Jakarta -
Pemerintah mewacanakan akan memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana yang menempati lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia. Sebagian besar dari 44 ribu penghuni lapas tersebut adalah narapidana kasus narkoba. Tulisan ini akan membahas dampak baik dan buruk rencana amnesti tersebut, terutama berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan narkoba.
Pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung Visi "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045". Visi tersebut diwujudkan dengan 8 misi yang disebut Astacita, yang dijabarkan dalam 17 Program Prioritas. Pencegahan dan pemberantasan narkoba menjadi salah satu dari 17 Program Prioritas Pemerintah, sebagai penjabaran dari Astacita Nomor 7, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Persoalan Genting
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah persoalan genting yang memerlukan solusi yang komprehensif. Jumlah pengguna narkoba pada 2023 mencapai 3.337.911 penduduk usia 15-64 tahun di seluruh Indonesia (Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN, 2024). Angka prevalensi narkoba yang tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa drugs abuse merupakan persoalan serius. Masalah tersebut berkelindan dengan kesenjangan ekonomi, korupsi, dan kriminalitas.
Seluruh lapas di Indonesia sudah melebihi daya tampung hingga mencapai dua kali lipat. Pada 2023 total penghuni lapas adalah 267.672 orang, sementara kapasitasnya hanya 137.031 orang. Terdapat kelebihan kapasitas sebesar 95,34 persen. Proporsi terbesar penghuni lapas adalah narapidana kasus narkoba. Beban anggaran pemerintah sangat besar, terutama untuk biaya makan warga binaan, sarana dan prasarana, serta menggaji para petugas lapas.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa dalam KUHP yang baru, pengguna narkoba tidak lagi dipidana, tetapi direhabilitasi. Menurut Yusril pengguna nakotika dikategorikan sebagai korban, sehingga perlu tetap dibina oleh negara. Cara ini diharapkan dapat mengurangi permasalahan jumlah warga binaan di lapas yang sudah melebihi kapasitas.
Pengampunan terhadap penghuni lapas kasus narkoba bisa berdampak baik dan buruk. Mungkin baik bagi pemerintah, karena dapat mengurangi beban anggaran. Banyak keluarga yang senang bisa berkumpul kembali dengan anggota keluarganya. Tapi, boleh jadi ini merupakan "angin segar" bagi pelaku bisnis narkoba di Tanah Air dan mancanegara. Tanpa dibarengi upaya preventif yang serius terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka pelaku bisnis narkoba akan melihat ini sebagai peluang pasar yang sangat menguntungkan.
Ketika pemerintah memberikan pengampunan terhadap kurang lebih 44.000 warga binaan lapas, maka akan ada sekitar 44.000 orang yang kembali ke masyarakat. Mereka sebagian besar adalah pengguna narkoba. Sementara pusat rehabilitasi untuk pecandu narkoba di Indonesia sangat terbatas. Balai Besar Rehabilitasi yang dimiliki oleh BNN yang berlokasi di Lido, Kabupaten Bogor, hanya memiliki kapasitas 500 orang. Sangat tidak sebanding dengan jumlah warga binaan yang akan dilepas.
Apalagi kalau tidak selektif dalam mengembalikan warga binaan ke tengah-tengah masyarakat, sangat mungkin ada di antara mereka merupakan pengedar narkoba. Pengalaman sebagai bandar atau pengedar narkoba akan membuat mereka semakin licin dalam menjalankan aksinya. Aparat penegak hukum harus lebih hebat dari mereka, terutama dalam mengantisipasi masuknya narkoba dari luar negeri. Karena dari sanalah pada umumnya persoalan tersebut bermula.
Favorit Para Sindikat
Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia. Jumlah pulau sekitar 17.504, panjang garis pantai Nusantara mencapai 81.290 km lebih menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Kanada. Kondisi geografis Indonesia yang mayoritas berupa lautan menjadi jalur favorit bagi para sindikat untuk menyelundupkan narkoba dari luar negeri. Menurut BNN lebih 80 persen penyelundupan narkotika di Indonesia melewati jalur laut.
Di Asia Tenggara ada tiga jaringan narkoba. Pertama, The Golden Triangle (Segitiga Emas) yang meliputi Thailand, Myanmar, dan Laos. Kedua, dikenal dengan The Golden Crescent yang meliputi Afganistan, Pakistan, dan Iran. Ketiga, jaringan The Golden Peacock yang berasa dari Amerika Latin.
Sepuluh provinsi tertinggi penyalahguna narkoba adalah Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Kemudian disusul oleh Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Selanjutnya, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Riau. Sejalan dengan data itu, persebaran kawasan narkotika juga terbanyak di provinsi-provinsi tersebut, yaitu Jatim (1.146 kawasan), Sumut (1.134 kawasan), Lampung (874 kawasan) Jateng (745 kawasan) dan Sumsel (714 kawasan).
Tanggung Jawab Bersama
Meleburnya warga binaan lapas kasus narkoba di tengah-tengah masyarakat akan mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat. Setidaknya menjadi beban bagi keluarga yang memiliki sanak saudara pemakai narkoba. Membiayai program rehabilitasi mungkin akan menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Bagi pecandu narkoba yang keluarganya yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengikutkan mereka dalam program rehabilitasi, eksesnya bisa sangat serius. Di tengah-tengah himpitan ekonomi yang berat, tanpa pekerjaan dan penghasilan akan mudah menjerumuskan mereka dalam praktik ilegal peredaran narkoba dan tindak kriminalitas lainnya.
Sementara bagi keluarga yang beruntung yang tidak memiliki pemakai narkoba, mengawal mereka untuk tetap bersih narkoba akan menjadi tantangan yang berat. Terutama karena ada peluang bergaul dengan mereka yang merupakan pecandu narkoba. Menurut teori ekologi Bronfenbrenner, keadaan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan individu. Teori ini menggambarkan bahwa individu berada dalam berbagai lingkungan yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama agar setiap komponen dalam masyarakat menjaga lingkungan mereka bersih narkoba (bersinar). Kepala Desa, Lurah dan perangkatnya berkewajiban menjaga desa dan kelurahan bersinar. Kepala Sekolah dan Pimpinan Perguruan Tinggi harus memiliki komitmen menjaga lingkungan sekolah dan universitas tetap bersinar. Pimpinan perusahaan, kantor, dan lembaga lainnya wajib menjaga lingkungan kerja selalu bersinar.
Sutarto Hadi Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat, Ketua Umum Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena)
(mmu/mmu)