga didukung kabupaten/kota sampai dengan desa.

"Kebijakan provinsi itu tidak akan efektif jika tidak didukung aparat desa atau dusun daerahnya," ucapnya.

Diketahui, SE Gubernur Koster yang meniadakan air minum kemasan di bawah satu liter itu masih memunculkan beban baru bagi masyarakat adat ketika melaksanakan kegiatan adat yang melibatkan warga banjar. Karena, baik dari kegiatan di Pura, Pitra Yadnya atau manusia Yadnya, semua membutuhkan air kemasan plastik sekali pakai ukuran kecil dalam jumlah besar. Karena, keberadaan air kemasan ukuran kecil itu dianggap sangat simple saat menjalankan kegiatan adat di Bali.

"Itu artinya, kebijakan Pemprov masih belum linier dengan masyarakat desa," ungkapnya.

Kemudian, kata Subanda, Pemprov Bali juga harus memiliki sumber dana yang cukup saat menjalankan kebijakannya itu. Tujuannya, sebagai dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh kebijakan tersebut.

Termasuk para pengusahanya, menurut Subanda, harus ada kajian terhadap berapa besar kerugiannya dengan adanya kebijakan itu. Ia mengatakan hal itu penting dinegosiasikan dengan mereka. Bagi pengusaha yang dirugikan penting melakukan negosiasi itu, karena mereka kan bukan hidup untuk dirinya sendiri, tapi juga menghidupi para karyawan.

"Itu kan harus ada kompensasi pemerintah terhadap itu? Jadi, tidak bisa Pemprov itu seenaknya memaksakan kebijakannya itu wajib harus dijalankan dan disetujui. Jadi, harus ada kajiannya dan solusinya bagi pihak-pihak yang dirugikan," kata Subanda.

Begitu juga terhadap kantor-kantor, perhotelan dan restoran-restoran, lanjut Subanda, Pemprov Bali dalam hal ini Gubernur Bali juga harus memikirkan juga solusi dari dampak kebijakan yang dibuat itu. Kalau hanya disediakan beberapa air galon guna ulang saja, menurutnya, itu akan membuat banyak masyarakat yang akhirnya tidak bisa minum.

"Begitui juga dengan gelas-gelas minumnya, apakah Pemprov bisa mengawasi gelas-gelas itu memiliki standar kesehatan yang baik atau bukan. Hal-hal seperti ini juga harus masuk dalam kajian sebelum membuat surat edaran itu," ucapnya.

Selain itu, Subanda mengatakan Pemprov Bali juga harus memikirkan nasib dari ekonomi masyarakat di Bali, terutama yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari berjualan air minum kemasan ukuran kecil itu.

"Mereka-mereka ini pasti akan kehilangan nafkahnya. Nah, apakah Pemprov juga sudah memikirkan jalan keluarnya saat kebijakan itu diterapkan nanti," ujarnya.

Lebih lanjut, Subanda menjelaskan semua dampak-dampak yang disebabkan dari kebijakan yang dilakukan Pemprov Bali ini tidak akan bisa terpecahkan jika tidak dilakukan kajian-kajian terlebih dulu. Menurutnya diskusinya nggak bisa di pemerintah saja karena menyangkut paradigma baru yang disebut New Public Service dalam kebijakan itu.

"Jadi, semua pihak-pihak terkait harus diajak berdiskusi, diajak mikir dan ketika merumuskan kebijakan itu pun harus dilibatkan," tukasnya.

Disisi lain, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika juga menyambut positif kebijakan pengurangan sampah plastik yang dilakukan Pemprov Bali. Tapi, dia juga menyarankan agar Pemprov bersedia untuk merembukkannya kembali jika masih ada mekanisme-mekanisme yang belum pas di masyarakat.

"Mungkin bisa dirembukkan, diatur kembali sehingga sesuai dengan mekanisme yang pas," ujarnya.

Dia juga berharap pembenahan sampah plastik sekali pakai di Bali ini tidak hanya sebatas untuk air minum kemasan saja, tapi juga untuk semua jenis plastik sekali pakai termasuk sampah sachet.

(akd/akd)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial