Jakarta -
Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi wujud dari transformasi ekonomi digital. Hal ini telah mempengaruhi nyaris semua aspek kehidupan, mulai dari transaksi pembayaran, mobilitas sosial, sampai industri kuliner. Bahkan, transaksi ini tidak saja berdimensi legal, namun telah banyak disalahgunakan dalam transaksi judi online, pinjaman online ilegal, bahkan penipuan digital.
Kini, ekonomi digital telah menjadi sektor potensial yang memberikan daya ungkit bagi ekonomi, bahkan dirapal ke depannya akan menjadi faktor kunci dalam tumbuh kembangnya perekonomian bangsa. Laporan E-conomy SEA 2024 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain&Company mencatat kontribusi sektor digital terhadap perekonomian Indonesia pada 2024 mencapai angka $90 miliar atau setara dengan Rp 1474 triliun. Ini ekuivalen dengan 7 persen PDB.
Laporan tersebut bahkan memberikan proyeksi mengesankan bahwa sektor digital akan berkontribusi sebesar $200 - $360 miliar pada 2030. Prediksi ini hendak menjelaskan sejatinya sektor digital adalah sektor potensial yang pantas dijadikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Namun begitu, apakah prediksi ini taken for granted, ataukah determinan terhadap prasyarat tertentu? Atau, pertanyaan lain mungkin pantas diajukan: apakah pertumbuhan melesat sektor digital ini telah menggambarkan pertumbuhan yang inklusif dan partisipatorik?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika merujuk pada laporan East Ventures (2024, Digital Competitiveness Index) yang memetakan daya saing digital 38 provinsi di Indonesia, sesungguhnya sebaran pertumbuhan sektor ini masih senjang. Daya saing digital masih bertumpu di Jakarta (skor 78,2). Selain itu, 5 provinsi yang indeksnya paling tinggi berada di Pulau Jawa. Jika ditilik lebih rinci, ketimpangan yang terjadi bahkan lebih parah. Untuk pilar kewirausahaan dan produktivitas, misalnya, jarak antara skor tertinggi dan terendah terpaut di angka 100. Jakarta (skor 100) terpaut jauh dengan Papua Pegunungan (skor 0). Pilar infrastruktur juga timpang antara Jakarta (97,6) dengan Papua Tengah (18).
Membutuhkan Kesiapan
Menjadikan sektor digital sebagai lokomotif pertumbuhan membutuhkan kesiapan infrastruktur dan suprastruktur yang matang. Dukungan infrastruktur, kelembagaan, dan sumber daya manusia harus sinergis sehingga memberikan daya ungkit optimal bagi kebermanfaatan pertumbuhan sektor ini.
Bagi Indonesia yang corak geografisnya tersebar dan tidak merata, pembangunan instalasi jaringan internet adalah prasyarat utama bergeraknya pendulum ekonomi digital. Tanpa internet, maka pengarusutamaan sektor digital hanya akan menjadi ilusi. Tidak ada interaksi ekonomi yang akan terbentuk tanpa adanya interkoneksi jaringan di antara pelaku usaha dengan konsumen. Inilah sekaligus menjadi tantangan bagi negara dalam memastikan jaringan internet terpenetrasi sampai ke desa dan lingkungan terpencil. Di sisi lain, ini juga menjadi berkah bagi warga yang jauh dari akses pasar (tradisional) untuk dapat memasarkan usahanya.
Selama ini, pertumbuhan sektor digital mayoritas ditopang oleh menjamurnya berbagai korporasi swasta yang mengandalkan inovasi dan kreativitas korporatik. Jarang kita menemukan peran optimal negara dalam mendorong tumbuh kembang ekonomi digital. Pertumbuhan sektor digital yang signifikan, meski baik, belum menjangkau komunitas usaha yang beragam di seluruh wilayah republik. Negara hanya sebatas memerankan fungsi supervisi, peran yang masih sangat jauh dari semestinya.
Bahkan, sektor digital bersifat konsumtif, pertumbuhan yang terbentuk didorong oleh tingginya permintaan barang yang difasilitasi oleh sarana digital. Maka sejatinya inilah momentum bagi negara untuk terlibat lebih besar guna mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif. Selain itu, dukungan kelembagaan ini juga penting bagi berbagai usaha yang diproduksi masyarakat agar berdaya saing.
Sejatinya, inisiatif melalui pemberdayaan komunitas dan kelembagaan korporasi desa menjadi sangatlah krusial. Badan usaha milik desa (BUMDesa) haruslah menjadi pendorong terhubungnya berbagai usaha berbasis komunitas. BUMDesa adalah korporasi negara terkecil yang harus mampu menghimpun berbagai potensi ekonomi warga. Bahkan, BUMDesa adalah agen sebenarnya dari perwujudan ekonomi inklusif. Peran ini sangat beralasan karena dengan peran lebih strategik dan partisipatif oleh BUMDesa, maka akan terjadi asistensi, supervisi, dan evaluasi kualitas produk. Ini penting agar produk usaha berdaya saing, bahkan mampu menembus pasar ekspor.
Mewujudkan kelembagaan BUMDesa yang kohesif dan solid harus bersifat lintas sektoral. Pemerintah desa tidak boleh dibiarkan sendirian dalam menstimulasi berkah potensial ini. Pemerintah pusat dan daerah melalui kelembagaan terkait harus memberikan dukungan pelatihan dan keuangan yang memadai agar kinerja BUMDesa optimal.
Insentif fiskal tidak hanya bertumpu pada alokasi sebagian dana desa, namun perlu adanya intervensi fiskal khusus yang berasal dari keuangan pusat maupun kas daerah. Ini penting karena dana desa terbatas dan kadung dialokasikan untuk infrastruktur fisik. Selama ini retorika pembangunan negara hanya terbatas pada pembangunan sarana fisik seperti jalan, jembatan, bendungan, dan sektoral pekerjaan umum lainnya.
Investasi Serius
Faktor lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif adalah peningkatan berkelanjutan kualitas sumber daya manusia. Negara harus betul-betul hadir untuk melakukan investasi serius pada insani kreatif yang ada di desa. Berbagai perangkat dan sarana digital yang menstimulasi pertukaran barang sangat berdimensi perkotaan. Ini tidak salah, bahkan begitulah tren yang terjadi di seluruh dunia.
Sebagai hasil kreasi manusia yang membutuhkan inovasi, kreativitas, dan produktivitas tinggi, start-up teknologi ditemukan dengan olah pikir dan percobaan empirik yang rumit. Ini adalah dimensi pengetahuan. Namun begitu, negara harus memastikan adanya pertukaran pengetahuan sehingga pelaku usaha di desa dapat sinergis dan memanfaatkan sarana yang telah ada untuk peningkatan daya saing komoditas yang diproduksi.
Dengan begini, masyarakat tidak sebatas sebagai konsumen, namun bertransformasi menjadi produktor kompetitif. Pertumbuhan ekonomi tidak bertumpu pada peningkatan tren tingkat konsumsi masyarakat dalam menggunakan sarana digital, tetapi berorientasi produksi. Pada akhirnya, akan terjadi pergeseran struktur pertumbuhan, dari sekadar konsumtif menjadi produktif. Ada peran selibat negara di dalamnya, bukan supervisi belaka.
Sinergi lintas-sektoral inilah yang masih langka, sehingga acap kita gagal dalam melipatgandakan potensi yang ada. Benar bahwa tren sektor digital telah berada di rel yang benar, tetapi masih jauh melambat. Pergerakannya harus diakselerasi dan spektrum partisipasinya diperluas. Inilah sesungguhnya pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif, merata, dan berdimensi kerakyatan. Sesuai dengan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 bahwasanya pertumbuhan berkualitas adalah yang demokratik dan partisipatif.
Arifuddin Hamid peneliti Prolog Initiatives, alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan FEB UI
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu