Jakarta -
Dalam tradisi demokrasi modern, adagium vox populi vox Dei telah menjadi semacam mantera yang melandasi legitimasi politik. Frasa yang berarti "suara rakyat adalah suara Tuhan" ini seolah menyiratkan bahwa demokrasi, melalui ekspresi suara mayoritas, adalah cara terbaik untuk mencerminkan kehendak moral tertinggi. Namun, apakah adagium ini masih relevan dalam lanskap politik kontemporer yang penuh dinamika dan paradoks? Apakah benar suara rakyat selalu menjadi pantulan kebenaran mutlak, ataukah adagium ini lebih sering menjadi alat justifikasi bagi kekuasaan?
Untuk memahami ini, kita harus kembali pada asal-usul adagium tersebut. Kalimat ini pertama kali ditemukan dalam surat Alkuin kepada Charlemagne pada abad ke-8. Dalam konteks tersebut, Alkuin justru memperingatkan Charlemagne agar tidak sepenuhnya tunduk pada keinginan massa. Bagi Alkuin, massa sering tidak rasional, mudah terpengaruh oleh emosi, dan cenderung mengabaikan kebijaksanaan. Maka, adagium ini pada mulanya lebih merupakan peringatan daripada afirmasi terhadap kehendak rakyat.
Namun, maknanya bergeser seiring perkembangan zaman. Revolusi-revolusi besar di Eropa, terutama Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika, menanamkan gagasan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Gema adagium vox populi vox Dei menjadi mantra suci demokrasi, seakan-akan suara rakyat adalah manifestasi dari kebenaran universal. Inilah mitos yang terus dipertahankan hingga hari ini, meski praktik politik sering menunjukkan kebalikannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik terhadap Vox Populi
Dalam tradisi filsafat politik, adagium ini bukan tanpa kritik. Niccolo Machiavelli, misalnya, meski menghargai peran rakyat dalam menjaga kebebasan republik, tetap mengakui bahwa massa cenderung tidak stabil dan mudah dimanipulasi. Machiavelli memperingatkan bahwa rakyat sering kali terperangkap dalam ilusi yang diciptakan oleh elite yang cerdik. Dalam The Prince dan Discourses on Livy, ia menekankan bahwa penguasa harus memahami psikologi massa, yang sering lebih dipengaruhi oleh ketakutan dan hasrat daripada rasionalitas.
Kemudian, filsuf seperti Alexis de Tocqueville menyoroti fenomena tirani mayoritas dalam demokrasi. Dalam Democracy in America, Tocqueville mengamati bahwa suara mayoritas, meski tampak demokratis, sering mendominasi minoritas dan menekan keberagaman suara. Dalam pandangannya, demokrasi yang mengagungkan vox populi tanpa kritik dapat berubah menjadi tirani baru, di mana kepentingan kolektif mayoritas menghapus kebebasan individu.
Jean-Jacques Rousseau, dengan teorinya tentang kehendak umum (general will), memberikan pandangan yang lebih bernuansa. Rousseau percaya bahwa kehendak rakyat hanya bisa mencerminkan kebenaran jika rakyat benar-benar tercerahkan dan bertindak berdasarkan kepentingan kolektif, bukan kepentingan pribadi. Namun, kondisi ini, menurut Rousseau, jarang terjadi dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Di sini muncul pertanyaan mendasar: apakah vox populi yang kita rayakan dalam demokrasi modern benar-benar mencerminkan kehendak kolektif yang murni, ataukah ia telah terdistorsi oleh pengaruh-pengaruh eksternal, seperti media, algoritma, dan kepentingan elite?
Manipulasi dan Distorsi Suara Rakyat
Dalam dunia yang semakin terkoneksi oleh teknologi, suara rakyat sering bukan lagi cerminan otentik dari kehendak kolektif. Media sosial, dengan algoritmanya yang memperkuat bias, menciptakan ruang gema (echo chamber) yang mempersempit pandangan dan mendistorsi persepsi publik. Dalam ruang ini, kebenaran menjadi relatif, dan suara rakyat sering kali hanyalah refleksi dari narasi yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan politik.
Antonio Gramsci, melalui konsep hegemoni, menjelaskan bagaimana elite budaya dan ekonomi mampu membentuk kesadaran massa melalui kontrol atas media, pendidikan, dan institusi lainnya. Dalam konteks ini, suara rakyat sering tidak otonom, melainkan hasil dari proses internalisasi ideologi yang diciptakan oleh elite. Apa yang tampak sebagai vox populi sebenarnya adalah suara elite yang menyamar dalam jubah kehendak rakyat.
Lebih jauh, Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism menunjukkan bagaimana massa yang kehilangan orientasi kritis dapat dimanipulasi oleh propaganda. Dalam konteks totalitarianisme, kehendak rakyat sering kali diarahkan untuk mendukung kebijakan yang justru bertentangan dengan kebebasan dan keadilan. Arendt memperingatkan bahwa ketika suara rakyat dilepaskan dari dasar moral dan rasionalitas, ia dapat berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang destruktif.
Membumikan Vox Populi
Lantas, bagaimana kita dapat membumikan kembali makna vox populi vox Dei dalam konteks demokrasi modern? Jawabannya terletak pada dua hal: pendidikan politik dan penguatan ruang publik yang inklusif. Pertama, pendidikan politik harus diarahkan untuk menciptakan rakyat yang kritis dan tercerahkan.
Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang mampu memahami kompleksitas isu-isu politik, bukan sekadar massa yang mudah terprovokasi oleh janji populis. Dalam tradisi filsafat politik, ini sejalan dengan pandangan Immanuel Kant tentang pencerahan (Aufklarung), di mana manusia mampu keluar dari "ketidakdewasaan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri."
Kedua, demokrasi membutuhkan ruang publik yang inklusif, di mana semua suara memiliki kesempatan untuk didengar dan dipertimbangkan. Jurgen Habermas, melalui konsep public sphere, menekankan pentingnya dialog rasional dalam proses demokrasi. Dalam ruang publik yang ideal, keputusan politik bukan ditentukan oleh kekuatan mayoritas semata, melainkan oleh argumentasi terbaik yang lahir dari diskusi yang setara.
Namun, menciptakan ruang publik yang inklusif bukanlah tugas yang mudah. Dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh polarisasi politik dan ekonomi, dialog rasional sering kali terhambat oleh prasangka dan konflik kepentingan. Di sinilah peran institusi menjadi penting, baik itu media, lembaga pendidikan, maupun organisasi masyarakat sipil, untuk memfasilitasi dialog yang konstruktif.
Suara Rakyat sebagai Panggilan Etis
Pada akhirnya, vox populi vox Dei harus dimaknai bukan sebagai pernyataan fakta, melainkan sebagai panggilan etis. Suara rakyat tidak selalu benar, tetapi ia mencerminkan potensi untuk mencapai kebenaran. Potensi ini hanya bisa diwujudkan jika kita, sebagai warga negara, berkomitmen untuk menjaga integritas proses demokrasi.
Dalam tradisi filsafat eksistensial, Jean-Paul Sartre mengajarkan bahwa kebebasan manusia adalah tanggung jawab. Kita bebas untuk memilih, tetapi pilihan kita membawa konsekuensi moral. Demikian pula, dalam demokrasi, suara rakyat adalah ekspresi kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dipandu oleh tanggung jawab untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan bermartabat.
Membumikan vox populi berarti menjadikan demokrasi sebagai arena perjuangan untuk keadilan, bukan sekadar kompetisi suara. Ini berarti mengedepankan kebijaksanaan, keberanian moral, dan solidaritas sebagai dasar dari setiap keputusan politik. Demokrasi yang sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana kita bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kita perlu mengingat bahwa suara rakyat bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar: kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Jika kita mampu menjaga makna luhur ini, maka vox populi vox Dei tidak akan sekadar menjadi adagium kosong, melainkan cermin dari kebesaran manusia.
Firdaus Arifin dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu