Jakarta -
Deforestasi kembali menjadi sorotan, bukan karena praktik ilegal pembukaan lahan yang kerap merusak lingkungan, tetapi karena adanya rencana deforestasi terencana. Biasanya, perhatian publik tertuju pada bencana ekologi akibat aktivitas ilegal. Namun kini, rencana yang dianggap "legal" ini berisiko mengancam upaya mitigasi perubahan iklim yang tengah gencar dilakukan.
Indonesia telah masuk daftar negara dengan deforestasi tertinggi di urutan keempat setelah Kanada, Rusia, dan Brasil menurut Global Forest Watch (GFW) pada 2023. Rilis KLHK menyebutkan bahwa laju deforestasi antara 2022 dan 2023 hanya sebesar 0,13 juta hektar per tahun. Namun, terdapat perbedaan data dengan pihak pemerhati hutan lainnya. Bila melansir GFW sejak 2001-2023 Indonesia telah kehilangan 30.8 Mha tutupan pohon (setara 19% tutupan sejak 2000) dengan estimasi melepas 22.2 Gt emisi CO2e.
Menurut Auriga Nusantara pada 2023 angka deforestasi Indonesia mencapai 257.384 hektar yang dominan terjadi di kawasan hutan negara. Angka ini meningkat dari 2022 yang mencapai 230.760 hektar. Berbeda pula bila merujuk Forest Watch Indonesia (FWI) yang melansir data Forest Lost Hanse (University of Maryland) pada 2018-2020 yang memperlihatkan laju rata-rata deforestasi Indonesia mencapai 227 ribu ha/tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun terjadi perbedaan data namun angka yang jauh lebih besar ini harus menjadi perhatian bersama untuk menangani deforestasi. Lepasnya hutan sama dengan melepas penyerap karbon alami. Hutan semestinya harus dilindungi terlebih Indonesia memiliki memiliki kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Proaktif dengan melindungi hutan yang menyerap karbon secara alami perlu dilakukan. Namun, bagaimana mungkin Indonesia bisa mencapai target net zero emission jika hutan justru ditebang? Dan, apakah sah untuk mengambil keuntungan dari trade-off negatif antara pembangunan dan deforestasi?
Ekosistem sebagai Penyerap Emisi Tertinggi
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem yang turut berkontribusi untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan 74 tipe ekosistem baik di laut dan darat. Ekosistem laut Indonesia sangat besar, di pesisir terdapat 1,78 juta hektar padang lamun, 16% terumbu karang dunia (setara 2,5 juta hektar) sebagai rumah untuk lebih dari 75% spesies fauna terumbu karang dunia. Hutan gambut mencapai 13,4 juta hektar dan hutan bakau 3,36 juta hektar menjadi yang terbesar dan terluas di Asia Tenggara dan bahkan dunia.
Indonesia telah meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD) yang penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Ratifikasi ini berkontribusi pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui perlindungan serta penjagaan ekosistem. Salah satu pendekatannya yaitu melalui penyerapan CO2 secara alami di alam. Ekosistem seperti hutan, lahan basah dan padang rumput memiliki fungsi untuk menyerap karbon yang besar sehingga perlindungan hutan dan restorasi berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Alih-alih mempertahankan kemampuan hutan untuk menyerap emisi, deforestasi yang terjadi justru dapat melepaskan hingga 200 ton merkuri (sekitar 10 persen dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfer), menurut Study: Global deforestation leads to more mercury pollution yang dirilis oleh MIT News. Kondisi ini sangat berbahaya karena merkuri dapat masuk ke dalam rantai makanan melalui biomagnifikasi pada hewan tangkapan di kawasan perairan. Padahal, hutan memiliki peran penting sebagai penyerap merkuri, selain sebagai penyerap karbon.
Masih Selaraskah Deforestasi dengan Pembangunan Nasional?
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, perubahan iklim diakui sebagai salah satu megatren global. Hal ini memang perlu menjadi perhatian mengingat perubahan iklim, bencana ekologis, dan kehilangan keanekaragaman hayati (the triple planetary crisis) sudah tidak dapat dihindari lagi. Paradigma pembangunan lama seperti business-as-usual (BaU) sangat mungkin untuk ditinggalkan berganti pada praktik berkelanjutan.
Ekonomi rendah emisi dan praktik pembangunan berkelanjutan adalah kebutuhan mendesak. Tuntutan ekonomi yang lebih rendah emisi menjadi penting utamanya di sektor energi, industri dan sektor-sektor lain yang menghasilkan limbah. Sayangnya, jika deforestasi terencana ini dilaksanakan akan merusak upaya untuk mengalihkan paradigma pembangunan menuju praktik berkelanjutan.
Jika praktik-praktik BaU dalam pembukaan lahan terus berlanjut berbalut model pembangunan ekstraktif akan mencederai tujuan adaptasi mitigasi perubahan iklim Indonesia. Konflik kepentingan antara pembangunan dan deforestasi memang kompleks, namun jika kita tetap berfokus pada isu perubahan iklim, maka kita dapat menghindari trade-off negatif dari pembangunan pada lingkungan. Kita tidak mungkin mengorbankan hutan yang proaktif melindungi kita terhadap ancaman perubahan iklim untuk keuntungan jangka pendek.
Jika Indonesia tetap melanjutkan deforestasi untuk mendukung sektor energi dan pangan, maka National Adaptation Plan (NAP) justru akan mengalami kemunduran dengan berkurangnya ketahanan ekosistem. Potensi penyerap karbon alami terbesar, yakni hutan, akan terancam musnah demi ambisi jangka pendek.
Kita perlu mengakui bahwa pembangunan membutuhkan lahan yang bisa diperoleh melalui deforestasi terencana secara berjangka. Alokasi lahan tersebut harus tepat dan dikelola oleh negara, tanpa dilepaskan secara tidak terencana kepada pihak lain untuk keperluan komersial.
Kita juga harus mempertahankan penurunan angka deforestasi yang telah turun menjadi kurang dari 120.000 hektar sejak 2019 secara netto. Dengan munculnya rencana deforestasi ini akan membawa lebih banyak kerugian pada adaptasi mitigasi perubahan iklim.
Pengorbanan hutan untuk kepentingan ekonomi seharusnya tidak dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Deforestasi hanya akan menjadi penghalang bagi komitmen iklim yang lebih luas dan merusak ekosistem yang kita perlukan untuk bertahan dalam menghadapi krisis iklim yang semakin parah.
Muhamad Ferdy Firmansyah Master Student in Environmental Science, Wageningen University & Research, Belanda
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu