Jakarta -
Pada Senin (3/2) di Monumen Nasional Jakarta, ratusan dosen berstatus aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) yang mendeklarasikan diri sebagai Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek (ADAKSI) melakukan unjuk rasa meminta pencairan tunjangan kinerja atau akrab disingkat tukin. Aksi ini menyusul pemberian sejumlah karangan bunga yang dikirimkan ke kantor Kemdiktisaintek awal Januari 2025.
Rentetan aksi dari dosen ASN Kemdiktisaintek tersebut merupakan sebuah sejarah aksi besar perhimpunan dosen mengingat sangat jarang dosen ASN berkumpul di jalan untuk menyuarakan keresahan terkait kesejahteraan mereka. Meskipun ada hambatan seperti "peringatan" untuk menghindari unjuk rasa, mengapa pada akhirnya dosen ASN Kemdiktisaintek bisa bergerak?
Terbentur Undang-Undang
Berbeda dengan pegawai pada umumnya, ASN belum memiliki perhimpunan formal seperti serikat buruh yang dapat diandalkan untuk membela kepentingan ASN. Seringkali, ASN terbentur oleh Undang-undang (UU) Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh yang salah satu pasalnya mengatakan seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.
Bergabungnya secara otomatis ASN dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang diatur UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dianggap menyalahi UU tersebut. Namun, KORPRI tidak secara definitif, baik tertulis maupun lisan, mendeklarasikan sebagai serikat buruh, melainkan perkumpulan profesi. ASN hanya ditegaskan untuk tidak bergabung atau terlibat dalam urusan partai politik, bukan membela kesejahteraan ASN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktiknya, KORPRI belum memberikan dukungan terhadap kesejahteraan dosen ASN Kemdiktisaintek sebagai perhimpunan profesi. Ketiadaan badan pelindung ini mendorong dosen ASN untuk berkumpul dalam wadah ADAKSI, terlepas dari adanya pendapat mengenai larangan ASN berserikat. Selain ketiadaan institusi yang khusus membela mereka, munculnya keyakinan bersama (generalized belief) di antara dosen-dosen ASN Kemdiktisaintek memicu mereka untuk bersatu menjadi sebuah gerakan sosial.
Keyakinan bersama maksudnya adalah kesamaan cara pandang melihat suatu masalah serta solusinya. Dalam kasus gerakan dosen ASN ini, mereka sepakat melihat kesejahteraan sebagai dosen ASN Kemdiktisaintek kurang dan belum diimplementasikannya tukin adalah jalan keluarnya.
Keberadaan tokoh-tokoh sentral seperti Fatimah dan Anggun Gunawan, fakta hanya dosen ASN Kemdiktisaintek yang tidak memperoleh tukin, serta munculnya cerita kesusahan berbagai dosen ASN di media sosial memperkuat berkembangnya keyakinan bersama untuk menghentikan persoalan kesejahteraan dosen ASN.
Negara Lepas Tangan
Belum adanya institusi formal pembela ASN serta keyakinan bersama bukanlah akar masalah mengapa dosen ASN Kemdiktisaintek sampai bergerak, melainkan pelepasan tanggung jawab pemerintah ke masing-masing perguruan tinggi (PTN) melalui salah satunya kebijakan klusterisasi PTN. Klusterisasi meliputi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH), PTN Badan Layanan Umum (PTN-BLU), hingga jenis PTN yang masih ditanggung penuh negara yakni PTN Satuan Kerja (PTN Satker).
Awal dari kategorisasi tersebut sebenarnya mendukung agar PTN dapat semakin lincah dalam melaksanakan pengembangan institusi. Namun, pada kenyataannya, negara justru semakin lepas tangan dalam pengelolaan PTN-BH dan PTN-BLU. Dianggap telah mandiri, negara membebankan keberlangsungan tata kelola pegawai kepada masing-masing PTN-BH dan PTN-BLU. Untuk kesejahteraan, kedua jenis PTN ini memberikan remunerasi yang bersumber dari pemasukan PTN, bukan tunjangan kinerja yang bersumber dari negara.
Lambat laun, dosen ASN Kemdiktisaintek diklaim telah memperoleh tunjangan, padahal tunjangan yang dimaksud adalah remunerasi. Efek lanjutan dari lepas tanggung jawabnya pemerintah ialah PTN "terpaksa" memaksimalkan jumlah pemasukan dengan cara apapun, salah satunya uang kuliah tunggal (UKT).
Menunjukkan Keberpihakan
Wajar jika pemerintah sedikit mencemaskan gerakan dosen ASN Kemdiktisaintek, apalagi muncul di media sosial yang mengangkat isu tukin dosen sebagai kegagalan pemerintah. Namun pemerintah seyogianya tidak perlu cemas mengingat isu ini tersegmentasi pada dosen ASN Kemdiktisaintek. Berbeda dengan permasalahan ketersediaan gas 3 kilogram yang cakupannya jauh lebih luas.
Dengan mengeluarkan keputusan presiden untuk membayarkan tukin tertunggak secara bertahap serta tukin tahun anggaran 2025 kepada seluruh dosen ASN Kemdiktisaintek tanpa melihat asal PTN, pemerintah dapat mengurangi beban politik. Justru, dengan mendukung tuntutan dosen ASN Kemdiktisaintek, pemerintah saat ini dapat menunjukkan keberpihakan pada dosen dibanding pemerintahan sebelumnya yang menginisiasi berhentinya pemberian tukin kepada dosen ASN Kemdiktisaintek.
Yohanes Ivan Adi Kristianto, S.I.P, M.A dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu