Hanoi -
Pemerintah komunis Vietnam berencana untuk memangkas satu dari lima pekerjaan di sektor publik dalam lima tahun ke depan sebagai bagian dari upaya merampingkan birokrasi secara besar-besaran.
Pada Selasa (18/1), parlemen Vietnam menyetujui pengurangan jumlah kementerian dari 18 menjadi 14. Majelis Nasional juga menyetujui dua wakil perdana menteri baru, sehingga totalnya menjadi tujuh.
Menurut pemerintah Vietnam, sekitar 100.000 pegawai akan dirumahkan atau ditawarkan pensiun dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa saja yang terdampak?
Sebagai bagian dari restrukturisasi, organisasi media milik negara, pegawai negeri, polisi dan militer akan mengalami pemangkasan. Kementerian transportasi, perencanaan dan investasi, komunikasi, dan tenaga kerja semuanya telah dihapus.
Kementerian perencanaan dan investasi yang menyetujui proyek-proyek investasi asing akan bergabung dengan kementerian keuangan, sementara kementerian transportasi dan kementerian konstruksi akan digabung. Kementerian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta kementerian pertanian juga akan digabungkan.
Langkah seperti ini bukan hal baru, di mana secara bertahap Vietnam mengurangi jumlah kementerian dari 36 pada awal tahun 1990-an menjadi 22 pada tahun 2021.
Namun, para analis mencatat bahwa skala dan kecepatan reformasi sangat besar. Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, menyebut proses tersebut sebagai "revolusi kelembagaan".
Tujuan utamanya adalah "memodernisasi aparatur negara Vietnam, mengatasi inefisiensi yang terus-menerus menghambat tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, dan merampingkan birokrasi yang membengkak," ujar Nguyen Khac Giang, peneliti tamu di ISEAS Yusof Ishak Institute.
Jika dilaksanakan dengan baik, reformasi ini dapat menjadikan To Lam, yang dianggap sebagai politisi paling berkuasa di Vietnam, dan warisan Perdana Menteri Pham Minh Chinh "sebagai reformis yang berorientasi pada tindakan," tambahnya.
Tantangan bagi ekonomi
Dalam pertemuan Komite Sentral pada November lalu, To Lam menyebut perubahan-perubahan tersebut sebagai kebutuhan ekonomi, menggambarkan institusi-institusi sebagai "penghambat kemacetan," dan menambahkan bahwa reformasi itu bertujuan untuk membuat pemerintah menjadi "ramping, kompak, kuat, efisien, efektif, dan berdampak."
Mengutip media pemerintah Vietnam, mantan Direktur Central Institute for Economic Management, Nguyen Dinh Cung, mengatakan bahwa reformasi ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi di Vietnam.
"Sebuah proyek investasi mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan prosedurnya," katanya.
"Pada saat prosedur-prosedur tersebut selesai, peluang bisnis mungkin telah hilang, dan rencana-rencana awal harus direvisi."
Selain itu menurut Cung, perampingan kementerian dan komisi akan memudahkan dokumen investasi serta skema infrastruktur dan real estate.
Ia pun menambahkan bahwa hal ini juga akan menyelesaikan beberapa tumpang tindih kelembagaan yang membuat pemerintah berada di arah yang berlawanan: "Satu lembaga mengharuskan Anda ke kanan sementara lembaga lain menuntut Anda ke kiri. Masalah ini cukup umum terjadi."
Reformasi ini dilakukan di tengah kekhawatiran di Hanoi tentang laju perubahan ekonomi.
Sebagai negara yang ekonominya bergantung pada ekspor, Vietnam menghadapi ketidakpastian akan hubungan perdagangan dengan pasar terbesarnya, Amerika Serikat (AS), apalagi di masa kepresidenan Donald Trump.
Trump telah mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 10%-20% untuk semua impor dan sebelumnya telah melabeli Vietnam sebagai "pelanggar terburuk" perdagangan AS karena surplus yang besar, yang telah meningkat secara besar-besaran sejak 2019.
Hai Hong Nguyen, seorang dosen senior di VinUniversity, mencatat bahwa 40 tahun setelah mengadopsi prinsip-prinsip pasar bebas, Vietnam saat ini menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah dan dipandang secara internasional sebagai model pembangunan.
Namun, "berdasarkan semua indikasi, Vietnam seharusnya berkembang lebih cepat dan berada di tingkat pembangunan yang lebih tinggi," tambahnya.
Konsolidasi kekuasaan
Reformasi ini juga memiliki dimensi politik. To Lam menjadi ketua partai pada Agustus lalu setelah kematian pendahulunya, Nguyen Phu Trong, yang mengubah Vietnam dengan kampanye anti-korupsi dengan jargon "api penyucian".
Sebelumnya sebagai menteri keamanan publik, To Lam mengumpulkan kekuatan yang signifikan dengan memelopori upaya antikorupsi. Sejak 2021, pejabat dari Kementerian Keamanan Publik, militer, dan polisi semakin banyak mengisi mayoritas kursi di Politbiro, badan pembuat keputusan tertinggi.
Setelah naik ke jabatan tertinggi partai, To Lam terus mengonsolidasikan kekuasaan yang mengarah pada tuduhan kecenderungan diktator. Awal tahun ini, ia sempat memegang jabatan sebagai ketua partai dan presiden negara, sebuah konsentrasi kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vietnam.
Momen reformasi ini sangat penting, karena terjadi setahun menjelang kongres Partai Komunis pada 2026 mendatang, di mana kepemimpinan To Lam akan dikonfirmasi. Meski sebagian besar analis memperkirakan dia akan mendapatkan masa jabatan berikutnya sebagai sekretaris jenderal, ada desas-desus ketidakpuasan di dalam partai.
Beberapa pengamat menarik persamaan antara reformasi kelembagaan Vietnam dan rencana pemerintahan Trump yang akan datang untuk merombak pemerintah AS. David Brown, mantan diplomat AS di Vietnam, mengatakan bahwa pendekatan Trump bertujuan untuk "memperkuat kendalinya atas negara itu."
Demikian pula To Lam yang "berniat untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya pada jabatan-jabatan penting," terutama jika hal itu dibarengi dengan perombakan struktur pemerintahan yang sudah lama tertunda, tambahnya.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu