Kekecewaan Itu Berujung #KaburAjaDulu

4 weeks ago 34

Bagi banyak warga Indonesia hari ini, keinginan menetap di luar negeri, entah untuk bekerja atau melanjutkan studi, adalah terjemahan rasa sedih, bingung, frustrasi, dan kecewa terhadap keadaan di negara ini.

Tentu tidak semua orang serius atau punya privilese untuk betul-betul mewujudkannya, tapi, walau sebatas hasrat pun, hasrat itu tak pernah senyata sekarang ketika orang-orang menggemakannya lewat tagar #KaburAjaDulu di media sosial.

“Hidup di sini penuh kecemasan, stres, suram, sumpek, tak ada harapan untuk kehidupan layak, wajar dong orang nggak betah dan berkhayal pindah negara?” kata Elektra (29) di Jakarta kepada detikX, menanggapi tagar yang sempat muncul pada September 2023, September 2024, dan kini ramai lagi sejak pertengahan Januari lalu.

Tagar itu menyertai cuitan kekecewaan terhadap berbagai masalah di Indonesia, ketidakpuasan terhadap sistem politik dan hukum yang dipandang tak adil, curhatan soal kualitas hidup menurun, dan mimpi mencari kehidupan yang lebih baik.

Bunyinya spesifik ‘kabur aja dulu’ untuk menekankan urgensi. Hengkang secepatnya apa saja jalurnya: bekerja, beasiswa, atau ikut program pertukaran budaya. Yang penting segera keluar dari Indonesia karena rasanya sudah muak hidup megap-megap sambil menyaksikan akrobat para pejabat.

Elektra tidak ikut mencuit, tapi termasuk yang serius mau ‘kabur’. Setelah menimbang matang-matang, yang paling mungkin untuknya dalam waktu dekat adalah bekerja di Australia menggunakan Work and Holiday Visa (WHV). Ia sudah mengantongi Surat Dukungan untuk WHV dan tengah mengajukan visa.

“Aku sejak 2023 kepikiran WHV. Persiapan berkas persyaratan, termasuk IELTS, udah kulakukan sejak April 2024. Capek sama ini negara. Bahkan untuk dapat SDUWHV dari Ditjen Imigrasi harus war dengan sistem yang nggak siap, nggak adil, rawan kecurangan. Benar-benar, deh, capek hidup di Indonesia, tuh, di segala lini,” tutur Elektra.

Ia mengatakan, jadi kelas menengah pun tak bisa hidup ideal di tanah air. Perempuan praktisi public relation itu sempat hampir setahun menganggur meski punya pengalaman kerja dan mengirim 200-an lamaran.

“Cari kerja susah, banyak juga yang terkendala batasan umur. Begitu dapat, gajinya kecil, nggak sepadan dengan tingginya biaya hidup, diperparah kondisi kerja yang buruk, bos semena-mena, hak cuti dipotong thanks to UU Cipta Kerja. Aku merasa kerja dan kualifikasiku nggak dihargai,” ungkapnya.

Elektra juga mengeluhkan ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Akibatnya, ketidakstabilan ekonomi, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas agama, gender, adat, dan kelompok minoritas lainnya, pengambilan paksa lahan dan ruang hidup, kriminalisasi aktivis, dan lingkungan yang tidak sehat oleh polusi dan pencemaran.

“Oligarki sibuk memperkaya diri. Sedih lah, negara ini nggak sayang sama kita. Lihat saja kemarin masalah antrean gas melon yang sampai menimbulkan korban jiwa. Menteri masih bisa lho menjawab ke warga sambil cengengesan. Mereka betul-betul nggak peduli sama kita. Tiap hari, buka pintu rumah atau buka media sosial sama-sama bikin emosi. Isinya kabar buruk. Itu, kan, suffocating,” ujarnya.

Elektra yang sarjana ilmu politik juga juga menyoroti bagaimana perubahan kebijakan negara yang sifatnya serampangan dan menciptakan ketidakpastian di masyarakat. Ketidakpastian seperti ini kemudian menimbulkan kerentanan dan perasaan tidak aman bagi masyarakat termasuk dirinya untuk tinggal di Indonesia.

Di Australia nanti, Elektra berencana melamar pekerjaan memetik buah, mengepak barang, menjadi kasir, atau resepsionis. Menurutnya, semua pekerjaan sulit, penting, dan luhur karena menopang kehidupan, tetapi mindset itu tidak dimiliki kebanyakan pemberi kerja di Indonesia, sehingga sulit menghargai pekerja dengan upah layak.

“Aku tahu WHV utamanya berlibur, baru bekerja. Tapi nggak bisa dipungkiri, tujuanku melakukannya agar bisa menabung. Di Jakarta, sudah kerja keras pun gaji habis untuk ongkos sehari-hari. Padahal keinginanku basic: diupah layak, cuti cukup, bisa punya kehidupan di luar pekerjaan. Itu kan sesuatu yang harusnya biasa-biasa saja, kan? Istilahnya bare minimum. Tapi di Indonesia jadi hal yang muluk,” tuturnya.

Izin tinggal WHV hanya sementara, maksimal tiga tahun. Elektra masih akan menyusun rencana berikutnya. “Mimpiku tinggal di Swiss. Upayaku sementara ini belajar bahasa Prancis (salah satu bahasa resmi di Swiss),” pungkasnya.

Lembaga Pemantau Media Sosial Drone Emprit mengungkapkan tagar #KaburAjaDulu dicuit paling banyak oleh kelompok usia 19-29 tahun, yaitu 50,8 persen, diikuti usia di bawah 18 tahun 30,81 persen.

Selain membahas minat emigrasi, tagar itu juga digunakan oleh recruiter membagikan informasi lowongan kerja, dan para diaspora menceritakan pengalamannya tinggal di Jerman, Norwegia, Jepang, Thailand, Malaysia, dan banyak lagi. Beberapa di antaranya juga membagikan kiat-kiat pindah dan tips bertahan hidup di luar negeri.

Samudera, yang saat ini sedang menempuh S3 Bioteknologi di Jepang, termasuk pengguna X yang memotivasi warga X lainnya untuk berkarir di luar negeri. Kepada detikX, lelaki asal Bekasi itu menceritakan perjalanannya hidup di negeri orang sudah dimulai sejak lulus S1 Pendidikan Kimia pada 2017.

Melihat realita guru di Indonesia yang menghadapi segudang permasalahan, mulai dari kesejahteraan rendah, status honorer, beban administrasi berat, hingga persoalan pemerataan kualitas pendidikan, Samudera yang mengaku berasal dari keluarga biasa-biasa saja, merasa harus mencari 'suaka' di negara lain.

Sebagai fresh graduate, ia berhasil kecantol perusahaan Malaysia sebagai staf human resources. Meski sejatinya bukan bidang yang ia minati betul, ia tak menyiakan tawaran untuk pindah ke Kuala Lumpur dan mendapat gaji pertama setara Rp 14.000.000 atau empat kali UMR Bekasi pada waktu itu.

“Walaupun tetanggaan dengan Indonesia, standar gaji di Malaysia lebih baik, harga pangan lebih murah, kriminalitas rendah, transportasi publiknya juga bagus dan reliable di seluruh wilayah. Tiga tahun tinggal di Malaysia saya betah,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, ia kembali mengunjungi mimpinya untuk jadi peneliti, sehingga memutuskan kuliah di Sapporo, Hokkaido, sambil bekerja remote. Tahun lalu ia lulus S2 dan kini tengah memulai disertasi, berharap dapat menetap sebagai dosen atau peneliti di negeri matahari terbit. Gajinya di bidang HR sudah lima kali lebih besar dari gaji pertamanya dulu, tapi ia bisa lebih sejahtera lagi sebagai akademisi karena profesi itu dihargai di sana.

“Standar gaji dosen di Universitas Kyushu, misalnya, 13 Juta Yen atau setara Rp 1,4 Miliar per tahun. Tapi ini bukan hanya soal gaji, melainkan penghargaan. Saat ini saja, saya sedang meneliti sebagai mahasiswa, butuh apapun itu, selama reasonable, akan didukung pembiayaannya oleh universitas. Jelas tidak begini ceritanya di Indonesia, apalagi dengan pemangkasan anggaran pendidikan,” terangnya.

Lebih lanjut, katanya, keunggulan tinggal di Jepang jauh melampaui gaji. Meski tinggal di luar negeri juga punya kepahitan, misalnya, perasaan sepi, risiko mengalami diskriminasi dan rasisme, atau cuaca ekstrem, tapi hal-hal baiknya sangat cukup jadi penawar.

“Sesimpel pergi kerja nggak macet, beban kerja masuk akal dengan gaji, punya udara bersih, pendidikan buat anak berkualitas, pajak besar tapi jelas larinya ke mana, fasilitas umum terjamin, sampah dikelola dengan baik. Sudah gitu, ini rahasia umum ya, pejabatnya tahu diri. Kalau berbuat salah bukan hanya minta maaf, tapi mundur dari jabatannya. Dari segi lingkungan sosial, saya merasa nyaman karena orang Jepang lebih menghargai privasi,” kata Samudera.

Makanya, ia mendukung orang Indonesia yang punya kesempatan ke luar negeri untuk mengambil kesempatan itu. Namun, menurutnya, pemerintah justru harus segera memperbaiki situasi di Indonesia, sebab tidak semua orang punya pilihan untuk keluar. Jika negara tidak berbenah, kelompok yang rentan ini semakin terancam kehidupannya.

“Jangan pula terhadap yang memilih keluar dikatakan tidak nasionalis,” imbuh Samudera. “Justru lihatlah, ini bukti bahwa di negara yang menghargai SDM, kami bisa berkembang dan berkontribusi maksimal. Kalau banyak orang merasa lebih dihargai dan punya peluang lebih besar di luar negeri, maka ini bukan sekadar isu nasionalisme, tetapi cerminan kegagalan NKRI dalam mewujudkan kesejahteraan umum,” jelasnya.

Sebelumnya, Rabu lalu, seorang menteri meragukan nasionalisme mereka yang ingin pergi. “Pemerintah jangan begitu amat, lah. Toh pekerja migran salah satu penyumbang devisa terbesar, kan? Saya tiap bulan kirim uang ke ibu saya dan dia belanjakan di Indonesia, itu kan jadi kontribusi untuk Indonesia juga,” kata Samudera.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial