Jakarta -
Perebutan ruang kembali menjadi persoalan yang mengemuka pasca 'ditemukannya' pagar laut yang membentang sepanjang 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang. Pembangunan pagar laut dilakukan sejak Agustus 2024, tanpa izin resmi dan melanggar regulasi tata ruang Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Realitas ini tentu sangat miris, di tengah berbagai proyek pembangunan yang terus menguat, persoalan-persoalan ini menambah daftar panjang permasalahan tata kelola ruang di Indonesia. Alih-alih membawa manfaat bagi masyarakat luas, banyak dari proyek tersebut justru menjadi instrumen perampasan ruang yang berujung pada ketidakadilan sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Sebagaimana perdebatan yang terus bergulir di ruang publik bahwa keberadaan pagar laut ini menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama bagi komunitas nelayan setempat. Akses nelayan ke area penangkapan ikan menjadi terhambat, mengakibatkan penurunan hasil tangkapan dan kerugian ekonomi yang signifikan. Kehadiran pagar laut bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengindikasikan adanya struktur awal untuk proyek reklamasi yang akan berdampak signifikan terhadap lingkungan, termasuk hilangnya ekosistem pesisir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut tersebut pada 9 Januari 2025. Penyegelan dilakukan karena pagar tersebut dibangun tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan tata ruang laut. KKP memberikan waktu 20 hari kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar pagar secara sukarela (CNBC, 2025)
Konflik Ekonomi Politik Ruang
Fenomena ini refleksi nyata dari konflik ekonomi politik ruang yang melibatkan berbagai aktor, mulai dari korporasi, pemerintah, hingga masyarakat lokal. Konflik ini tidak hanya mencerminkan ketegangan antar kepentingan, tetapi juga mengungkap ketidakadilan struktural yang terakumulasi dalam tata kelola ruang di Indonesia.
Lefebvre dalam The Production of Space (1991) telah mengelaborasi secara kritis bahwa ruang bukan hanya wadah fisik, melainkan produk sosial yang dibentuk oleh interaksi kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Kontestasi terhadap ruang berakar dari perebutan wacana, makna dan dinamika sosial yang berkaitan dengan produksi dan eksistensi ruang.
Apa yang disampaikan Kholid di dalam diskusi Catatan Demokrasi di TV One (14/1) menunjukkan bahwa wacana terhadap laut bukan sekadar ekosistem alam namun sebagai "rumah dan dapur" bagi kehidupan sosial ekonomi seluruh nelayan sehingga tidak bisa diakuisisi oleh kepentingan korporasi atau privatisasi. Logika ini sejalan dengan terkaan Walhi bahwa pagar laut sebagai proyek reklamasi yang mengarahkan pada representasi dominated space, di mana kekuasaan ekonomi mengalahkan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat pesisir sekaligus perampasan ruang ekologis.
Pagar laut dapat dipahami sebagai simbol hegemoni kekuasaan terhadap ruang publik, memisahkan ruang yang seharusnya menjadi milik bersama (commons) menjadi ruang yang dikuasai. Ruang laut direduksi menjadi komoditas atau alat kontrol yang melayani kepentingan elit atau kapital (Lefebvre, 1991). Hal ini senada dengan kritik terhadap neoliberalisme, di mana Harvey (2009) menjelaskan bahwa kapitalisme modern sering mengandalkan proses accumulation by dispossession; ruang publik dirampas dan diubah menjadi aset privat untuk kepentingan korporasi.
Konteks hadirnya pagar laut menunjukkan bahwa laut direproduksi sebagai instrumen akumulasi kapital korporasi. Jika ditarik secara luas, situasi konflik ruang ini sejatinya menjadi gejala 'umum' sejak pemerintah Jokowi yang menggelorakan proyek strategis nasional (PSN).
Gejala seperti perampasan ruang, eksklusi sosial, dan kerusakan lingkungan telah menjadi isu yang berulang. PSN yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur guna mendukung pertumbuhan ekonomi, sering membawa dampak sosial dan lingkungan yang tidak terantisipasi dengan baik, khususnya dalam konteks perebutan ruang.
Pembangunan infrastruktur seperti reklamasi, jalan tol, kawasan industri, perkebunan, proyek tambang, dan bandara udara sering mengorbankan ruang-ruang publik lain seperti termasuk pesisir, hutan, tanah adat dan ruang hijau. PSN sering mengabaikan keadilan spasial, dengan menciptakan ruang-ruang eksklusif yang hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu mengabaikan masyarakat setempat.
Negara, sebagai regulator atas nama pembangunan berkolusi dengan korporasi menciptakan structural injustice yang mengabaikan hak-hak kelompok rentan. Fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kepentingan pembangunan nasional dengan hak-hak masyarakat lokal atas ruang yang mereka diami dan manfaatkan.
Keadilan Ruang
Kasus hadirnya pagar laut menciptakan eksklusi sosial dengan menghapus akses masyarakat lokal terhadap ruang publik yang vital bagi penghidupan mereka. Pembangunan pagar laut tanpa izin resmi mengungkap ketimpangan kuasa antara aktor ekonomi (korporasi) dan masyarakat lokal sehingga menimbulkan ketidakadilan
ruang (spatial injustice).
Persoalan hadirnya pagar laut bukan sekadar fenomena fisik, melainkan representasi konflik ekonomi politik ruang yang melibatkan ketimpangan kuasa, eksklusi sosial, dan ketidakadilan struktural. Menyelesaikan persoalan ini membutuhkan langkah-langkah strategis berbasis keadilan ruang yang mencakup redistribusi hak, penegakan hukum, dan partisipasi masyarakat lokal.
Edward Soja dalam Seeking Spatial Justice (2010) menekankan pentingnya keadilan spasial dalam pembangunan. Melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan pembangunan untuk memastikan proyek yang dirancang selaras dengan kebutuhan mereka. Setiap proyek besar harus melalui kajian komprehensif untuk meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat.
Keadilan ruang bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga tentang redistribusi manfaat dan pengakuan terhadap keberagaman kebutuhan ruang. Dengan mengintegrasikan prinsip ini, konflik seperti pagar laut dapat dikelola secara lebih inklusif dan berkeadilan. Di dalam mengurai persoalan ini, perlu sebuah terobosan di dalam membangun wacana politik ruang. Reformasi tata ruang tidak sekedar pembaruan regulasi dan prosedural lainnya yang sifatnya hanya teknis-administratif.
Dalam kasus ini, meminjam pisau analisis Lefebvre (1991) yang menempatkan ruang adalah produksi dialektika politik, maka pemerintah selaku regulator dan aktor utama dalam kebijakan politik ruang, harus menempatkan bahwa laut adalah ruang yang dihidupi (lived space) melalui wacana dan aktualisasi kehidupan sosial para nelayan.
Aktivitas kehidupan sosial mereka berkorelasi terhadap ekosistem laut sehingga membentuk keterikatan dan identitas terhadap ruang (perceived space). Sehingga penting kemudian untuk membangun konsep bersama, penataan terhadap ruang yang deliberatif yang melibatkan nelayan sebagai conceived space mencakup hak masyarakat untuk mengakses dan mengelola ruang yang mereka huni, termasuk akses terhadap laut dan sumber daya pesisir.
Nelayan harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan produksi ruang sejak awal. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan akan membantu mengurangi ketimpangan kekuasaan antara korporasi dan warga pesisir. Perlu adanya redistribusi kekuasaan dalam produksi ruang secara nyata. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong adanya kebijakan yang mendukung kontrol kolektif terhadap ruang publik dan sumber daya alam.
Galang Geraldy, S.IP, M.IP dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair Konsentrasi Politik Tata Ruang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu