Jakarta -
Inti dari integrasi politik adalah mencapai kesejahteraan. Namun mewujudkan kesejahteraan itu merupakan persoalan yang sangat pelik bagi banyak negara, terlebih jika ia terkait dengan faktor kepemimpinan. Hal itu tidak terkecuali bagi Indonesia. Di masa datang, Indonesia bisa jadi akan menghadapi persoalan guncangan integrasi politik secara vertikal akibat kian melebarnya kesenjangan ekonomi, juga persoalan integrasi politik secara horizontal, akibat ketegangan politik dari sisa-sisa persaingan dalam Pilkada dan ketimpangan ekonomi antar daerah.
Karena kesejahteraan dan integrasi politik dalam suatu negara sangat tergantung pada karakter kepemimpinan yang ada di negara itu. Kesejahteraan dan integrasi politik akan menjadi sulit diwujudkan ketika pemimpin suatu negara dalam menjalankan pemerintahan membentuk 'institusi ekonomi yang ekstraktif'. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2017) dalam bukunya Mengapa Negara Gagal arti dari 'institusi ekonomi ekstraktif' adalah lembaga-lembaga ekonomi hanya dirancang untuk memeras, mengeruk pendapatan dan kekayaan negara, demi memperkaya kelas elite.
Negara dengan institusi ekonomi seperti itu, juga akan menjalankan 'institusi politik ekstraktif; yaitu kekuasaan politik yang berada pada segelintir kelompok elite. Artinya kontrol terhadap kekuasaan dari rakyat sangat lemah, karena sistem demokrasi dibuat menjadi sekarat. Dalam sistem seperti itu para elite akan menjadi sangat kaya, sementara rakyatnya akan menjadi miskin, meskipun sumber daya yang dimiliki oleh negara itu melimpah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi yang demikian banyak kita temui di negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kesejahteraan rakyat sulit diwujudkan, bukan karena tidak adanya sumber daya, melainkan karena sumber daya dikuasai oleh segelintir elite yang berkuasa. Akibatnya muncul orang-orang yang super kaya, sekaligus super berkuasa, karena mereka merancang institusi ekonomi dan institusi politik demi untuk mempertahankan dominasi ekonomi-politiknya dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kekayaan yang dimilikinya, para elite itu kemudian bisa membangun pasukan untuk pengamanan dirinya dan para kroninya untuk melindungi monopoli mereka atas politik dan ekonomi.
Dalam rangka mempertahankan monopoli ekonomi dan politik, elite-elite atau pemimpin di negara berkembang kerap meninggalkan jalan demokrasi. Karena demokrasi mereka anggap sebagai gangguan terhadap monopoli politik dan ekonomi. Hal ini terjadi di Malaysia di masa Mahathir dengan UMNOnya, di Indonesia di masa Soeharto dengan dwi-fugsi ABRInya, serta beberapa negara di Afrika, seperti Nigeria, Ngana, Rwanda dan Kongo. Negara-negara Afrika itu tetap miskin, tetapi para pemimpinnya berkuasa dalam waktu yang panjang dan juga sekaligus kaya raya.
Maka dari itu bisa dikatakan, bahwa kelompok-kelompok yang berkuasa (pemimpinnya) seringkali menjadi penghambat kemajuan kesejahteraan ekonomi, dan bahkan merusak sarana-sarana pencipta kemakmuran, yaitu demokrasi. Kesejahteraan hanya akan bisa diwujudkan jika pemimpin dan kelompok dekatnya kehilangan hak-hak istimewa mereka dan kekuasaan monopoli dikurangi. Pemimpin yang memonopoli kekuasaan tidak akan membangun kesejahteraan, karena rakyat yang sejahtera akan bisa menggoyahkan kekuasaannya. Jadi pemimpin yang memonopoli ekonomi dan politik, bisa dipastikan tidak akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya serta demokrasi.
Implikasi dari kondisi seperti itu adalah sulitnya diciptakan integrasi politik, karena persaingan politik akan terus berjalan secara konfliktual, situasi yang tertib dan aman akan mengganggu proses ekonomi ekstraktif. Integrasi politik menjadi sulit diwujudkan, karena dalam persaingan antar kelompok akan membuat konsolidasi politik sulit diciptakan. Hal itu terjadi karena para pemimpin akan sulit menerima keadaan baru, atau perubahan. Karena setiap perubahan bisa berarti menjadi ancaman secara politik terhadap pemimpin. Sementara perubahan sekecil apa pun secara politik akan memancing amarah dari kelompok yang merasa diuntungkan dalam status quo.
Langkah meninggalkan demokrasi juga terjadi di Peru ketika dipimpin oleh Fujimori di tahun 1990an. Fujimori yang terpilih secara demokratis, setelah berkuasa pelan-pelan meninggalkan demokrasi. Pada hal Fujimori mendapat kekuasaan melalui jalan demokratis karena memenangkan Pemilu, di saat Peru mengalami krisis politik dan ekonomi. Memimpin Peru dalam situasi seperti itu membuat Fujimori menjanjikan akan memimpin Peru ke arah politik dan ekonomi yang lebih baik. Namun Fujimori sebagai orang baru dalam politik, juga menghadapi kekuatan oposisi yang sudah berpengalaman dalam politik.
Dalam menghadapi ancaman dari oposisi, Fujimori kemudian menggunakan dekrit untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya, terutama dalam menghadapi Kongres. Kemudian ketika Kongres terus menyerangnya, pada tahun 1992, Fujimori membubarkan Kongres. Sekaligus menyatakan Konstitusi tidak berlaku lagi. Dengan sendirinya Fujimori mulai berkuasa sendirian di Peru, dan demokrasi mati. Hugo Chaves di Venezuela juga menempuh jalan yang mirip dengan Fujimori. Chaves yang meraih pucuk pimpinan Venezuela melalui Pemilu kemudian setelah berkuasa ia memberi mandat kepada dirinya sendiri dengan mengubah konstitusi, yaitu mandat untuk bisa membubarkan institusi yang menentang dirinya. Bahkan Chaves membubarkan pengadilan dan memberhentikan para Hakim. Kemudian ia menunjuk para hakim yang menurut kepada kehendaknya.
Jika kita melihat contoh-contoh yang dipaparkan di atas maka, tampak bahwa pemimpin yang pada awalnya menjanjikan kesejahteraan kepada rakyatnya, pada akhirnya seperti yang ditulis oleh Acemonglu, para pemimpin itu lebih sibuk mempertahankan kekuasaannya dan memonopoli institusi ekonomi. Implikasinya, disintegrasi politik secara vertikal dan horizontal terjadi setiap saat. Setiap disintegrasi politik terjadi, maka pilihannya adalah kekerasan atau tentara digunakan untuk menekannya.
Kondisi seperti itu oleh Levitsky dan Ziblat (2018) disebut sebagai kondisi yang mematikan demokrasi. Karena para pemimpin yang terpilih dalam demokrasi, bukannya mereka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga integrasi politik, melainkan para pemimpin tersebut sibuk untuk mempertahankan kekuasaannya secara politik dan ekonomi. Fujimori, Chaves, Soeharto, Mahathir, dan banyak lainnya bisa dimasukkan pada barisan pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan dan menjaga integrasi nasional, tetapi perbuatan politiknya berkebalikan dari janji yang disampaikannya.
Banyaknya pemimpin yang menjadi otoritarian dengan dalih mempertahankan integrasi politik dalam 20 tahun terakhir ini . Oleh Gideon Rachman (2022) situasi seperti itu disebut sebagai era orang-orang kuat otoriter (the authoritarian strongman). Artinya banyak negara saat ini dipimpin oleh orang-orang yang berwatak otoriter. Pemimpin-pemimpin yang berwatak otoriter itu naik ke pucuk pimpinan negara melalui cara-cara demokratis, namun kemudian memberangus demokrasi dengan cara-cara yang mempreteli institusi politik demokrasi. Para pemimpin kuat otoriter itu meninabobokan para pendukungnya yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah dengan janji-janji populis. Pemimpin-pemimpin seperti itu menurut Rachman adalah seperti Erdogan di Turki, Putin di Rusia, Modi di India, dan Bolsonaro di Brasil.
Para pemimpin di beberapa negara itu selalu mengklaim bahwa dirinya memimpin untuk membawa negara melawan ancaman elite global yang membuat rakyatnya menderita atau tidak sejahtera. Jargon melawan elite global dengan nada nasionalistik itu sangat mudah diterima oleh kalangan kurang terdidik atau rakyat yang mengalami penurunan pendapatan ketika krisis ekonomi terjadi, seperti di beberapa negara, seperti di Turki dan negara-negara di Afrika, Latin Amerika, Asia serta Eropa Timur.
Bisa dikatakan para pemimpin dalam mempertahankan integrasi politik, kerap mengabaikan kesejahteraan. Serta meninggalkan demokrasi dengan dalih menjaga integrasi politik, dari ancaman pihak luar, atau ancaman kelompok ekstrem dari dalam. Apa lagi negara itu memang memiliki keanekaragaman suku atau etnis, agama dan ras. Ancaman dari luar atau dari dalam terhadap integrasi, sering menjadi dalih untuk mematikan demokrasi. Padahal sesungguhnya yang sedang dilindungi bukan lah integrasi politik, melainkan monopoli kekuasaan dan ekonomi oleh elite yang memimpin. Apa lagi pemimpin itu dikendalikan atau menjadi bagian dari oligarki.
Bisa disimpulkan bahwa di tangan pemimpin-pemimpin yang otoriter, meskipun dia terpilih secara demokratis, apalagi di negara yang sedang berkembang, isu kesejahteraan untuk rakyat lebih banyak hanya menjadi jargon saat kampanye. Kesejahteraan bukan lah hal utama yang diperhatikan oleh para pemimpin otoriter itu, mereka lebih memperhatikan keberlangsungan kekuasaannya dalam jangka panjang dengan dalih demi menjaga integrasi politik. Pengalaman Indonesia 20 tahun di era reformasi ini menggambarkan hal itu secara gamblang. Kesejahteraan rakyat Indonesia tidak meningkat, tetapi kekuasaan elite oligarkis terus bisa bertahan.
Langkah-langkah elite Indonesia, jika kita sigi dengan cara pandang Acemoglu serta Levitsky dan Ziblat, tampak bahwa mereka sedang membangun 'institusi politik yang ekstraktif' beriringan dengan 'institusi ekonomi yang ekstraktif', serta terus menggerogoti demokrasi. Artinya secara politik dan ekonomi Indonesia sedang menuju era orang kuat otoriter, seperti yang disinyalir oleh Gideon Rachman. Jika hal itu terus-menerus berlanjut, maka tentu akan bisa mengancam integrasi politik Indonesia ke depan.
Amiruddin al-Rahab
Pemerhati politik dan HAM, Wakil Ketua Perkumpulan ELSAM
(knv/knv)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu