Menghindari Tanam Budi dalam Birokrasi

1 month ago 20

Jakarta -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadakan e-learning anti gratifikasi. Salah satu poin penting yang bisa diambil dari pembelajaran tersebut adalah menghindari tanam budi sebab menjadi pemicu kejahatan gratifikasi. Survei KPK menyatakan hanya 13 persen responden segmen pemerintah yang pernah melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK.

Tanam budi adalah penerima layanan mempengaruhi pemberi layanan agar kepentingan dirinya berjalan mulus sesuai harapan dengan modus menyodorkan uang, barang, jasa serta fasilitas lainnya sehingga pemberi layanan merasa berhutang budi langsung maupun tidak langsung. Tanam budi merupakan akar gratifikasi di mana kedua pelakunya dapat dijerat pidana. Ada beberapa bentuk rasionalisasi atau pembenaran seseorang menerima gratifikasi, yaitu sekadar ucapan terima kasih, budaya ketimuran, pemberian cuma-cuma, nominalnya kecil, yang penting bukan suap, tidak mempengaruhi keputusan.

Setiap penyelenggara negara wajib menghindari upaya tanam budi dari pihak lain. Dalam Bab II, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa penyelenggara negara meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Jangan Aji Mumpung

Semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin banyak kepentingan orang lain terhadap dirinya. Tanda tangannya sangat berarti bagi nasib orang lain sehingga orang-orang yang memiliki kepentingan terhadap dirinya akan berusaha merapat, sowan, dan "mencari muka" untuk mempengaruhi keputusan/kebijakannya.

Ironisnya, sang penyelenggara negara yang seharusnya memberikan layanan secara netral dan objektif tanpa pandang bulu kepada semua orang justru tersandera dan berutang budi akibat dirinya sendiri yang "mudah silau" dan tergiur dengan tawaran atau rayuan seseorang. Benteng integritasnya roboh saat disodorkan segepok uang, tiket perjalanan piknik atau barang-barang branded lainnya sehingga dirinya terjebak kepada praktik hutang budi yang sulit terhindarkan.

"Aji mumpung" untuk menyalahgunakan kekuasaan akan menjadi bumerang bagi dirinya di kemudian hari. Kekuasaan yang seharusnya menjadi ladang kebaikan justru menjadi malapetaka bagi dirinya. Tak heran, model penyelenggara negara yang doyan menabur benih utang budi akan menyemai hasilnya di jeruji besi, setidaknya perasaan gelisah yang terus meneror di dalam hati nurani.


Tak Ada Makan Siang Gratis

Seseorang yang memberikan sesuatu apapun kepada kita patut diseleksi terlebih dahulu; apa motif pemberian tersebut dan dari mana sumbernya. Jika motif dari pemberian tersebut adalah untuk mempengaruhi sikap, keputusan/kebijakan maka harus ditolak mentah-mentah terlebih jika sumber dananya tidak jelas. Setiap tawaran dan pemberian dari seseorang patut dicurigai sebab mustahil seseorang menyodorkan "sesuatu" kepada orang lain jika orang tersebut tidak memiliki kekuasaan atau kewenangan yang dapat membantu sang pemberi.

Secara implisit, seseorang memberikan sesuatu kepada kita pasti ada maunya. Tidak ada pemberian cuma-cuma tanpa maksud tertentu meskipun motifnya tidak terungkap jelas, sekalipun sang pemberi mengatakan ikhlas. Sebagai penyelenggara negara yang cerdas, motif yang tersembunyi seharusnya dapat dibaca sehingga tidak gegabah asal terima pemberian orang lain.

Penyelenggara negara yang terbiasa menerima entertain dari orang lain menganggap hal itu boleh dan lumrah padahal dibalik itu semua ada korban-korban yang dizalimi akibat keputusan/kebijakannya yang tidak objektif dan netral. Sikap penyelenggara negara yang memuluskan nasib sang penanam budi tanpa disadari telah menjatuhkan harga dirinya di depan publik sehingga wajar saat memasuki masa purna tidak ada lagi yang simpati kepadanya. Orang-orang yang dahulu istikamah bersilaturahmi dan sowan perlahan mulai hilang satu per satu pasca penyelenggara negara memasuki masa pensiun.


Independensi versus Utang Budi

Setiap penyelenggara negara harus independen ketika menjalani kekuasaan/kewenangannya. Penyelenggara negara tidak boleh menerima upeti atau "oleh-oleh" dari satuan kerja karena termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan karena alokasi anggaran untuk "oleh-oleh" tidak ada. Penerimaan oleh-oleh/bingkisan dari penerima layanan akan menurunkan independensi penyelenggara negara karena memiliki utang budi kepada yang bersangkutan.

Penyelenggara negara yang tidak independen karena terjebak dalam praktik utang budi pada dasarnya merusak sistem birokrasi yang telah dibangun. Orang-orang profesional yang seharusnya bisa melesat kariernya justru harus tiarap selamanya karena tersalip oleh orang-orang yang gemar tanam budi. Layanan yang seharusnya diberikan secara adil justru diprioritaskan untuk para penanam budi, karpet merah selalu diberikan kepadanya dari sang penyelenggara negara yang zalim. Jika praktik tanam budi terus menjamur di ruang birokrasi dan layanan publik maka akan timbul praktik pro gratifikasi secara signifikan.

Penyelenggara negara yang independen tidak akan berutang budi, dirinya bebas membuat keputusan/kebijakan karena orientasinya adalah kebenaran. Namun sebaliknya, penyelenggara negara yang terikat utang budi, ruang geraknya semakin sempit, semata-mata untuk memenuhi kepentingan sang penanam budi. Jika penyelenggara negara mudah disetir oleh penanam budi maka kekuasaan/kewenangannya lebih dekat kepada kebatilan.

Terakhir, birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang dijalani oleh para penyelenggara negara yang bersih, independen dan tidak terikat utang budi dengan siapapun. Tanda tangannya hanya digunakan untuk kebenaran bukan kezaliman.

Ahmad Syahrus Sikti Hakim Yustisial Badan Pengawasan MA RI

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial