Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 14 Februari 2025
“Kalau Tuhan Yesus mengizinkan, saya ingin mati wajar. Tidak dieksekusi,” kata Sumiarsih, 60 tahun, di Lembaga Pemasyarakatan Wanita (LPW) Kelas IIA, Kebonsari, Sukun, Malang, Jawa Timur, pada pertengahan Juli 2008.
Saat mengucapkan kalimat itu, buliran air bening menetes di pelupuk mata perempuan kelahiran Jombang, 1948, tersebut. Namun, dia juga berujar, bila harus dieksekusi mati di depan regu tembak, maka dia ingin agar jasadnya dibawa ke kampung halamannya.
Sumiarsih, yang akrab disapa Bu Sih, juga menitipkan permohonan maaf kepada keluarga besar Purwanto. Sumiarsih dan empat orang pelaku lainnya telah membunuh perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel Marinir TNI Angkatan Laut dan keluarga itu secara sadis pada 13 Agustus 1988.
“Maafkan perbuatan saya. Kalau eksekusi itu memang satu-satunya jalan sebagai pintu maaf, saya terima. Saya pasrah, saya capek. Saya ingin tidur dalam keabadian,” kata Sumiarsih dengan suara lirih nyaris tak terdengar.
Sejurus kemudian, Sumiarsih mengatupkan kedua telapak tangan di depan dadanya dan menundukkan kepala. Mulut nenek satu cucu itu komat-kamit memanjatkan doa dengan khusyuk.
“Satu harapan yang tak akan pernah terjadi… Selamat jalan Bu Sih. Semoga kekal dikeabadianmu,” tulis Ita Siti Nasyi’ah, yang sempat bertemu Sumiarsih menjelang eksekusi mati. Ita menuliskan kisah hidup Sumiarsih dalam bukunya berjudul ‘Mami Rose’ (2008).
Akhirnya, Sumiarsih bersama putra pertamanya, Sugeng, 44 tahun, dieksekusi mati pada Sabtu, 19 Juli 2008, tepat pukul 00.20 WIB, di lapangan markas Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur. Berita eksekusi mati kedua terpidana kasus pembunuhan Purwanto dan keluarganya menghiasi halaman utama sejumlah media massa.
Dikutip dari koran Surya dan Kompas, eksekusi mati Sumiarsih dan Sugeng dilakukan oleh 25 personel Brimob Polda Jawa Timur. Ke-25 personel Brimob itu dibagi menjadi dua tim, yaitu tim eksekutor untuk menembak mati Sumiarsih dan Sugeng. Sumiarsih dieksekusi setelah Sugeng ditembak mati lebih dahulu.
Kedua terpidana mati itu terkulai ketika enam butir peluru kaliber 5,56 mm dimuntahkan dari senapan jenis M-16 menembus tubuh mereka dari jarak 50 meter. Setelah dokter memastikan keduanya meninggal, jasadnya dikirim ke Rumah Sakit Umum Soetomo untuk dibersihkan.
Jenazah Sumiarsih dan Sugeng dikembalikan kepada keluarganya di Malang, sekitar pukul 05.30 WIB. Siangnya jenazah ibu dan anak tersebut dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Samaan, Kota Malang. Penguburan Sumiarsih dan Sugeng disaksikan oleh satu-satunya putri Sumiarsih, yaitu Rose Mey Wati.

Sumiarsih jelang eksekusi mati. Foto: File detikSurabaya

Sugeng putra pertama Sumiarsih. Foto: Repro Buku Mami Rose
Eksekusi mati Sumiarsih dan Sugeng dilakukan bersamaan waktunya dengan eksekusi mati terhadap dukun palsu Usep di kawasan hutan Cimarga, Lebak, Banten, Jumat, 18 Juli 2008, pukul 22.30 WIB. Atau satu pekan setelah dukun Ahmad Suradji alias AS di Sumatera Utara juga dieksekusi mati pada Kamis, 10 Juli 2008.
Pengadilan Negeri Surabaya pada akhir 1989, menjatuhi vonis hukuman mati kepada Sumiarsih karena terbukti menjadi pelaku dan otak pembunuhan kepada Letkol (Mar) Purwanto dan keluarganya pada 13 Agustus 1988. Sumiarsih menjalani masa tahanan di penjara LPW Susukan, Malang, selama 20 tahun lamanya.
37 tahun silam, Sumiarsih tercatat sebagai mucikari alias germo kelas kakap di kawasan lokalisasi Dolly, Surabaya. Dia mengelola wisma atau rumah bordil berukuran 8 x 20 meter yang diberi nama Happy Home di Gang Dolly No. 2B di Jalan Kupang Gunung Timur I, Jarak, Putat Jaya, Kota Surabaya.
Sumiarsih dikenal dengan sapaan ‘Mami Rose’ bersama suami keduanya, Djais Adi Prayitno (Papi Prayit) mengelola rumah bordil sejak 1975. Di Wisma Happy Home, mereka mempekerjakan 15-20 balon, sebutan wanita pekerja seks komersial (PSK). Para balon-nya itu rata-rata berumur sangat muda dengan tarif kencan antara Rp 20-25 ribu.
Rumah bordilnya menjadi langganan anggota TNI mencari hiburan, salah satunya Purwanto. Saat itu, Purwanto menawarkan kerjasama kongsi mengelola wisma dengan sistem bagi hasil. Wisma di Gang Dolly hasil patungan keduanya itu diberi nama ‘Sumber Rezeki’ pada 1980. Jaraknya sekitar dua rumah dari Happy Home.
Dalam kesepakatannya, sebagai pengelola Sumber Rezeki, Sumiarsih wajib menyetorkan uang Rp 25 juta setiap bulannya kepada Purwanto. Setiap tahun, setoran selalu meningkat Rp 1 juta dan kalau terlambat setor dikenakan denda sebesar 10-20 persen.
“Nggih Pak, menawi nganten (Iya Pak, kalau begitu). Tiap tanggal 1, kita akan kirimkan uangnya ke Bapak,” kata Sumiarsih berjanji kepada Purwanto (saat itu menjabat sebagai Kepala Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) di Pangkalan Angkatan Laut, Ujung Surabaya.
Awalnya kongsi bisnis esek-esek ini berjalan lancar. Apalagi dua wisma yang dikelola Sumiarsih cukup laris manis, karena memiliki balon berusia sangat muda. Paling tua umur 20 tahun. Di antara semua pemilik wisma di Gang Dolly, dua wisma milik Sumiarsih paling laris pengunjungnya.
Setiap malam Sumiarsih meraup untung sekitar Rp 4 juta atau Rp 120 juta per bulan dari kedua wismanya. Jumlah sebesar itu tentu sangat besar di era 1980-an. Sumiarsih sukses karena menerapkan trik bisnis. Dia selalu mengganti PSK-nya setiap dua tahun sekali. Dia juga berani menghadirkan grup musik melayu (dangdut) secara live.
Sumiarsih muda.
Foto : Foto File detikSurabaya
“Di kalangan mucikari, Mami Rose dikenal paling kaya. Dengan uang itulah, Rose membiayai seluruh keluarga besarnya,” terang Ita.
Suatu sore, Sumiarsih pernah menyetor uang bagian Purwanto hingga Rp 40 juta. Padahal sesuai perjanjian bagian Purwanto hanya Rp 25 juta. Sisanya yang Rp 15 juta merupakan bunga keterlambatan dan cicilan utang. Dia pernah memohon agar diberi keringanan dalam hal setoran.
“Pak Pur, mbok kalau bisa, saya diberi keringanan. Anak-anak juga banyak yang belum bisa bayar utang ke saya. Jadi saya harus menomboki dulu,” pinta Sumiarsih.
Perempuan yang dulunya sempat menjadi primadona dunia malam di Jakarta itu malah dibentak rekan bisnisnya sendiri. “Gak iso, iku harga mati. Keon lak wis janji. Ojok main-main karo aku lho, yo (Tidak bisa, itu harga mati. Kamu sudah janji. Jangan main-main sama saya lho),” ancam Purwanto sembari menggebrak meja.
Namun, beberapa waktu kemudian setoran menjadi tersendat bahkan tertunda serta bunga menumpuk. Sepinya Dolly ini karena menjadi incaran petugas. Sebab adanya isu eksploitasi anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai PSK, sehingga Dolly menjadi sepi.
Tapi bisnis tetaplah bisnis, Purwanto tak mau tahu, ia hanya ingin setoran dari Sumiarsih sesuai dengan kesepakatan awal. Berbagai cara kemudian dilakukan Purwanto menekan dan meneror Sumiarsih agar menyerahkan setoran bisnis wismanya. Termasuk pernah mengerahkan orang mengobrak-abrik wisma milik Sumiarsih.
Tapi tetap saja setoran tak pernah lancar lagi, karena Dolly memang lagi sepi dan bunga keterlambatan setoran juga sudah banyak. Puncaknya, Purwanto menawarkan kekurangan setoran bisa dianggap selesai jika Sumiarsih menyerahkan anak perempuannya, Rose Mey Wati, anak dari suami pertamanya di Jakarta.
Pria itu tergiur dengan kemolekan anak Sumiarsih yang merupakan istri Serda (Pol) Adi Saputro. Hal ini lah yang membuat Sumiarsih kaget, ketakutan dan menangis. Bagaimana pun seorang ibu tidak akan rela bila anak perempuannya terjerumus di lembah hitam.
“Jangan Wati Tuhan, jangan! Cukup aku saja yang jadi pelacur. Cukup aku saja yang menggeluti dunia hitam. Jangan anakku. Jangan, Tuhan,” gugat Sumiarsih di sela-sela tangisannya.
Karena sudah tak kuat atas teror dan sikap kasar Purwanto, membuat Sumiarsih gelap mata. Pada 12 Agustus 1988, di Wisma Happy Home, Sumiarsih berembuk dengan suaminya, Prayitno, untuk menyusun skenario jahat, menghabisi nyawa Purwanto.
Sumiarsih, mucikari Dolly Surabaya.
Foto : File detiksurabaya
“Pak, satu-satunya jalan, Pak Pur kudu dipateni (harus dimatikan), kudu Pak. Timbangane awake dewe sing mati (daripada kita sendiri yang mati),” kata Sumiarsih.
Sumiarsih meminta bantuan kepada Daim (kemenakan Prayitno) untuk menghabisi Purwanto. Daim menuruti kemauan Sumiarsih, karena dirinya yang bekerja sebagai kasir kerap dihajar popor pistol oleh Purwanto dan anak buahnya bila telat mengirimkan uang setoran.
Sumiarsih dan Prayit juga melibatkan Nanok, anak Prayitno dari istri terdahulunya. Nanok menyanggupi ajakan itu. Begitu pula dengan Serda (Pol) Adi Saputro diajak terlibat dalam rencana jahat tersebut. Adi memiliki dendam tersendiri kepada Purwanto yang dianggap sudah kurang ajar dan melecehkan istrinya, Wati, anak Sumiarsih.
Mereka rencananya akan menghabisi nyawa Purwanto dengan cara dipukul dengan alu besi. Masing-masing dari mereka akan membawa senjata alu besi dan mengeroyok Purwanto yang dikenal sebagai tentara, kuat, dan jago karate.
“Kita keroyok ramai-ramai. Nek nggak (kalau tidak), kita yang mati duluan. Dia punya pistol dan juga bisa karate,” jelas Prayitno mengingatkan kepada semua yang hadir dalam rapat kecil tersebut.
Daim lalu diminta untuk mengumpulkan empat buah alu besi dan sarung tangan yang dibeli di Pasar Turi. Kemudian, Sumiarsih, Prayit, Sugeng, Adi Saputro, Nanok dan Daim menumpang mobil Suzuki Carry bernomor polisi L 1518 A, menuju rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur XVII/24-25, Kota Surabaya, pada 13 Agustus 1988 pukul 11.00 WIB.
Singkat cerita, kehadiran mereka awalnya disambut baik oleh Sunarsih (istri Purwanto), karena mereka sudah kenal. Saat itulah, Sunarsih dan dua anaknya yang masih remaja, yaitu Haryo Bismoko dan Haryo Budi Prasetyo, serta salah satu keponakannya bernama Sumaryatun dihabisi nyawanya dengan dipukul alu besi ketika sedang lengah.
Setelah mereka mengumpulkan semua jenazah korban di dalam kamar, mereka membersihkan dan merapikan rumah itu sambil menunggu Purwanto pulang dari kantornya. Pukul 15.00 WIB, Purwanto pulang. “Sudah lama, tho?” tanya Purwanto tanpa curiga kepada mereka.
Tak lama, Adi Saputro langsung menghantamkan alu besi ke bagian belakang kepala Purwanto hingga tersungkur. Tubuhnya diseret ramai-ramai ke dalam ruang tengah dan dihajar bersama-sama, hingga darah berceceran di lantai.
Setelah dipastikan Purwanto tewas, tubuhnya dimasukkan ke dalam mobil Daihatsu Taft miliknya. Tak hanya itu, para pelaku ini juga memasukkan empat jasad korban lainnya ke dalam mobil yang sama. Sekitar pukul 19.00 WIB, Sugeng, Adi Saputro, Nanok dan Daim membawa semua jasad korban menuju Kota Malang.
Jenazah Sumiarsih seteleh dieksekusi mati tahun 2008.
Foto : file detikSurabaya
Sementara Sumiarsih dan Prayit masih membersihkan rumah tersebut. Empat pelaku membawa lima jasad korban menuju hutan belantara di Desa Songgoriti, Batu, Kota Malang. Sementara mobil Daihatsu Taft dibuang ke jurang sedalam 200 meter.
Keesokan harinya, pada 14 Agustus 1988, seorang pencari kayu menemukan kelima jasad itu dan melaporkannya ke aparat desa dan polisi. Awalnya temuan itu diduga merupakan korban kecelakaan lalu lintas. Tetapi kemudian polisi menemukan kejanggalan, setelah hasil forensik keluar.
Di mana hasilnya ditemukan bahwa para korban dinyatakan telah meninggal dunia sebelum kecelakaan atau ditemukan di lokasi hutan. Juga ditemukan beberapa sidik jari orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan. Kejanggalan lain, yaitu ditemukan uang sebesar Rp 30 juta di dalam koper di dalam mobil yang ditemukan di jurang.
Setelah melakukan berbagai penyelidikan, pelakunya mengarah kepada Sumiarsih dan Prayitno. Setelah pemakaman jenazah keluarga Purwanto, Sumiarsih dan Prayitno diciduk polisi. Disusul kemudian secara berturut-turut ditangkap Sugeng, Nanok, Daim dan Adi Saputro, yang sempat buron.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan persidangan, PN Surabaya menjatuhi vonis hukuman mati kepada Sumiarsih, Djais Prayitno, Sugeng dan Adi Saputro. Eksekusi pertama dilakukan kepada Adi Saputro. Dia dieksekusi mati di depan regu tembak Kodam V/Brawijaya pada 2 Desember 1992, pukul 00.15 WIB.
Eksekusi itu disaksikan oleh Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI R Hartono, Kapolda Jawa Timur Mayjen Pol Emon Rivai, Panglima Armada Timur Laksamana Muda Tanto Kuswanto dan Komandan Kodikau Marsekal Muda Moersabdo.
Sementara dua pelaku lainnya, yaitu Nanok dan Daim, masing-masing divonis hukuman seumur hidup. Tapi Nanok kini dikabarkan sudah bebas setelah menjalani masa tahanan 15 tahun. Dia dianggap berkelakuan baik selama menjalani masa tahanan di LP Kalisosok, Surabaya dan LP Lowok Waru, Malang.
Sedangkan Djais Prayitno diketahui meninggal dunia saat dirawat di Rumah Sakut Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo pada 2001. Sebelum waktu menjalani eksekusi mati, Prayit mengalami serangan jantung di sel tahanannya.
Salah satu korban keluarga Purwanto yang selamat adalah putra Haryo Abriyanto. Saat terjadi pembunuhan, putra pertama Purwanto tengah menjalani pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI, kini AKMIL). Tapi kemudian dia dinyatakan drop out, karena mengalami guncangan menerima kabar semua keluarganya tewas terbunuh.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim