Jakarta -
Kementerian Kebudayaan menggelar Seminar 'Gedung Merdeka dan Nilai Warisan Dunia' di Gedung Merdeka, Bandung. Acara ini dalam rangka memperingati Hari Warisan Dunia, yang bertepatan juga dengan peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).
Seperti diketahui, Hari Warisan Dunia atau International Day of Monuments and Sites diperingati setiap tanggal 18 April. Peringatan ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya pelindungan warisan budaya dan alam.
Adapun tema yang diusung tahun ini, yaitu 'Disaster and Conflict Resilient Heritage', yang menyoroti ancaman kehancuran warisan budaya dan alam akibat bencana dan konflik antarbangsa. Melalui tema ini, masyarakat global diharapkan semakin memahami pentingnya langkah-langkah konkret dalam menjaga dan menyelamatkan warisan budaya di tengah situasi krisis, sekaligus meningkatkan kesadaran akan berbagai ancaman terhadap keberlanjutan warisan budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon dalam sambutannya menekankan warisan budaya, baik dalam bentuk situs, memori kolektif, maupun nilai-nilai luhur, merupakan living bridge yang menghubungkan generasi ke generasi dan mempererat hubungan antarbangsa.
Menurutnya kondisi geopolitik global, ketegangan antarbangsa, hingga konflik bersenjata dan perang, telah membawa dampak langsung terhadap pelestarian warisan dunia. Dalam konteks ini, Indonesia juga tidak dapat menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang dihadapi Palestina. Data UNESCO mencatat, ratusan situs warisan budaya di Gaza, termasuk Masjid Agung Al-Omari, Gereja St. Porfirius, Kota Tua Gaza, kawasan arkeologi, museum, hingga ruang-ruang publik lainnya, hancur akibat agresi militer Israel.
"Serangan ini merupakan bentuk cultural genocide yang menghantam akar peradaban dan memutus transmisi nilai-nilai identitas kolektif bangsa Palestina," ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin (28/4/2025).
Lebih lanjut dia mengingatkan amanat konstitusi dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa negara harus memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia.
"Ini adalah perintah konstitusi yang imperatif," ungkapnya.
Komitmen tersebut diperkuat melalui sejumlah regulasi nasional, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, serta ratifikasi Konvensi UNESCO 1972 melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia. Berdasarkan komitmen ini, Indonesia telah melestarikan sepuluh warisan dunia yang terdiri atas enam warisan budaya dan empat warisan alam, serta mengajukan delapan belas situs dalam daftar tentatif warisan dunia UNESCO.
Meski demikian, Fadli Zon juga menyoroti warisan dunia di Indonesia yang juga tengah menghadapi berbagai ancaman nyata. Sebut saja risiko kebakaran seperti yang terjadi pada Gedung Pusat Kebudayaan di Situs Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, risiko gempa bumi dan erupsi Gunung Merapi di Candi Borobudur dan Candi Prambanan di Yogyakarta, serta tekanan akibat pariwisata massal dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan prinsip keberlanjutan.
Untuk itu dia mendorong penerapan kajian dampak terhadap cagar budaya untuk mencegah kerusakan dan memastikan keberlanjutan warisan budaya Indonesia.
"Warisan dunia adalah cermin peradaban kita. Menjaganya berarti menjaga identitas, martabat, dan masa depan bangsa," lanjutnya.
Dia menambahkan dalam kesempatan memperingati 70 tahun Konferensi Asia Afrika ini juga, penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya kota Bandung dan sekitarnya, untuk terus menjaga ;Bandung Spirit' atau Dasasila Bandung agar tetap menyala, merawat warisan budaya sebagai denyut nadi peradaban, dan memperkuat solidaritas global melalui kerja sama budaya. Ia juga menyoroti relevansi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian yang diwariskan dari Konferensi Asia Afrika, terlebih di tengah situasi geopolitik dunia yang kian tidak menentu.
Menurutnya, memperingati sejarah bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi melahirkan semangat baru yang aktual bagi Indonesia saat ini, termasuk dalam memperkuat kembali posisi Indonesia sebagai pemimpin di kawasan Asia dan Afrika.
"Indonesia harus menjadi bangsa yang terhormat, bangsa pemimpin, bukan sekadar pengikut. Semangat ini juga yang ingin dikedepankan dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto," terangnya.
Di akhir sambutannya, Fadli Zon berharap seminar ini tidak sekedar menghasilkan data dan sejarah, tetapi mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Konferensi Asia Afrika untuk memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Iendra Sofyan mengapresiasi para tamu undangan yang hadir peringatan Hari Warisan Dunia dan 70 Tahun Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia berharap momentum ini dapat memperkuat semangat pelestarian warisan budaya dan nilai-nilai Konferensi Asia Afrika bagi generasi masa depan.
"Mari bersama-sama menjaga, merawat, dan menghidupkan kembali semangat Bandung untuk dunia yang lebih damai dan berkeadilan," tuturnya.
Sebagai informasi, seminar 'Gedung Merdeka dan Nilai Warisan Dunia' terbagi dalam beberapa sesi. Sesi pertama membahas 'Arsip Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok sebagai Memory of the World UNESCO' dengan menghadirkan Agus Santoso selaku Direktur Preservasi ANRI. Lalu dilanjutkan sesi kedua 'World Heritage dan Warisan KAA' yang dibawakan oleh Daud Aris Tanudirdjo dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Sesi ini menyoroti keterkaitan nilai sejarah KAA dalam kerangka Warisan Dunia.
Selanjutnya pada sesi terakhir 'Prakarsa Kota Bandung Mengajukan Cagar Budaya Nasional Gedung Merdeka Sebagai Tapak Warisan Dunia', mempertegas upaya Kota Bandung untuk memperjuangkan Gedung Merdeka sebagai bagian dari daftar Warisan Dunia UNESCO.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini