Jakarta -
Kebebasan dan pluralitas adalah syarat utama kehidupan politik (demokrasi). Kondisi itu menjamin pikiran dan tindakan kritis; termasuk keterlepasan dari rasa takut pada kekuasaan. Vice versa, pikiran kritis menjaga demokrasi berubah menjadi totalitarian. Kritisisme termanifestasi dalam kubu oposisi, gerakan intelektual hingga media yang mengoreksi rezim.
Tetapi yang terjadi pada demokrasi kita justru mengkhawatirkan. Partai-partai politik sepertinya memiliki watak bawaan takut mengucapkan posisi menjadi oposisi. Mengapa?
Secara sistem, demokrasi politik Indonesia memang tidak mengenal istilah oposisi. Padahal institusi oposisi substantif dalam demokrasi. Menurut Dahl (1996), di beberapa negara yang demokrasinya maju, keberadaan oposisi sangat vital. Oposisi adalah representasi resmi, berhak penuh dan legal yang menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Partai oposisi adalah alternatif bagi partai pemerintah. Bahkan para pemimpin partai oposisi dianggap publik sebagai presidents in waiting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, partai oposisi di negara yang demokrasinya belum terlembagakan dengan baik, oposisi cenderung dianggap oleh partai pemerintah sebagai musuh. Oposisi dianggap sebagai penghambat program pemerintah (Gumede, 2017). Dengan dalil itu, kekuasaan lantas memberangus kekuatan oposisi baik secara sosial politik maupun ekonomi. Indonesia masuk kategori ini. Bahkan penilaian Freedom House di Washington (2023) menempatkan Indonesia pada kategori coklat atau bisa kita katakan secara substantif masih setengah demokratis.
Kekuasaan dan Modal
Pertama, soal politik kekuasaan. Kekuasaan adalah papan reklame terbaik untuk meng-endorse persona politisi dan institusi partai politik. Pasca Reformasi, kaum elite yang datang dari lingkar kekuasaan berpeluang lebih besar memenangi pertarungan elektoral. SBY menjadi rising star karena menjadi bagian dari kekuasaan Gus Dur dan Megawati. Kendati di fase akhir, berseberangan dengan rezim Megawati, ia terlanjur menjadi lebih populer dari pada Megawati.
Prabowo menjadi presiden juga karena bergabung dengan rezim Jokowi. Itu adalah masa di mana Prabowo ter-endorse dengan baik oleh kekuasaan. Kita bisa periksa lagi survei di rentang setahun sebelum Pilpres 2024. Ganjar Pranowo-lah favoritnya. Tetapi rezim Jokowi memberikan dukungan total kepada Prabowo. Sebagai pengingat, di akhir rezim Jokowi, survei kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sangat tinggi (Litbang Kompas Juni 2024). Tentu itu berdampak besar dalam kemenangan satu putaran Prabowo-Gibran.
Kekuasaan sebagai 'ruang endorsement' lantas menjadi seperti sebuah pola yang baku dalam demokrasi kita baik tingkat nasional maupun daerah. Pilpres 2014 bisa kita kategorikan sebagai the exception. Jokowi terbit dari luar galaksi kekuasaan kala itu. Bintangnya bertambah benderang lantaran distrust publik yang besar pada rezim SBY karena persoalan korupsi dan kisruh Partai Demokrat.
Jika mengacu pada kecenderungan itu, Prabowo dipastikan akan menjabat dua periode sebagai presiden. Atau, presiden berikutnya juga berasal dari rezim saat ini. Dasarnya jelas, tanpa oposisi yang kuat publik praktis tidak memiliki pilihan alternatif. Pada titik ini, secara sistem, ada persoalan besar demokrasi kita. Parpol cenderung bermain aman demi garansi kursi baik di legislatif maupun eksekutif mulai dari pusat hingga daerah.
Kedua, motif ekonomi. Oposisi dalam praktik demokrasi kita berarti mereka yang berada di luar pesta. Mereka tidak mengambil bagian dalam jamuan pesta yang beragam dan lezat itu. Jadi ketakutan parpol juga berhubungan erat dengan capital partai politik. Membersamai pemerintah berarti mengambil bagian dalam keuntungan ekonomi proyek-proyek pembangunan. Sebaliknya berada di luar berarti rungkat.
Di sini, para pemodal juga berdampak pada pilihan sikap parpol. Jelas ada relasi kekuasaan dan ekonomi antara pemodal dan parpol. Partai memerlukan pemodal bagi operasional partai. Sementara bagi pemodal, kekuasaan menggaransi bisnis mereka. Maka ke mana langkah pemodal, ke situ pula langkah partai. Yang Ideologis dalam partai menjadi tak persis maknanya karena desakan yang ekonomis.
Oposisi Alternatif
Ketika parpol yang secara institusi kita harapkan menjadi oposisi justru masuk ke lingkar kekuasaan, maka publik perlu menghadirkan oposisi alternatif. Kita sedang membicarakan platform media sosial dan terutama netizen. Medsos menjadi wadah publik dengan netizen bertindak sebagai oposisi.
Secara parsial, kita sebutkan media sosial. Sebab, kerap media justru "dimiliki" oleh kekuasaan --kendati tidak semua. Tetapi untuk memastikan oposisi alternatif ini berjalan, maka perlu terorkestrasi dengan baik. Jika rezim menggunakan buzzer, maka oposisi alternatif juga menghadirkan buzzer demokrasi.
Peran figur menjadi penting di sini untuk memastikan orkestrasi suara netizen mengawasi kekuasaan berjalan konsisten dan kontinuitas. Politisi atau publik figur yang menjadi oposan bisa memainkan peran sebagai orkestrator. Komunitas, cendekiawan, dan LSM penggiat hukum dan demokrasi berperan menajamkan analisis kritis di ruang publik.
Oposisi alternatif berarti tidak membiarkan paradoks demokrasi yang tanpa oposisi. Ia juga dimaknai sebagai sebuah upaya baru mendefinisikan ulang penyanggah demokrasi. Menjadi oposisi alternatif adalah bentuk memaknai konsep manusia politik yang terwujud dalam tindakan politik. Lantas, dunia media sosial bisa dimaknai sebagai sebuah ruang publik. Medsos bisa menjadi 'Senayan' versi digital yang memproduksi suara kritis. Jika Senayan fisik melempem karena kekurangan oposisi, maka Senayan virtual harus garang mengawal kekuasaan.
Beberapa isu besar bisa menjadi potret bagaimana medsos menentukan narasi keadilan, hukum, dan bahkan moral. Ungkapan no viral no justice adalah sebuah pesan kekuatan medsos dan netizen. Ungkapan itu juga sebuah pengingat betapa bahayanya "yang berkuasa" tanpa pengawasan. Pada kasus Gus Miftah yang mengundurkan diri dari utusan khusus presiden untuk urusan agama, kita dipertontonkan kekuatan medsos dan netizen itu.
Efek Domino
Oposisi alternatif tidak serta merta dimaknai sebagai partisan partai oposisi. Tetapi secara sikap politik sama-sama memilih untuk menjadi oposisi rezim. Karena itu, oposisi alternatif (non institusi) ini bisa menjadi pendukung utama bagi partai politik (institusi) yang memilih berada di luar kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi "cokelat" kita, sikap dan posisi PDIP di luar kekuasaan sangat rentan. Ada beberapa catatan soal itu. Mulai dari posisi Puan Maharani sebagai Ketua DPR juga akan rentan dikudeta. Juga terkait proyeksi kepemimpinan dan kemenangan di pertarungan lima tahun mendatang hingga bisnis politik.
Maka, demi demokrasi jugalah, PDIP mesti diapresiasi sebab menempuh kerentanan untuk memastikan fondasi oposisi tetap ada dalam demokrasi kita. Sikap PDIP juga memberikan efek domino bagi publik untuk ikut mengambil bagian dalam sikap politik mengawasi kekuasaan.
Jelas, narasi rezim Prabowo adalah politik persatuan semua kekuatan untuk terlibat dalam transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola pemerintahan. Kendati begitu, terlepas dari hasrat politik persatuannya, Prabowo tetap berbesar hati terhadap PDIP yang memilih berseberangan dengan rezimnya. Hal itu ia utarakan dalam momen HUT Golkar (11/12/2024) silam.
Pidato Prabowo itu sebuah isyarat demokratis. Sebab, oposisi tidak berarti sebagai penghalang proyek pemerintah. Pihak oposisi justru ingin memastikan bahwa proyek pembangunan itu berjalan baik, diperuntukkan bagi publik dan tidak korup dalam pelaksanaannya. Pada akhirnya, oposisi bukan sekadar menciptakan presidents in waiting, tetapi terutama menjamin hal yang paling substantif dari kemanusiaan dan prinsip demokrasi yakni kebebasan, keadilan, dan keberagaman.
Edward Wirawan analis politik, peneliti Lembaga Terranusa Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu