Jakarta -
Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama Prof. Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi catatan hitam bagi dunia akademik Indonesia. Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan mendalam, tidak hanya karena pelaku merupakan figur akademisi senior, namun juga karena korban berasal dari kalangan mahasiswa yang semestinya mendapat perlindungan dan bimbingan akademik secara etis dan bermartabat.
Kasus ini terungkap ke publik setelah Majalah Tempo edisi 31 Maret–6 April 2025 merilis laporan investigasi berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa Edy Meiyanto diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap setidaknya 15 mahasiswi dari jenjang S-1 hingga S-3. Perbuatan cabul tersebut terjadi sejak 2022 di berbagai tempat, seperti rumah pelaku di Minomartani, Sleman, kampus, hingga tempat penelitian.
Modus yang digunakan pelaku terbilang manipulatif: mengajak korban melakukan bimbingan di luar kampus, melakukan kontak fisik secara tidak pantas dengan dalih pemeriksaan tensi darah, hingga permintaan untuk mengirimkan foto pribadi dan menghubungi pelaku di luar jam kuliah. Bahkan, beberapa korban mengaku dipaksa datang ke rumah pelaku dan mengalami pelecehan seperti dielus pipinya, dipijat tangannya, hingga dicium.
Terkait temuan ini, UGM telah mengambil langkah administratif dengan membebastugaskan Edy Meiyanto sejak pertengahan 2024, dan memutuskan pemecatan sebagai dosen. Rektor UGM menegaskan bahwa pelaku melanggar Pasal 3 Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta kode etik dosen. Laporan hasil pemeriksaan telah disampaikan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memproses pelanggaran disiplin ASN.
Sanksi Administratif Tak Cukup
Namun, sanksi administratif tidak cukup untuk memberikan keadilan. Kasus ini layak diproses secara hukum pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan Edy Meiyanto mengandung unsur pelanggaran terhadap; pertama, Pasal 289 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan, diancam pidana penjara hingga 9 tahun.Kedua, Pasal 281 KUHP: Mengenai perbuatan cabul yang dilakukan secara melawan hukum di hadapan umum atau terhadap orang lain. Ketiga, Pasal 6 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): Menegaskan bahwa kekerasan seksual, baik fisik maupun nonfisik, merupakan tindakan pidana.
Sanksi pidana berdasarkan UU TPKS sangat tegas. Pasal 14 UU TPKS menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual dapat dipidana maksimal 12 tahun penjara, bahkan lebih jika melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau terjadi berulang kali terhadap beberapa korban. Dengan total 15 korban dan 33 kejadian yang dilaporkan ke Satgas PPKS, maka pelaku bisa dikenai pidana kumulatif dengan pemberatan hukuman.
Meski begitu, sejumlah korban memilih untuk tidak menempuh jalur pidana karena berbagai alasan. Mereka merasa proses hukum di kepolisian terlalu rumit, menguras tenaga, dan berpotensi menimbulkan trauma baru. Mayoritas korban masih ingin menyelesaikan studi mereka tanpa harus menghadapi tekanan psikologis tambahan.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia masih belum ramah terhadap korban kekerasan seksual.
Prosedur yang berbelit, proses penyelidikan yang lambat, hingga minimnya perlindungan terhadap korban membuat para penyintas merasa enggan melapor. Negara seharusnya hadir dalam memastikan bahwa setiap korban memperoleh keadilan tanpa harus menanggung beban tambahan.
Langkah Hukum Lebih Tegas
Di sisi lain, keberanian UGM dalam memecat pelaku patut diapresiasi. Namun demikian, tindakan tersebut harus segera diikuti dengan langkah hukum yang lebih tegas dari aparat penegak hukum. Tidak cukup hanya mencopot pelaku dari jabatan dosen dan ASN, sebab muncul laporan bahwa Edy Meiyanto sedang berupaya untuk mengajar di kampus lain. Ini merupakan ancaman baru yang nyata dan harus dicegah dengan segera.
Dalam konteks kepegawaian, pencopotan status ASN mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 6 Tahun 2022 serta Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pelecehan seksual tergolong pelanggaran berat dan sanksinya bisa berupa pemberhentian tidak dengan hormat.
Kementerian melalui surat tertanggal 13 Maret 2025 telah menugaskan UGM untuk membentuk tim pemeriksa dan kini proses pencopotan status ASN pelaku dikabarkan sudah memasuki tahap akhir. Keputusan ini dinantikan oleh para korban dan masyarakat luas sebagai bukti konkret bahwa negara berpihak kepada korban, bukan melindungi pelaku.
Dalam pernyataannya kepada Tempo, korban menyampaikan rasa lega atas pemecatan pelaku dan menegaskan bahwa dukungan publik telah menjadi sumber kekuatan mereka. Beberapa alumni bahkan menyuarakan solidaritasnya melalui media sosial.
Penyelidikan Secara Proaktif
Meski para korban menolak jalur pidana, bukan berarti aparat penegak hukum tidak dapat bertindak. Dengan adanya laporan resmi dari Satgas PPKS, aparat kepolisian dapat menggunakan kewenangannya untuk memulai penyelidikan secara proaktif. Hal ini sesuai dengan asas inquisitorial dalam hukum pidana, di mana aparat hukum dapat bertindak berdasarkan informasi awal, tanpa harus menunggu aduan dari korban.
Selain itu, penting bagi pemerintah dan kampus untuk memperkuat sistem pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Pendampingan psikologis, bantuan hukum gratis, dan perlindungan saksi harus dijamin dalam setiap tahapan. UU TPKS sudah menyediakan kerangka hukum yang lengkap, tinggal bagaimana implementasi di lapangan dilakukan dengan serius.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi dunia akademik, bahwa relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa harus diawasi secara ketat. Tidak boleh ada pembiaran, apalagi pembungkaman, terhadap kekerasan seksual yang terjadi dalam konteks pendidikan. Institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang aman, bukan sebaliknya.
Penanganan kasus Edy Meiyanto akan menjadi indikator sejauh mana Indonesia serius dalam memberantas kekerasan seksual. Jika penegakan hukum hanya berhenti di ranah administrasi, maka pesan yang diterima publik adalah: pelaku kekerasan seksual masih bisa lolos dari jerat pidana dan kembali menyasar korban baru. Maka dari itu, upaya penegakan hukum pidana harus segera dijalankan, demi keadilan bagi korban dan pencegahan terhadap kasus serupa di masa depan.
Afrida Sri Windarti pemerhati hukum pidana
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini