Mengurai Kerumitan Tarif PPN

4 weeks ago 27

Jakarta -

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan. Tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, lalu menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Strategi kenaikan bertahap ini dirancang untuk meminimalkan dampak langsung terhadap daya beli masyarakat, sekaligus memberikan waktu bagi pelaku usaha untuk beradaptasi dengan kebijakan baru, sambil tetap mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan.

Namun, dinamika dan penolakan yang berkembang di masyarakat terkait kenaikan tarif PPN membuat pemerintah mengambil langkah strategis melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. PMK ini mengatur bahwa meskipun tarif PPN ditetapkan menjadi 12% sebagaimana diamanatkan, pemerintah menggunakan konsep "nilai lain" sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Nilai lain ini ditentukan sebesar 11/12 dari nilai transaksi, sehingga tarif efektif PPN yang dikenakan kepada masyarakat secara praktis tetap 11%. Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengakomodasi keberatan masyarakat sekaligus tetap menjaga konsistensi dengan ketentuan UU HPP.

DPP Nilai Lain

Namun, kebijakan ini menghadirkan tantangan baru, terutama dalam hal beban administrasi bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak (DJP). Penggunaan "nilai lain" sebagai DPP menambah kompleksitas perhitungan PPN, meskipun secara substansial tarif efektifnya tetap 11%. Langkah ini tampaknya mengabaikan salah satu prinsip utama perpajakan yang ditekankan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations, yaitu prinsip kesederhanaan. Menurut Smith, sistem perpajakan yang sederhana tidak hanya mengurangi beban administrasi bagi pemerintah, tetapi juga meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak karena aturan yang mudah dimengerti dan diterapkan.

Dengan tambahan kerumitan yang tidak substansial, kebijakan tersebut berisiko melanggar prinsip kesederhanaan dan malah menciptakan kebingungan serta potensi kesalahan administratif. Kerumitan administrasi yang dapat muncul misalnya dalam pembuatan Faktur Pajak (FP). Faktur Pajak wajib mencantumkan keterangan lengkap tentang penyerahan yang dilakukan, termasuk harga jual, DPP, PPN yang dipungut, dan kode Faktur Pajak.

Sebagai contoh, untuk transaksi senilai Rp 1 juta, DPP dihitung sebagai 11/12 dari harga jual (Rp 916.667), lalu PPN dihitung 12% dari DPP tersebut (Rp 110.000). Meski tarif resmi 12%, tarif efektif tetap 11%. Selain itu, kode Faktur Pajak yang sebelumnya menggunakan kode 01 harus diubah menjadi kode 04 karena penerapan "nilai lain" sebagai DPP.

PKP yang mengisi FP secara tidak lengkap atau tidak benar akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 1% dari DPP sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Selain itu, Faktur Pajak ini juga tidak akan dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan bagi PKP Pembeli, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN.

Lebih dari itu, filosofi "nilai lain" sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16G UU PPN sebenarnya dirancang untuk digunakan dalam situasi di mana harga jual sulit ditentukan, misalnya pada transaksi pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, jasa pengiriman paket, jasa freight forwarding, dll. Ironisnya, PMK 131 justru membalik logika ini dengan menerapkan "nilai lain" pada harga jual yang sudah jelas dan sederhana, sehingga malah mempersulit penghitungan DPP.

Kerumitan Aturan Menurunkan Kepatuhan Sukarela

Kerumitan lain yang muncul dari penerapan PMK 131 Tahun 2024 adalah ketidakselarasan perlakuan terhadap transaksi yang selama ini sudah menggunakan "nilai lain" sebagai DPP serta transaksi dengan besaran tertentu sebagai PPN terutang. Ketentuan PMK 131 Tahun 2024 tidak berlaku untuk jenis transaksi ini, sehingga perlakuan perpajakannya tetap mengikuti aturan sebelumnya.

Saat ini terdapat sembilan ketentuan yang mengatur DPP Nilai Lain, yaitu PMK 75/2010, PMK 102/2011, PMK 83/2012, PMK 155/2012, PMK 173/2021, PMK 62/2022, PMK 63/2022, PMK 66/2022, dan PMK 79/2024. Sementara itu PMK yang mengatur ketentuan besaran tertentu antara lain PMK 62/2022, PMK 64/2022, PMK 65/2022, PMK 71/2022, PMK 41/2023, PMK 48/2023, dan PMK 81/2024.

Sebagai contoh, untuk transaksi pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, yang sejak awal telah menggunakan "nilai lain" sebagai DPP, atas transaksi senilai Rp 1 juta akan dikenakan tarif PPN 12% tanpa pengali 11/12, sehingga tarif efektifnya benar-benar menjadi 12%. Hal ini berbeda dengan transaksi terdampak PMK 131 yang tarif efektifnya tetap 11%. Selain itu, jasa kena pajak tertentu seperti jasa pengiriman paket, jasa biro perjalanan wisata, dan jasa freight forwarding, yang diatur dalam PMK 71 Tahun 2022, juga akan dikenakan tarif efektif sebesar 12%.

Perbedaan ini menciptakan kerumitan tambahan bagi Wajib Pajak yang harus memahami dan menerapkan aturan yang bervariasi untuk jenis transaksi yang berbeda, terutama jika mereka melakukan berbagai jenis transaksi dalam kegiatan usahanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Wajib Pajak sudah diberi informasi yang memadai dan mempersiapkan diri untuk menerapkan aturan ini? Apakah pegawai pajak sendiri sudah memahami dampak aturan ini secara menyeluruh?

Ketidaksiapan atau kurangnya pemahaman di kedua belah pihak dapat menyebabkan kesalahan implementasi, meningkatkan risiko sanksi administratif, dan memperburuk hubungan antara wajib pajak dan otoritas pajak. Risiko kesalahan dalam pembuatan Faktur Pajak akan menyebabkan pengenaan sanksi administratif melalui Surat Tagihan Pajak (STP) Pasal 14, yang jumlahnya berpotensi sangat signifikan. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan piutang pajak yang wajib ditagih oleh negara, tetapi juga berpotensi menambah saldo piutang pajak akibat keengganan Wajib Pajak untuk membayar STP tersebut.

Akumulasi dari situasi ini dapat berdampak serius terhadap tingkat kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan secara keseluruhan. Ketidakpastian dan kerumitan aturan baru dapat mengurangi persepsi keadilan dan efisiensi sistem perpajakan, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak.

Penelitian oleh Batrancea et al. (2022), Guzel et al. (2018), dan Jimenez dan Iyer (2016) menunjukkan bahwa kepercayaan wajib pajak merupakan faktor kunci dalam mendorong kepatuhan pajak. Kebijakan yang dirasakan tidak adil atau terlalu kompleks cenderung merusak hubungan antara pemerintah dan Wajib Pajak, menciptakan siklus ketidakpercayaan yang sulit dipulihkan, dan melemahkan upaya negara dalam meningkatkan penerimaan secara berkelanjutan.


Tarif Ganda dan Prinsip Netralitas

Pengenaan tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah juga memunculkan problematika tersendiri. Barang mewah yang dimaksud merujuk pada barang yang selama ini telah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sebagaimana diatur dalam PMK 42 Tahun 2022 dan PMK 15 Tahun 2023. Sebagaimana diketahui, PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat penyerahan oleh produsen atau saat impor, sehingga mengundang pertanyaan: apakah tarif efektif 12% PPN juga hanya berlaku pada tahap penyerahan oleh produsen atau saat impor, sementara transaksi di rantai distribusi berikutnya kembali ke tarif efektif 11%?

Jika tarif efektif 12% hanya berlaku di tahap awal, maka akan terjadi perbedaan perlakuan pajak dalam rantai distribusi barang mewah. Produsen atau importir akan dikenakan tarif efektif 12%, tetapi pedagang atau distributor yang menjual barang tersebut di tahap berikutnya akan menggunakan tarif efektif 11%, menciptakan potensi inkonsistensi dan kebingungan di lapangan.

Dengan demikian PMK 131 Tahun 2024 menimbulkan problem mendasar terkait konsekuensi terjadinya tarif ganda, yang bertentangan dengan prinsip tarif tunggal sebagaimana diamanatkan oleh UU PPN. UU HPP secara eksplisit mengatur kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dan kemudian menjadi 12%, dengan maksud menjadikan tarif PPN tetap sebagai tarif tunggal dan tarif efektif, sesuai karakter dasar PPN yang selama ini dijaga untuk mempertahankan prinsip netralitas.

Netralitas PPN memastikan bahwa pajak ini tidak mempengaruhi keputusan ekonomi, baik dalam konsumsi maupun produksi, karena diterapkan secara seragam di seluruh rantai ekonomi. Namun, implementasi PMK 131 Tahun 2024 justru menciptakan tarif ganda: tarif efektif 11% untuk sebagian besar transaksi dan tarif efektif 12% untuk barang mewah serta transaksi tertentu. Ketidakkonsistenan ini berpotensi merusak prinsip netralitas PPN, karena menciptakan distorsi dalam pengenaan pajak di berbagai jenis transaksi.


Dampak terhadap Penerimaan Negara dan Keadilan

Substansi pengenaan tarif PPN 12% hanya atas barang mewah (objek PPnBM) juga menimbulkan pertanyaan besar terkait efektivitas kebijakan ini dalam meningkatkan penerimaan negara. Data menunjukkan bahwa penerimaan dari PPnBM selama ini hanya memberikan kontribusi kecil terhadap total penerimaan pajak. Pada 2023, dari total penerimaan pajak bruto sebesar Rp2.091 triliun, PPnBM hanya menyumbang Rp 24 triliun atau 1,2% dari total penerimaan. Bandingkan dengan kontribusi PPN yang mencapai Rp 923 triliun atau 44,1% dari total penerimaan pajak.

Penerimaan PPnBM yang relatif kecil ini diperoleh meski tarif yang dikenakan cukup tinggi, mulai dari 10% hingga 70%. Lalu, apa dampak signifikan dari kenaikan tarif PPN sebesar 1%, dari 11% menjadi 12%, jika hanya berlaku terbatas pada barang mewah? Dengan basis pajak yang kecil, potensi tambahan penerimaan negara dari kebijakan ini menjadi sangat marginal, sementara kerumitan administrasi dan beban implementasi yang timbul jauh lebih signifikan.

PPN yang bersifat regresif juga memicu isu keadilan. PPN cenderung membebani masyarakat berpenghasilan rendah lebih besar secara proporsional terhadap pendapatan mereka dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Namun, keunggulan PPN sebagai pajak tidak langsung yang relatif tidak dirasakan langsung oleh konsumen membuatnya menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak dibandingkan Pajak Penghasilan (PPh), yang lebih kompleks dalam implementasinya.

Maka menaikkan tarif PPN seringkali dipilih sebagai jalan pintas, terutama untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka membiayai pembangunan nasional. Dalam hal ini, meskipun PPN memiliki sifat regresif yang dapat berdampak lebih besar pada masyarakat berpenghasilan rendah, konsekuensi tersebut dapat diterima sepanjang langkah-langkah mitigasi yang tepat disiapkan untuk mengurangi dampak sosialnya.

Salah satu strategi mitigasi yang dapat diterapkan adalah pemberian bantuan sosial yang ditargetkan secara langsung kepada masyarakat paling terdampak, seperti subsidi kebutuhan pokok atau program perlindungan sosial lainnya. Pendekatan ini dapat membantu menjaga daya beli kelompok rentan, sehingga dampak regresivitas kenaikan tarif PPN dapat diminimalkan.

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kampanye dan sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat, menjelaskan pentingnya pajak, termasuk PPN, sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh rakyat. Dengan pendekatan ini, kenaikan tarif PPN dapat dipahami sebagai langkah strategis untuk memperkuat fondasi fiskal negara, sekaligus menjaga prinsip keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.

Keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada desain teknisnya, tetapi juga pada kemampuan pemerintah dalam membangun komunikasi yang transparan dan efektif dengan masyarakat. Meski demikian, kenaikan tarif PPN tidak dapat dilakukan tanpa batas. Sebagaimana dijelaskan dalam teori ekonomi, setiap pajak memiliki "batas tarif optimal", di mana penerimaan pajak mencapai puncaknya. Melewati batas tersebut, seperti yang diilustrasikan dalam Kurva Laffer, kenaikan tarif justru dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak akibat penurunan konsumsi atau peningkatan penghindaran pajak. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengidentifikasi titik optimal ini melalui kajian empiris, seperti penghitungan elastisitas tarif PPN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan dampaknya terhadap masyarakat.

Salah satu studi, misalnya yang dilakukan oleh Tarmizi (2023), menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat menyebabkan PDB nominal turun sebesar 0,8% dan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 267.279 jiwa. Jika temuan ini akurat, maka kenaikan tarif menjadi 12% dapat dianggap telah melewati tarif puncak pada Kurva Laffer, sehingga alih-alih meningkatkan penerimaan, justru akan menurunkannya.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah kebijakan ini telah didasarkan pada kajian akademis yang komprehensif, termasuk dampak regresivitas PPN dan analisis tarif optimal? Jika kajian ini belum dilakukan atau tidak cukup mendalam, ada risiko bahwa kebijakan ini tidak hanya gagal mencapai tujuan penerimaan, tetapi juga memperburuk ketimpangan ekonomi dan beban sosial bagi masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan perpajakan didasarkan pada data yang kuat dan analisis yang mendalam untuk meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian dan masyarakat.

Alternatif Solusi

Jika kajian akademis seperti yang dilakukan oleh Tarmizi (2023) memang benar bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah melewati tarif optimal pada Kurva Laffer dan berpotensi menurunkan penerimaan negara, maka kebijakan ini semestinya dibatalkan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang membatalkan sebagian Pasal 4 UU HPP, khususnya terkait perubahan tarif PPN menjadi 12% sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1b) UU PPN.

Atau jika tarif 12% ternyata belum melewati puncak kurva Laffer, maka kebijakan ini dapat dilanjutkan tentu setelah melakukan persiapan yang matang. Alternatif solusinya adalah dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 7 ayat (3) UU PPN, yang memungkinkan pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN dalam rentang 5% hingga 15%. Penyesuaian ini dapat dilakukan melalui peraturan pemerintah, dengan syarat terlebih dahulu disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan APBN. Langkah ini tidak hanya memberikan fleksibilitas kepada pemerintah untuk merespons kondisi ekonomi secara dinamis tetapi juga tetap menjaga legitimasi kebijakan melalui konsultasi dengan legislatif.

Seperti idiom lama, the devil is in the details, formulasi kebijakan sering terjebak dalam detail pelaksanaan. Namun, dengan perencanaan yang matang, kerja keras dari semua pihak yang terlibat, dan perhatian cermat pada detail-detail kecil, kebijakan yang lahir dari niat baik tetap memiliki peluang besar untuk mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Dalam konteks perpajakan, detail bukan sekadar teknis administratif, tetapi cerminan bagaimana prinsip keadilan, efisiensi, kesederhanaan, dan netralitas diterapkan. Ketika kebijakan mampu menyeimbangkan antara kepentingan negara dan masyarakat, maka di dalam detail-detail itu tidak hanya ada tantangan, tetapi juga solusi yang membawa manfaat nyata bagi semua pihak. The devil is in the details, indeed - but so is salvation.Suhut Tumpal Sinaga dosen perpajakan di PKN Stan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial