Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk mendengar jawaban termohon dan pihak terkait dalam sengketa hasil Pilkada Tolikara. Hakim MK Arief Hidayat pun melontarkan candaan dalam sidang itu.
Momen itu terjadi ketika pihak Bawaslu Kabupaten Tolikara, Busiri Payokwa, memberi jawaban atas gugatan perkara 297/PHPU.BUP-XXIII/2025 dengan pemohon Cabup-Cawabup Tolikara nomor urut 2 Nus Weya dan Yan Wenda. Candaan itu dilontarkan ketika Arief mempersilakan rekan Busiri yang terlambat untuk masuk ke ruang sidang.
"Perkenankan kami menyampaikan resume nomor perkara 297 yang dimohonkan paslon cabup dan cawabup dalam pemilihan bupati/wabup di Kabupaten Tolikara tahun 2024, Bahwa pemohon mendalilkan perolehan suara paslon yang ditetapkan termohon dan rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti, terhadap dalil berikut keterangan Bawaslu," ucap Busiri yang kemudian dipotong Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (24/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebentar-sebentar, itu ada temannya dari Tolikara belum masuk ya? Terlambat?" tanya hakim Arief yang kemudian dibenarkan Busiri.
Arief mempersilakan rekan Busiri untuk bergabung ke ruang sidang. Dia kemudian berkelakar bahwa MK banyak hantunya.
"Ini sendirian takut dia, padahal temannya banyak, takut. Apalagi kalau sendirian di MK sudah gelap, oh di sini lebih banyak hantunya daripada orangnya," kelakar hakim Arief.
Sidang kemudian dilanjutkan, Busiri membacakan sejumlah temuan Bawaslu mengenai dugaan pelanggaran administrasi dalam perolehan suara di Distrik Gilubandu dan Distrik Telenggeme. Namun, Arief memotong Busiri karena menganggap penjelasan Busiri terlalu normatif.
Hakim Arief memberikan sejumlah pertanyaan ke Busiri. Arief ingin memastikan sikap Bawaslu Tolikara sama dengan KPU Tolikara.
"Pada waktu rekapitulasi tingkat Kabupaten Tolikara ada mendekati batas waktu akhir, ada ketidaksepakatan enam distrik? Enam distrik itu mulai dari Aweku, Dugi, Airgaram, dan Yuneri serta Nunggawi?" tanya Arief dan diamini Busiri.
Busiri mengatakan saat itu diupayakan adanya kesepakatan. Namun, kesepakatan itu tidak terjadi hingga batas waktu penetapan suara.
"Terus habis itu gimana setelah tidak terjadi kesepakatan? Akhirnya disepakati apa gimana?" tanya Arief.
"Tidak terjadi kesepakatan. Karena pukul berapa, batas waktu nggak ada kesepakatan, akhirnya KPU menetapkan suara yang telah ada," jawab Busiri.
"Suara yang telah ada itu sebagaimana yang ditetapkan bahwa suara enam distrik nggak sah?" kata Arief dan diamini lagi oleh Busiri.
Arief kemudian membacakan ringkasan pernyataan KPU. Arief mengatakan menurut KPU aneh apabila suara enam distrik itu disahkan.
"Karena kalau itu ditambahkan menurut KPU menjadi aneh karena melebihi DPT di Tolikara ya? Misalnya nomor urut 1 memperoleh 41.432 ditambahkan 6 distrik 37.233 dan seterusnya. Empat paslon itu kalau dijumlahkan menjadi suaranya terkumpul 279.482, kalau sejumlah 279.482 itu maka ini melebihi DPT di Tolikara, DPT Tolikara berapa?" kata hakim Arief.
"DPT Tolikara berjumlah 232.706," ujar Busiri.
Menurut Arief, total suara 279 ribu itu aneh. Sebab, DPT Tolikara hanya berjumlah 232 orang. Dia pun berkelakar jika total suara 279 ribu maka yang menyoblos di Tolikara tidak hanya manusia, tapi hewan juga.
"Nah iya maka dari itu kalau enam distrik itu ditambahkan maka suara sahnya menjadi 279.482 kalau sejumlah itu berarti melebihi DPT, karena melebihi DPT yang nyoblos tidak hanya orang, babi, kambing ikut nyoblos. Oleh karena itu yang enam ini tidak bisa ditambahkan supaya tak melebihi DPT. Gimana menurut Bawaslu?" ucap Arief.
Busiri mengungkapkan data perolehan suara rinci. Data yang disampaikannya itu sama dengan data dari KPU Tolikara.
"Hasil perolehan suara cabup/cawabup pada 46 distrik Tolikara berdasarkan d-hasil nomor urut satu 41.432, nomor dua 42.191, nomor tiga 45.136, nomor empat 61.925, total suara sah 190.684 suara, suara tidak sah 42.052 suara, total jumlah DPT 232.706 suara," ungkap Busiri.
"Betul, sama kan sama pihak termohon?" tanya Arief.
"Iya, yang enam distrik dinyatakan hangus," jawab Busiri.
"Lah, iya tidak sah, berarti sama ya antara pihak terkait dan Bawaslu, tapi istilahnya di sini tidak sah. Kalau Anda mengatakan suara enam distrik dianggap hangus," kata Arief menegaskan.
(zap/haf)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu